Oligarki Kuburan
Aku anak bangsa Indonesia. Tidak akan main-main dalam mengelola Kambing. Tidak pula akan pernah kuucapkan “sekadar Kambing”. Kambing itu salah satu hasil karya Allah swt, yang terpilih untuk bergabung naik Bahtera Nabi Nuh.
Bahkan pun seandainya yang kupelihara adalah Babi, yang menurut sebuah Kitab tercipta dari luka perut Gajah, atau Tikus yang berasal dari darah yang meleleh dari luka Babi – takkan pernah kuucapkan “sekadar Babi” dan “sekadar Tikus”. Aku masih sakit hati kepada Iblis yang men-sekadar-kan manusia ketika menolak bersujud kepada Mbah Adam.
Aku berjanji mengemukakan dari mana aku memperoleh “Bismillahi la yadhurru…” untuk menyeret kambing. Bahkan sebenarnya sebelum memutuskan akan beli kambing di Pasar Peterongan, aku memproses kepastian bahwa di dalam diriku sudah tumbuh potensi manajemen “’Alimul ghoib was-Syahadah, Rahman dan Rahim”, sebagai syarat primer kepemimpinan atas kambing.
Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan segala yang ghaib. Kalau manusia berposisi mempelajari dan rajin menyaksikan. Maka manusia itu “Muta’allimul ghoibi was-syahadah”. Tidak hanya teoretis, tapi juga empiris. Sebelum mencalonkan diri sebagai penggembala kambing, aku harus berhijrah dari belum tahu apa-apa menjadi mulai tahu apa-apa tentang kambing. Aku harus mempelajari dan belajar untuk mengurangi volume belum tahu dan menambah volume mulai tahu. Mempelajari itu teoretis, belajar itu empiris.
Ketika tiba di pasar Peterongan, sebenarnya kambing masih ghaib bagiku. Ketika mulai menyeretnya, mulailah aku berhijrah ke mulai tahu tentang sifat kambing. Demikianlah tahap demi tahap keghaiban kambing kubuka tabirnya. Pada saat yang sama harus kurintis program Rohman dan Rahim: aku harus merintis dan menumbuhkan cinta dan sayangku kepada kambing. Aku wajib mengabdi kepada kemashlahatan kambing, karena mereka telah memberiku kegembiraan dan menerimaku sebagai sahabat dan saudara mereka sesama makhluk Tuhan.
Kalau sampai kadar yang diperlukan sudah kumengerti hal-hal mengenai kambing, sudah pula kokoh bersemi cinta dan sayangku – baru aku diperbolehkan oleh akal sehat dan nurani kehidupan untuk memimpin kambing. Sesudah sah menjadi Malikul-ghonam atau pemimpin kambing, berikutnya harus kujamin bahwa setiap tindakanku Quddus kepadanya. Setiap tahap manajemenku harus Salam menjamin keselamatannya. Jangan sampai sebagai pemimpin Kambing aku tidak bisa dipercaya oleh kambing. Aku harus Mu`min.
Dan Muhaimin, kupelihara hubungan saling percaya itu. Jangan sampai kambing kelaparan, terluka atau bersedih hatinya. Kepertahankan ‘Aziz rasa tidak tega kepada deritanya. Maka hubungan kami akan solid. Jabbar. Dengan cara yang kami kerjasamakan terus, kami menjadi saling berbuat untuk menguasai masalah yang muncul. Harus Mutakkabir, menjadi lebih besar, lebih kuat dan lebih cerdas dibanding permasalahan. Harus takabbur terhadap tantangan dan ancaman. Aku terlanjur memimpin Kambing, maka semua persyaratan itu wajib kutekuni, kusetiai dan kuistiqamahi.
Semua rezeki nilai itu kuperoleh dari sahabat karibku. Ia salah satu dari 36 orang yang tinggal di rumah Ayah Ibuku. Umurnya 12 tahun, lebih tua 3 tahun dariku. Sahabatku ini bisa mendengar suara hati orang di sekitarnya. Ia tahu sebuah ayat terletak di halaman berapa baris ke berapa di Mushab Al-Quran standar. Ia tahu Pamong Desa menjual sapi jatah rakyat dari Pemkab. Ia tahu lelaki itu barusan pulang dari “ngondhol” atau melacur. Ia tahu sangat banyak hal yang ghaib bagi kebanyakan orang.
Untuk beberapa lama ia menjadi semacam mini-oligarki yang berkuasa di desa kami. Semua orang ngeri ketemu dia karena takut dituding dosanya. Kalau malam larut ia berteriak-teriak keliling desa, membangunkan semua orang, memanggil namanya satu per satu, menggiringnya ke Masjid untuk shalat tahajud. Di malam lain langsung diajak beramai-ramai ke Kuburan yang dikenal paling angker. Setiap orang di suruh duduk di tempat yang berbeda-beda di seantero kuburan. Tidak ada yang berani melawannya. Tidak ada yang tidak taat kepadanya.
Kecuali aku. Tidak ada perintah apa-apa untukku. Biasanya setelah mobilisasi kuburan, ia menemuiku, menyodorkan ayat Quran atau hadits Nabi, mengajakku berdiskusi, atau langsung minta apa pendapatku tentang itu. Setiap Jumat siang kami berboncengan sepeda ke Masjid-masjid yang berpindah setiap Jumat. Aku yang bertugas adzan dan dia yang khutbah kemudian mengimami shalat.
Ia tidak mengajariku apa-apa, tapi dari seringnya ia mengajak diskusi: aku jadi rajin juga melirik-lirik ayat dan hadits ini itu. “Bismillahi la yadhurru” atau “Wa khotama Sulaimana...” atau “Allahumma tekno...” dan banyak klausul lain, termasuk bermacam-macam hizib: itu bukan paket apa-apa. Ia firman Allah dan aku nekat menerapkannya ke apa saja setelah kupertimbangkan dan kurasakan mashlahat-mudharatnya.
Kehidupan di masa kanak-kanakku sangat liberal, penuh keterbukaan berpikir, menghampar beribu-ribu pintu dimensi hidup, tidak banyak stigma, sentiment, fobia, atau sinisme-sinisme pandangan yang mubadzir untuk keluasan ilmu, wawasan pengetahuan dan makrifat kehidupan. Di zaman itu manusia tidak lebay terhadap Agama. Tidak terpesona oleh Ilmu Katon, yang sekarang didewa-dewakan dan dijadikan “tuhan pembangunan” oleh hampir semua Negara di muka bumi.
Aku bersyukur pernah mengalami kehidupan yang masih ada cakrawala. Bahkan ketika di masa tua sekarang ini aku dikepung oleh
radikalisme Negara,
fundamentalisme pembangunan materi,
linierisme intelektual,
keterkotakan akademis,
intoleransi modernisme terhadap apapun saja yang disangka tidak seperti ia,
birokrasi yang ultra-konservatif,
manajemen sejarah tanpa sangkan paran,
Negara identitas yang hanya paham identitas,
Lima Sila nilai diklaim menjadi pembangunan materi,
Pemerintahan yang gagal menjelaskan kemauannya, kejumudan-kejumudan ekstrem dalam penggunaan metodologi berpikir,
sangat menguasai pembenaran subjektif tanpa minat terhadap kebenaran objektif,
serta berbagai dekadensi pra-Jahiliyah yang menguasai ummat manusia –
Aku tetap bisa menemukan seribu cakrawala, kemerdekaan diri dan ketenteraman hati.
Yogya, 21 September 2017