CakNun.com

Ngaji Bareng Memohon Tidak Kemasukan Virus Penyakit Zaman

Catatan Ngaji Kebangsaan HUT Tuban ke-724, 25 November 2017 (bagian 1)
Redaksi
Waktu baca ± 5 menit

Sejak sore suasana Alun-Alun kota Tuban sangat ramai hari Sabtu itu. Banyak orang melangkahkan kaki ke sana. Baik untuk sekadar menghirup udara sore, membeli sesuatu yang dijajakan oleh pedagang-pedagang di seputaran alun-alun, atau rombongan yang lewat hendak ziarah ke Makam Sunan Bonang. Tetapi ada yang berbeda dari biasanya. Sebuah panggung tegak berdiri.

Namun tidak seperti umumnya panggung pementasan. Panggung itu tingginya hanya sekitar 40 centimeter. Tak ada pagar pembatas audiens-panggung. Di situ orang-orang memadat. Dari level beratap terpal itu terdengar bunyi alat-alat musik sedang dicoba. Mereka tentu sudah tahu, KiaiKanjeng yang datang dari Yogyakarta sedang sound check. Orang-orang itu ikut menyaksikan, menikmati, dan sesekali menjepret proses persiapan ini.

Sejenak terbersit, sudah berapa banyak ya alun-alun disinggahi KiaiKanjeng di berbagai kota kabupaten di Indonesia? Alun-alun Kota Tuban ini saja kalau tak salah sudah yang kelima. Seperti di kota-kota lain, alun-alun ini adalah area terbuka bagi warga masyarakat. Untuk umum. Bahasa kekiniannya public space. Biasanya ia merupakan bagian utama dari sebuah map kabupaten. Ia berada di pusat kota dan kantor pemerintahan. Berbagai aktivitas bisa dilakukan di alun-alun. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat buat mengisi atau memanfaatkan alun-alun ini? Dan sesuatu apakah yang KiaiKanjeng bisa sumbangkan setiap kali hadir beracara di alun-alun? Apalagi untuk Tuban yang sepertinya sudah langganan.

Sebelum masuk sore, masih terbilang siang, dari tempat transit KiaiKanjeng, terdengar mobil berkeliling menyampaikan woro-woro mengingatkan warga Tuban bahwa malam nanti digelar Sinau Bareng di Alun-alun bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Semacam: Hadirilah! Satu cara yang mengingatkan model penyampaian informasi secara langsung dengan cara keliling kota menggunakan toa pada era 80-an dan sebelumnya. Unik. Cara klasik yang masih di-uri-uri. Oleh seorang jamaah maiyah Tuban. Al-muhafadlotu ‘alal qaidmis shalih wal alhdlu bil jadidil ashlah.

***

Lantunan shalawat Badar mengiringi dan menyambut kedatangan Cak Nun, Bupati Fathul Huda, Pak Yok Koeswoyo, Sujiwo Tedjo, dan tokoh-tokoh lainnya. Semua mata tertuju ke arah kedatangan beliau-beliau. Sebagian jamaah yang duduk di depan turut berdiri menyambut. Suasana sakral seketika terbentuk karena semua bershalawat. Dari atas panggung terlihat, hadirin yang memenuhi alun-alun ini jauh lebih banyak dibanding tahun lalu. Walau hari-hari telah memasuki musim hujan, tapi malam itu cuaca cukup cerah. Hari itu seakan hujan ingin rehat sejenak.

Bukan hanya banyaknya orang, tapi juga antusiasme mereka yang terpenting. Tidak sedikit dari mereka yang coba naik ke bibir panggung supaya bisa lebih dekat dan lebih jelas melihat apa-apa yang berlangsung di panggung. Dekat ke pusat, walaupun dari satu sudut sebenarnya mereka itu sendiri pusat subjek acara, yang diharapkan aktif menyerap wawasan maupun pemahaman atas apa yang dibahas, dirasakan, dialami, dan disyukuri bersama dalam Sinau Bareng ini.

Teman-teman kru KiaiKanjeng coba mengingatkan agar mereka tidak naik ke panggung sebab ini adalah area lalulintas para petugas sound untuk memantau segala sesuatu yang menyangkut instalasi kabel selama acara berlangsung. Kalau bukan karena alasan-alasan teknis seperti ini, mereka boleh-boleh saja naik. Tapi mereka perlu tahu ini, buat mengerti mengapa sebaiknya mereka ambil tempat yang sudah disediakan. Walau kita juga mafhum semua itu adalah ekspresi antusiasme mereka dalam mengikuti Sinau Bareng ini. Dan ihwal representasi antuasisme terutama terlihat dari pancaran mata dan ekspresi wajah-wajah hadirin. Sangat kuat dan lekat.

