Napak Tilas Ilmu Sejati
Kalau tidak karena sudah terlanjur berpuluh tahun merasakan kenikmatan sejati dalam semesta Markesot, ada saat-saat Brakodin, Sundusin, Tarmihim, dan semua diam-diam merasa menyesal. Yakni ketika mereka berpijak di dunia dan menatap dunia. Ketika tinggal di dunia dan bernafsu membangun dunia. Ketika tidak mempedulikan titik bentangan cakrawala antara Al-Awwalu dengan Al-Akhiru.
“Salah kalian sendiri kenapa melangkah memasuki kehidupanku”, kata Markesot menggoda mereka pada suatu malam, “Aku ini sedang napak tilas Ilmu Sejati.…”
“Kalau napak tilas berarti melangkah balik ke masa silam”, Sundusin mempertanyakan.
“Tergantung pola pandangmu”, jawab Markesot, “kamu boleh mengalami hidup ini sebagai bulatan dan kamu berjalan melingkar, dari Al-Awwal menuju Al-Akhir, di mana pada hakikatnya Awwal adalah Akhir dan Akhir semata-mata adalah juga Awwal”
“Itu yang kami pahami selama ini”, kata Brakodin.
“Tapi melangkah balik juga bisa saja. Begitu kita dilahirkan di bumi, sesungguhnya keperluan kita hanyalah napak tilas, melangkah balik menuju Al-Akhir atau kembali ke Al-Awwal, yang sebenarnya sama saja. Awwal dan Akhir itu satu titik. Titik Fithri. Kalau ruhmu beralamat di titik itu, betapa menggelikan menyaksikan manusia di dunia yang menghabiskan tenaga dan waktu untuk menumpuk segala sesuatu yang tidak fithri, yang akan musnah karena tidak fithri. Bagi ruh-mu, tidak penting arah ke depan atau ke belakang. Bukan soal Barat atau Timur. Yang penting madhep mantep “hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada dien Allah.…” [1] (Ar-Rum: 30).