Obat Kuat dari Malaikat
Menyenangkan sekali saya dipertemukan dengan orang-orang yang bergelut di bidang musik. Dari mereka saya tahu bahwa musik bukan sekadar tentang musik itu sendiri. Tapi musik sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pilihan bermusik tidak boleh sembarang dilakukan. Harus melalui tahapan pertimbangan-pertimbangan. Mungkin sampai pada pertimbangan ideologis. Mungkin sampai tahap pertimbangan teologis. Atau mungkin juga sampai pertimbangan yang dianggap tidak lagi realistis. Karena pilihan bermusik bisa jadi menjadi cerminan sikap dan laku. Sebagai bentuk tirakat mereka dalam menjalani hidup.
Ada yang pilihan bermusiknya ‘rock’. Sangat ‘rock’. Luar dalamnya ‘rock’. Mode fashion-nya ‘rock’. Tatanan rambutnya ‘rock’. Dan dia tidak akan mau untuk sebentar saja masuk ke rumah-rumah ‘Jazz’. Ada yang pilihan bermusiknya ‘dangdut’. Harus ‘dangdut’. Tidak boleh diapa-apakan. Tidak boleh dibuat ‘urakan’. Tidak boleh dibuat ‘saru’. Tidak boleh dibuat ‘erotis’. Karena dangdut baginya adalah jalan untuk dakwah menebar kebaikan bukan pameran bokong yang digoyang-goyang.
Ada yang pilihan bermusiknya ‘gamelan’. Gamelan murni. Bukan gamelan yang dicampur-campur. Gamelan sebagaimana gamelan yang dia pahami selama ini. Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan. Karena ketika gamelan dicampur-campur bukan lagi layak disebut gamelan, melainkan campur sari.
Perdebatan bisa berujung pada pertengkaran. Bisa saja itu terjadi jika pilihan bermusik mereka diusik dan dibanding-bandingkan dengan pilihan yang lain. Karena setiap jenis musik mengklaim mempunyai karakakter dan ciri khasnya sendiri-sendiri, memiliki teori-teori pendukungnya sendiri, dan menyiapkan pisau bedah analisis khusus untuk dirinya sendiri.
Musik A penuh kelembutan. Musik B berkelas. Musik C elegan. Musik D pemberontakan. Musik E potret sosial. Musik F vulgar. Musik G khusus untuk romantisme. Musik H khusus untuk dolanan. Musik I untuk peribadatan. Musik J milik partai ini. Sila dilanjutkan sampai musik Z. Syukur A1, A2, dan seterusnya. Saya menikmati betul keberagaman ini. Dimensi musik memiliki keluasan dan keleluasaan agar manusia memilih salah satu atau mengambil semua yang ada dan dimasukkan ke dalam laku hidupnya.
Dari kawan-kawan musisi saya juga tahu bahwa untuk membuat kelompok musik tidak mudah. Perlu energi yang besar untuk menyatukan isi kepala. Karena bisa jadi meski sama-sama berlatar belakang musik A, tidak serta merta melebur juga ego mereka. Karena dalam berkelompok kita tidak hanya bermain untuk diri kita sendiri. Kita membawa energi kelompok. Energi yang searah dan setujuan. Lima orang, lima ide, lima ego. Begitulah hal mereka yakini. Itu juga yang menjadi alasan keawetan sebuah kelompok. Saya menyebut di sini keawetan, bukan eksistensi. Karena eksis kalau tidak awet sama saja percuma.
Mereka juga bilang bermusik itu selain olahrasa juga olahraga. Kondisi fisik yang prima tetap dibutuhkan. Maka sering terdengar kabar infotainment, jika ada grup band ingin menjalani rentenan tur yang panjang dan hampir tanpa jeda dari kota satu ke kota yang lain, pertanyaan yang dilontarkan adalah:
“Adakah persiapan khusus untuk menjaga stamina pada tur nanti?” tanya reporter.
“Yaaaa, paling sering fitness aja sih. Sama minum multivitamin.” Jawab si anak band.
Entah multivitamin apa yang dimaksud. Sekadar iklan mungkin. Mungkin juga obat kuat. Atau jenis obat yang membuat mood tetap terjaga.
Lalu adakah kelompok musik yang masuk dalam kategori kuat? Termasuk kuat untuk tidak terkenal? Awet kuat dan kuat awet untuk tidak diakui eksistensinya?
Sebut saja namanya KiaiKanjeng. Sekitar lebih kurang 3700 pementasan sudah mereka lakoni. Mereka turut melayani masyarakat bersama Cak Nun. Meski tidak begitu diakui eksistensinya oleh media, sebaiknya pihak pengundang tahu betul kebutuhan tata suara musik KiaiKanjeng.
