Nggarap Arab
Sebelum acara Majelis Maiyah Padhangmbulan, di Sumobito, Menturo, Jombang, yang malam itu mengusung tema ‘Fuadussab’ah’ dimulai, saya mendapat sedikit bocoran dari Proggres bahwa akan ada sesuatu yang spesial malam purnama itu. Semuanya akan serba ‘Arab’. Mendengar itu sempat terbesit penyangkalan di dalam diri saya. Lambang atau simbol atau ikon yang menunjukkan ‘Arabian Night’ sama sekali tidak tampak di area panggung yang telah disediakan. Apa? Pohon kurma? Nggak ada. Replika unta dari kardus semen? Nggak nongol. Olahan daging domba, daging kambing? Nggak tercium aromanya. Ketupat? Eh ketupat memang bukan dari Arab ding. Kalau Soto Lamongan malah ada di sebelah barat panggung.
Namun, begitu para awak KiaiKanjeng datang dan melakukan pemeriksaan suara dan memainkan salah satu lagunya, saya mulai agak sedikit paham, bahwa malam nanti Arab akan menjadi bagian dari desa Sumobito untuk sesaat. Kok bisa saya tahu itu lagu berasal dari Arab? Musik memiliki wilayah kebudayaannya sendiri. Contoh paling mudah ketika kita mendengar musik bisa kita identifikasi dari wilayah kebudayaan mana musik itu diusung. Yang pertama bisa dilihat dari penggunaan bahasanya. Yang kedua dari pemilihan penggunaan nadanya. Dan yang ketiga, info dari panitia penyelenggara. Bagian yang ketiga ini tak kalah penting. Karena informasi dari pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan suatu pentas, dalam metode penelitian sangat diperlukan untuk memperkuat data. Seperti data yang saya dapatkan sore itu di serambi masjid.
“Nanti, KiaiKanjeng akan memainkan nomor-nomor Umi Kultsum. Karena Cak Fuad adalah salah satu yang menggemari lagu-lagu dari Umi Kultsum. Hadiah spesial dari KiaiKanjeng untuk Cak Fuad.”
Begitu mendengar kata Umi Kultsum, setidaknya ada dua hal yang ada di kepala saya. Pertama, musik dari lagu-lagu Umi Kultsum termasuk musik yang tidak mudah dimainkan. Berkelas. Premium. Tidak sekadar musik orkes tapi orkestra. Salah satu ciri yang menonjol adalah eksplorasi maksimal dari alat musik berdawai. Kebudayaan musik Arab tidak begitu akrab dengan alat musik perkusi apalagi yang terbuat dari tembaga seperti gamelan di Jawa. Dominasi paling kentara berasal dari alat musik ‘Ud atau yang kita sering mengenalnya dengan sebutan Gambus.
Tidak hanya itu, selain berdawai, ada kecenderungan fretless, tidak dibatasi oleh sekat-sekat nada yang kaku. Tahu fret gitar kan? Yang dari kejauhan kayak garis-garis pembatas. Maka dari itu para ilmuwan musik memberi label bahwa nada-nada yang dimiliki oleh musik Arab memiliki jangkauan yang lebih luas atau sering disebut dengan microtonic. Saking banyaknya nada yang bisa dipecah-pecah sampai ke bagian yang kecil. Tidak hanya berjarak setengah, mungkin sampai seperempat, mungkin sampai seperdelapan, seperduabelas, atau lebih detail lagi daripada itu semua. Seperti nada-nada al bayat, al rast, al sika, al rakriez, al ‘ajm, al hijaz, dan al saba. Kapan-kapan kita bahas lebih rinci, karena ilmu saya belum sampai untuk mengurai nada-nada tersebut. Sering-sering saja shalat jamaah di masjid. Dengarkan cara membaca imamnya. Mungkin ada imam yang cara membacanya menggunakan pendekatan salah satu nada tersebut. Mungkin bayati, atau hijaz.
Dan nomor dua yang ada di kepala saya adalah, seperti apa sih model komposisi KiaiKanjeng dalam membawakan lagu-lagu dari perempuan yang lahir di sekitar delta sungai Nil tersebut? Melihat kenyataan bahwa musik KiaiKanjeng mengusung konsep ‘gamelan’nya. Rasa penasaran saya simpan sampai selepas Isya.
