Orasi Gentholing
Mungkin karena agak shock, tergeletak dengan tubuh berkeringat dingin, setelah dikepung oleh teror asap Mbah Shoimun, Toling menoleh kepada Seger.
“Ger, tolong catat”
“Apa, Ling? Pasti Indonesia lagi. Apa. Masuk tahun politik ya…”
“Masih ngganjel dikit ini. Mudah-mudahan ini cukup. Gini lho. Mungkin bangsa kita ini adalah Rahwana yang sedang dihimpit di antara dua gunung…”
“Baik”, kata Seger, “mati dong kalau dihimpit dua gunung?”
“O tidak. Rahwana dipelihara hidupnya. Dikasih makan minum. Tapi tangan dan kakinya diborgol. Isi sakunya diambil. Pakaiannya diganti sehingga seperti bukan Rahwana lagi. Secara bertahap dan terencana dengan matang, harta benda di rumahnya dirampas. Tanah dan kebunnya dikuasai oleh Mbahureksa dua gunung itu”
Jelas itu ngelindur. Toling mengigau. Apa dong kalau bukan. Namanya saja Toling. Julukan diambil dari sesuatu yang sangat dikagumi atau justru sangat dibenci. To-ling itu dari Gentho Maling. Orang pinter, bahkan alim, tapi kelakuannya Gentho. Rakyatnya sendiri dipremani, dipalak, diporoti. Juga para Gentho ini maling tak kira-kira banyaknya… Lho, kok tulisan ini numpang ngelindur.com…
Gentho Maling disingkat Gentholing. Di Jombang, Jaran Kèpang ditabuhi, dimusiki dengan “blanggentak gentholing…gentholing…gentholing”. Dipadatkan lagi menjadi Toling. Suku kata “tho” dibaca seperti teman Bali atau Aceh mengucapkan “t”. Di Jawa ada “to” ada “tho”. Misalnya “cotho” artinya sial, kalau “coto” itu sotonya orang Makasar.
Tapi Bahasa Indonesia tidak peduli. Ya sudah akhirnya Toling komprominya. Aslinya Tholing. “Ling” nya pun dibaca “é” seperti pada Bulè atau Indonesia yang dibaca Éndonesia.
“Maaf, maaf, bukan Rahwana”, igauan Toling diralat, “mungkin bangsa kita adalah Kaum Anshor di Madinah yang bernyanyi menyongsong kedatangan investor dan tenaga kerja Muhajirin dengan nyanyian “thola’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada’i“: telah terbit rembulan atas kita, muncul dari sela antara dua gunung. Kita wajib bersyukur, karena telah mendapat panggilan untuk jadi pilihan utama. Maka Anshor berbagi harta benda dengan Muhajirin. Berbagi tanah, uang, aset, bahkan ada yang menghibahkan istrinya.
“Ah, tapi bukan…“, ngelindur direvisi lagi, “kalau bicara dua gunung, bangsa dan masyarakat adalah yang dijumpai oleh Nabi Dzulkarnain dalam perjalanannya ke Timur”
“Bagaimana penjelasannya?”, tanya Seger.
“Ceritanya serba dua”, jawab Toling, “masyarakat itu hidupnya diancam oleh dua juga: Ya’juj dan Ma’juj. Cari sendiri bahan tentang warna kulit dan jenis wajah Ya’juj Ma’juj. Mereka minta tolong kepada Dzulkarnain: “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dengan mereka?“. [1] (Al-Kahfi: 94)
“Dzulkarnain menyanggupi. Mereka diajak bikin palang besi raksasa di antara dua gunung, kemudian dicor dengan tembaga panas. Menjadi semacam pagar raksasa yang membuat Ya’juj Ma’juj tidak bisa masuk [2] (Al-Kahfi: 95). Padahal masyarakat ini “la yafqohuna qoulan”, tidak mengerti pembicaraan apapun, tidak bisa diajak dialog. [3] (Al-Kahfi: 93). Omong apa saja bias. Bukan karena bodoh atau tidak berpendidikan. Tetapi karena pusat sarafnya memfokuskan pikirannya pada keuntungan dunia dan Keuangan Yang Maha Kuasa…”
“Ah, tapi mending”, Seger nyeletuk, “mereka masih tahu kalau terancam dan masih sadar untuk minta tolong kepada Dzulkarnain. Ada kisah tentang bangsa lain yang malah thala’al badru kepada Ya’juj Ma’juj”.
Yogya, 3 November 2017