Ngrumat Katresnan
Ketika engkau mencintai sesuatu maka engkau pasti tak rela bila ada orang lain yang menyakiti sesuatu yang engkau cintai tersebut. Jiwamu mati-matian berusaha agar yang engkau cintai itu selalu tenteram dan nyaman. Demikian halnya Allah, yang murka jika ada yang menyakiti kekasih-Nya, Muhammad Saw, yang namanya telah terlebih dahulu bersanding di sisi-Nya sebelum penciptaan alam semesta dan seisinya. Maka Tuhan pun menyeru kepada orang yang beriman untuk bershalawat dan uluk salam kepada khotamul anbiya` tersebut.
Di Maiyah kita diajarkan untuk ngemong, menjaga cinta kepada sesuatu yang hakiki dan meninggalkan kecintaan terhadap sesuatu yang fana (tidak kekal). Akal itu cenderung mencari yang hakiki, sedangkan dada (shudur) atau hati biasanya mudah sekali untuk terprovokasi dan berpaling. Yuwaswisu fii shuduurinnaas. Kecintaan terhadap sesuatu yang abadi itu juga Allah wantikan dalam ayat-Nya, inna akromakum ‘indallohi atqookum. Bahwa yang paling mulia di antara kamu semua adalah yang paling bertaqwa.
Taqwa itu bukan sesuatu yang materiil, tapi immateri. Allah tidak menyebut yang mulia itu adalah orang yang kaya, berpangkat, atau yang bergelar sarjana tinggi. Sebab dalam teori pencahayaan, yang kembali kepada-Nya adalah yang abadi, seperti cahaya. Karena manusia adalah pendaran cahaya yang kelak kembali kepada sumber cahaya itu sendiri.
Yang kini telah dibentuk oleh mainstream dunia adalah kecintaan kepada dunia. Dalam hal apa tidak kita temukan perkara yang ujung-ujungnya duit. Dari dunia kesehatan, politik, pendidikan, kebudayaan semua berdagang. Standar pencapaian kesuksesan pemimpin dinilai berdasarkan menterengnya infrastrukstur, besarnya dana tunjangan untuk pegawai, digelontorkannya dana bantuan untuk warga miskin meskipun harus menumpuk pinjaman dari Bank Dunia.
Dalam lingkup pendidikan pun tak beda. Tuntasnya pendidikan di sekolah juga berakhir pada angka, bukan pada akhlak. Sarat dengan kuantitas sehingga gampang sekali dimanipulasi. Itu semua adalah sekelumit potret pola berpikir kuantitatif. Sedangkan di Maiyah kita diajak Mbah Nun untuk berlatih ngugemi kualitas, metode berpikir kualitatif. Nyari ilmu lama ndak apa-apa yang penting berkualitas. Kata Imam Syafi’i ‘thuula zaman‘. Waktu yang lama.
Maka ada yang bilang bahwa jatuh cinta itu mudah, yang sulit adalah ‘mencintai’. Karena di dalam ‘mencintai’ itu menuntut kita untuk membangun, mengisi, merawat sesuatu yang kita cintai itu. Di tengah arus mindset berpikir pragmatis itu, Maiyah berusaha untuk minggir, menepi agar tidak hanyut bahkan tenggelam.
Di kerumunan orang-orang yang berlomba untuk memperebutkan kursi dunia, maiyah berbondong-bondong untuk luweh karena mereka sadar bukan urusan remeh yang mereka cari. Kalau sesekali di sebuah majelis ilmu antara laki-laki dan perempuan biasanya diberi jarak atau dipisahkan oleh satir, maka di Maiyah laki-laki dan perempuan biasa duduk bersebelahan dengan tetap menjunjung tinggi norma dan mengedepankan etika. Duduk berjam-jam tanpa mingket dari tempat duduknya meskipun kadang diguyur hujan. Laki-laki dan perempuan.
Maka bertepatan pula dengan Milad yang kedua ini Kidung Syafaat mengajak kepada segenap yang hadir untuk memesrai kecintaan kita pada kualitas lewat kegiatan bakti sosial, berbagai pentas seni tari, silat, musik, dan pagelaran wayang yang digelar mulai dari siang hari. Malam harinya akan dipuncaki dengan Maiyahan, pagelaran wayang oleh dalang cilik Nyi Eliza Naviana dan Ki dalang Sujiwo Tedjo.