Para personel KiaiKanjeng telah juga berada di panggung pada posisi masing-masing. Dari Pendopo Kabupaten, mereka berjalan bersama-sama Cak Nun, Pak Bupati, Pak Yok Koeswoyo, Sudjiwo Tedjo, dan beliau-beliau yang lainnya. Cak Nun menata tempat dengan mempersilakan Bapak-bapak segera duduk di kursi lesehan. Kursi yang apik dan selalu tampak setiap kali Sinau Bareng untuk HUT Kabupaten Tuban. Para panitia memastikan situasi panggung kondusif. Sebagian cekatan membagikan snack, jajan, dan air mineral untuk pasukan KiaiKanjeng. Dan tak lupa minuman khas Tuban: Legen. Inihhh. Minuman yang enak.

Puluhan ribu jamaah semua telah duduk tertib dengan hati gembira. Acara yang telah ditunggu-tunggu segera dimulai karena Cak Nun dan semuanya sudah siap. Dan tepat sekali, usai lantunan ayat-ayat suci Al-Qur`an, MC segera rebat cekap menyerahkan sepenuhnya kepada Cak Nun untuk memimpin jalannya Sinau Bareng. Tidak sedikit panitia yang mulai memahami pola unik Sinau Bareng dengan menyerahkan kepemimpinan acara langsung kepada Cak Nun dan bukan dengan mengawalinya dengan deretan sambutan yang kadangkala terasa lebih formal. Bukan keharusan tentunya. Toh nanti pada saatnya, di bawah panduan Cak Nun, Pak Bupati dan narasumber lain akan bergiliran mendapatkan kesempatan menyampaikan latar belakang, sambutan, dan respons-respons.

Dalam panduan dan pengantaran Cak Nun, sambutan-sambutan beliau-beliau menjadi tidak kering karena sudah diolah dan diberi background oleh Cak Nun sehingga nyambung dengan Jamaah dan dan nyambung dengan konteks-konteks lainnya. Inilah kekhasan Ngaji Bareng Bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Dan Ngaji Kebangsaan dalam rangka memeringati HUT Tuban ke-724 pun segera dimulai.

***

Mugo-mugo Allah memberikan apa-apa yang kalian butuhkan. Kita pada awal ini mari bersama-sama berdoa kepada Allah agar tidak ada bakteri-bakteri atau virus-virus penyakit zaman yang masuk ke dalam diri kita. Juga agar Allah memberikan hidayah kepada rakyat dan pemerintahnya. Selama memohon kepada Allah, kondisikan hati dalam keadaan ikhlas, supaya semakin bening hatimu, sehingga taburan hidayah Allah gampang masuk. Dalam bahasa Jawa yang pelan dan tertata Cak Nun mengajak para jamaah mengawali Ngaji Bareng ini dengan berdoa kepada Allah.

Seluruh jamaah bersiap berkonsentrasi di dalam hati masing-masing. Biarpun segitu banyak jumlahnya memenuhi alun-alun tak ada sedikit pun situasi berisik, ramai, atau tindakan yang mengganggu perhatian. Semuanya tertib. Lagi-lagi pemandangan khas Ngaji Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Lalu semua menyimak bagaimana “sekadar” doa awal saja perlu diberangkatkan dengan pemahaman dasar akan sikap atau adab dalam berdoa. Sesuatu yang kadangkala tak kita sadari. “Nek kate moco subhanallah, atine wis resik sik...,” Cak Nun memandu dan mengondisikan jamaah untuk bersitighfar terlebih dahulu supaya setelah itu tatkala membaca kalimah thayyibah sudah berada pada keadaan hati yang lebih bersih.

Sejenak  diuraikan pentingnya istighfar. “Sing angel adalah dadi Bupati sing entuk ridlone Allah. Mulo istighfar itu penting,” jelas beliau. Istighfar adalah ngumbah ati (membersihkan hati). Istighfar adalah meminta ampun atau maaf kepada Allah. Kemudian sesudah istighfar kita perlu membaca shalawat. Dengan shalawat ini Cak Nun memohon kepada Kanjeng Nabi, “Syafa’atilah anak-anak di Tuban ini. Anak-anakku yang sedang memayu hayuning bawono.” Di mata beliau, terlihat jelas generasi muda mendominasi hadirin pada malam itu. Besar harapan Cak Nun kepada mereka, agar mereka menjadi qaumun akhor, generasi baru, bukan generasi penerus.

Kini jamaah memasuki kekhusyukan melalui getaran istighfar dan kalimah thayyibah. Kemudian Cak Nun membaca bagian awal dari Maulid dan segera disambung dengan shalawat shalatun minnallah wa alfa salam. Para vokalis KiaiKanjeng telah berpadu melantunkan bait-bait shalawat ini. Jamaah mengikuti dengan khidmat.

Saya mencatat, kerap pada awal Sinau Bareng Cak Nun menguraikan hal-hal sederhana mengenai berdoa atau hubungan kita dengan Allah dan Rasulullah dalam bahasa yang sederhana dan perspektif yang sederhana pula. Sinau Bareng pun layaknya semestinya menjalani hidup. Dimulai dengan meneguhkan batin dan kepada Allah dan Rasulullah, baru setelah itu sah dan lega melakukan hal-hal lain atau tahapan-tahapan berikutnya. Harapannya, hidayah dan pertolongan Allah menaungi langkah-langkah menuju tahap selanjutnya itu. (Helmi Mustofa)

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version