Setidaknya ada dua jenis pertemuan alat musik yang digunakan KiaiKanjeng. Sebut saja elektrik dan akustik. Perlakuannya berbeda. Elektrik bahasa sederhananya tinggal colok. Sedangkan akustik harus ditodong dengan microphone. Penataan frekuensinya harus tepat. Karena KiaiKanjeng memakai saron dan bonang dari besi. Belum ditambah alat-alat perkusi latin seperti conga. Salah mengatur bisa feedback di mana-mana. Feedback itu suara dengung yang muncul tiba-tiba akibat pantulan bunyi. Jadi kalau mau mengundang paling tidak kita tahu spesifikasi apa yang dibutuhkan oleh KiaiKanjeng.
Kelihatannya tidak begitu penting, namun jangan lupa telinga manusia memiliki kemampuan menyaring frekuensi. Kalau ternyata bunyi-bunyian yang dihasilkan KiaiKanjeng mengalami masalah dan tidak dapat diterima dengan baik oleh jamaah, mungkin muatan yang disampaikan lewat musik KiaiKanjeng juga tidak berhasil nyantol. Maka terkadang jika tata suara dianggap belum beres, Cak Nun mengkondisikan jamaah dan para hadirin.
“…… sambil pelan-pelan kita benahi sound systemnya……”
Saron, bonang, kendhang Jawa, suling bambu, rebana, ketipung, drum set, gitar elektrik, bass elektrik, keyboard set, violin elektrik, latin percussion set, empat atau lima orang vokal, apalagi? Siapa yang mau menambahi? Seingatnya saya dulu tahun 2009 belum ada latin percussion set. Termasuk jarang digunakannya drum set. Suara drum set diambil dari suara yang ada di data midi keyboard. Dan kenyataan ini dapat ditemui pada grup-grup yang mencoba mengadopsi komposisi musik KiaiKanjeng. Kelompok-kelompok itu masih lazim menggunakan kibor sebagai pengganti drum set. Secara penataan suara lebih mudah. Ora mbrebegi liyane nek pas latihan.
Saya dulu sering mencari-cari. Ini ada suara drum tapi kok tidak ada drum set di panggung. Ternyata memang dari kibor. Saya pikir itu dilakukan untuk penyesuaian fisik kelompok KiaiKanjeng. Bahasa gampangnya, wes personile akeh, alate ya aja akeh-akeh, tur wes sepuh-sepuh. Begitu pikir saya dulu. Tebakan saya karena alasan efisiensi.
Namun begitu merunut ke belakang sampai sekarang, alat musik KiaiKanjeng mengalami penambahan demi penambahan. Asumsi saya salah ternyata. Terbukti dengan adanya penambahan latin percussion set, dan ke mana-mana sekarang memakai drum set juga. Kalau mau nyari gampang dan cepat kan seharusnya alat itu dikurangi. Tapi ini kok malah ditambah. Apa masih kuat mereka? Apa masih sanggup? Yang saya maksud adalah bukan kesanggupan untuk membawa atau memainkan alat musik saja, bukan kesanggupan fisik semata, namun juga kesanggupan untuk membuat komposisi dan aransemen yang pas sebagai resiko dari penambahan alat musik itu. Penambahan alat musik berarti bertambah pula pilihan bermusik. Bertambahnya pilihan bermusik bertambah pula ego yang harus dilebur. Enggak gampang lho itu. Alih-alih kelompok bisa bubar atau personel bisa mengundurkan diri karena ide gagasan bermusik mereka tidak diterima dengan baik. Sampai sini paham ya? Dua SKS ini.
Saya menduga, ini bisa saja salah, bahwa yang dilakukan KiaiKanjeng adalah membuka kemungkinan-kemungkinan yang lebih banyak lagi di dalam bermusik. Saya teringat perkataan Cak Nun beberapa waktu yang lalu di acara Suluk Maleman (15/4/2017) malam di Pati. Bahwa jamaah yang hadir bermaiyah paling banyak dipenuhi oleh manusia-manusia kisaran umur 20-35 tahun. Baru setelahnya jamaah dengan usia di atas 40 tahun. Artinya selera musik mereka terkadang juga mengikuti trend. Dan KiaiKanjeng melebur bersama selera mereka dalam rangka untuk melayani dan bukan berarti KiaiKanjeng mengikuti trend. Sebut saja nomer Fix You dari Cold Play. Atau seperti yang pernah saya singgung nomer One More Night-nya Maroon 5.
Energi KiaiKanjeng juga harus menampung energi jamaah yang rata-rata masih muda itu. Saya rasa KiaiKanjeng sedang menjalani tirakat bermusik. Kok kuat ya? Padahal semakin menua. Kok kuat ya? Padahal cucu demi cucu bermunculan. Kok kuat ya? Harus bergaul dengan siapa saja.
Jangan-jangan mereka memakai obat kuat? Obat kuat dari Malaikat?