Akhirnya nomor ‘Sukaro’ dari Umi Kultsum yang dibawakan KiaiKanjeng sebagai pembuka di majelis Padhangmbulan itu cukup untuk membayar rasa penasaran saya. Bahwa musik-musik Arab bisa digarap dengan sikap yang tidak terlalu dan selalu ke-Arab-Arab-an. Alat musik gamelan yaitu Bonang, Demung, Saron tetap boleh dan bisa memainkan nada-nada Arab. Dan jangan lupa KiaiKanjeng juga punya biola. Di mana biola juga salah satu alat musik berdawai dan fretless. Serta gitar yang insyaallah merupakan keturunan kesekian dari alat musik ‘Ud. Jadi kemungkinan meraup dan merangkul nada-nada dan bunyi-bunyian khas Arab masih bisa dilakukan dengan presisi dan akurat meski tidak seperti aslinya. Menyusul dimainkan nomor-nomor El-Albi dan ‘Attini.
Penemuan dan penyederhanaan nada-nada yang ada di setiap kebudayaan musik yang dilakukan oleh ilmuwan barat, cukup membantu dalam melakukan proses peniruan atau memainkan musik-musik dari wilayah yang berbeda. Misalnya kita mengenal pentatonic scale. Atau susunan dari lima nada. Cukup dengan susunan lima nada saja kita bisa memainkan musik dari wilayah kebudayaan yang berbeda-beda. Paling tidak untuk saat ini, menurut saya setidaknya ada empat wilayah kebudayaan musik terbesar dan terpopuler. Arab, Cina, Barat, Jawa. Pembagian ini saya ambil dengan pendekatan susunan lima nada tersebut.
Di majelis Padhangmbulan malam itu (8/7/2017) pada saat memberikan respons terkait dengan tema ‘Fuadussab’ah’ malam itu yang akhirnya menyinggung ke masalah DNA-Keturunan-Genetik, dr. Eddot memberikan penjelasan terkait genetika dengan menggunakan pendekatan musik. Mas Ari Blothong, pemain biola KiaiKanjeng diminta untuk memaikan beberapa contoh nada hasil keturunan dari pentatonic scale tersebut. Ada pentatonic Arab, pentatonic Pelog Jawa, bahkan pentatonic China yang sedikit mirip dengan Slendro Jawa dan pentatonic Sunda. Hanya dari susunan lima nada yang terpilih sudah bisa memberikan gambaran dan menjadi pembeda yang cukup jelas untuk wilayah kebudayaan musik. Sekali lagi meski tidak sama persis dengan musik aslinya. Coba mainkan contoh susunan lima nada berikut kalau sempat.
Do-mi-fa-sol-si dan do-re-mi-sol-la secara berulang-ulang. Rasakan nuansanya. Itu baru dua wilayah musikal saja.
Untuk menggarap Arab dan memunculkan nuansa Arab tidak harus dengan simbol-simbol artifisial seperti unta, kurma, gamis, atau kebab. Mengenali budayanya saja sudah cukup. Syukur seperti Cak Fuad yang menguasai bahkan menjadi salah satu dari sembilan orang di dunia yang didaulat sebagai tim Dewan Bahasa Arab Kerajaan Saudi. Atau kalau tidak bisa bahasa Arab seperti saya ini yang sepanjang acara Padhangmbulan kemarin hanya thola-tholo tidak paham dengan apa yang diucapkan Kiai Muazamil selaku pembawa acara, cukup mengenali budaya musiknya. Syukur seperti para awak KiaiKanjeng yang dengan sangat gemilang memainkan nomor lagu-lagu Umi Kultsum malam itu.
Mungkin inilah perwujudan dari apa yang sering kita dengar di pertemuan maiyah.
“Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat”
Selama masih dalam koridor ‘mizan’, timbangan-timbangan yang adil, tidak ada salahnya mempelajari kebudayaan di luar kebudayaan kita. Porsi, presisi, akurasi, resolusi tetap menjadi senjata untuk mengerti batas wilayah kedaulatan kebudayaan masing-masing. Lihat kenyataan KiaiKanjeng yang keliling di berbagai belahan bumi. Atau lihat KiaiKanjeng ketika menyambut tamu-tamu Maiyah yang diundang ke atas panggung, lagu dari kebudayaan mana yang mereka bawakan. Semuanya dalam rangka menghormati tamu, kalau mereka berlaku sebagai tuan rumah. Atau membawakan oleh-oleh ketika mereka berlaku sebagai tamu. Mesti persembahan yang terbaiklah yang diberikan. Mesti jamuan paling lezatlah yang dikeluarkan. Mesti hadiah terindahlah yang disajikan.
Mengenal budaya Arab tidak lantas kita menjadi orang Arab. Cukup mengenal bahasanya. Cukup memainkan musiknya. Atau tataran yang lebih rendah lagi, seperti saya, cukup sedikit tahu tentang budaya musiknya, orang mungkin sudah berpikir,
“Oh, arek iki ya ngerti Arab. Ngajine mesti apik.”
Padahal….