Nada Mayor untuk Meminorkan
Seger tertawa dan bernyanyi “do re mi fa sol la si do”, nadanya naik, kemudian turun: “do re mi fa sol la si do...”
Junit menyahut: “a b c d e f g…v w x y z… sekarang aku tahu bagaimana a b c...”
Jitul tak mau kalah: “Ahad Itsnain Tsulatsa Arbi’a Khamis Jum’ah Sabta...”, ia tertawa, “hari keenam disebut Jumat, tidak meneruskan angka Arbi’a dan Khamis, karena sesudah lima hari kerja, dianjurkan rekap dan rembug kolektif (jum’ah), lantas kontemplasi dan tafakur di hari Sabat (Sabtu), terus kerja lagi di hari pertama: Ahad. Lha kok pada hari Ahad malah libur…”
Tentu saja Toling tidak bisa menahan diri. Ia berjoget-joget: “Alif difathah a alif dikasroh i alif didhommah u… hono coroko, doto sowolo, podho joyonyo, monggo bothongo bali podho joyonyo monggo bothongo…pahing pon wage, kliwon legi, iku dino pasaran tumrap wong Jowo...”
Seger bicara serius: “Pasti kita menghormati semua ijtihad atau kreativitas pemahaman waktu yang dilakukan oleh berbagai bangsa. Tetapi kenapa pembelajaran kita harus dimulai dari Do? Kenapa tidak Ho, misalnya, atau Alif atau Ji? Apakah karena Do lebih bergengsi dibanding Ji? Sebagaimana Alif Allah dirasa lebih kuno dibanding A=Apple? ”
Tarmihim lagi yang menjawab: “Mungkin Mbah Sot tidak tega kita menjadi bangsa Pahing terus. Beliau berharap kita mulai belajar agar kelak menjadi bangsa yang Legi…”
“Tidak terlalu nyambung, Pakde, meskipun bisa paralel”, sahut Junit.
“Apakah pada tahapnya nanti pembelajaran Do tidak hanya sampai ke Si, tetapi mengaplikasi menjadi Do Bahasa Inggris?”, Seger mengejar.
Tarmihim hanya tersenyum. “Yang penting lelaku Do dulu lah…”, katanya, “Kata Mbah Sot, Do ini hanya salah satu gerbang metode. Bisa cari dan pakai gerbang lainnya yang berposisi Ibu Ilmu. Coba sambil menghayati Do, cari bahan-bahan bagaimana para Ulama menguraikan kenapa Al-Fatihah disebut sebagai Ibu Qur`an. Ummul Kitab. Induk pengetahuan. Coba urut kata dan kalimatnya, kenapa Bi-ismi adalah induk, kenapa Rahman dan Rahim adalah pangkal, kenapa pengulangan dua karakter utama itu adalah titik pijak, dan urut sampai tartil”. [1] (Al-Fatihah 1-7)
“Nanti pasti mampir di Babul ‘Ilmi untuk memasuki Madinatul ‘Ilmi ya Pakde”, Junit menyahut.
“Harus”, kata Brakodin, “orang beramai-ramai, berkerumun dan berlari kesana kemari di kota raya ilmu pengetahuan, tapi salah memasuki pintunya. Sehingga mereka tidak punya ukuran apa beda antara kota raya ilmu dengan rimba raya pengetahuan…”
“Saya ingat Markesot bilang bahwa sangat aneh manusia-manusia yang merasa paling beradab sekarang ini selalu mengutuk hukum rimba”, Sundusin menambahkan, “padahal hukum rimba adalah habitat, organisme dan metabolisme alamiah yang terbaik, karena diciptakan oleh Tuhan. Selalu berlangsung dalam keseimbangan dan ekosistemik. Sementara peradaban manusia meniru-nirunya tanpa pernah benar-benar berhasil. Manusia berpikir bahwa mereka paling pandai dan paling berkuasa, padahal prestasi manusia di setiap kurun peradaban adalah menciptakan ketimpangan dan ketidakseimbangan. Sehingga tidak pernah tidak hancur pada akhirnya…”
“Sudahlah”, kata Tarmihim lagi, “lakukan saja belajar Do. Supaya kalian tidak ikut-ikut meleset ilmu ketika bicara tentang pribumi, asing-aseng, pluralisme, liberal, radikal, intoleran, makar. Hahaha…dari mana mereka pinjam kosa kata ‘makar’ itu? Yang lantas di-DO-DO-kan dengan nada mayor tapi untuk meminorkan?
Semarang, 6 Desember 2017