Mismanagement Dunia-Akhirat
Tidak bisa dibendung kenyataan persaingan, keperluan untuk saling membenci dan menidakkan lainnya, sampai tingkat khilafiyah kecil dan lokal, maupun pertengkaran dan peperangan besar. Contoh-contohnya sangat banyak, berlimpah-limpah, bahkan berlebihan, dan tidak perlu dituturkan bagi setiap manusia dan Muslim yang memiliki ilmu pengetahuan dan kejujuran hati.
Multipolar pertentangan antar kalangan-kalangan Kaum Muslimin sendiri tidak semata-mata berangkat dari ragam tafsir. Tetapi terdapat tambahan dimensi dari luar kasus tafsir itu sendiri. Ada kepentingan politik dan ekonomi, koalisi-koalisi kepentingan dalam skop global yang tidak lagi memakai garis demarkasi antara Ummat Islam dan Ummat non-Islam. Melainkan bercampur aduk, silang sengkarut dan terdapat belahan-belahan yang sering di luar konteks tafsir itu sendiri.
Perbedaan madzhab bisa gugur demi kesamaan kepentingan geopolitik. Pertentangan aliran bisa batal demi kesamaan kepentingan geoekonomi. Dan perselisihan tafsir bisa dikompromikan demi kepentingan keduniawian yang rendah derajatnya. Sesungguhnya, sesudah berabad-abad sejarah Tafsir yang cemerlang, kurun-kurun ilmu Islam yang dicapai oleh para Sarjana, Ulama dan pelaku-pelaku Islam yang dahsyat – produk mainstream-nya hari ini adalah mismanagement dalam mengalkulasikan keuntungan dunia dan keuntungan akhirat.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. [1] (Asy-Syura: 20).
Mungkin karena tindakan Tafsir terjebak pada kecenderungan untuk menghasilkan kehebatan ilmu dan kepandaian hidup. Berbeda dengan Tadabbur yang mengikat pelakunya pada “kesudahan urusannya”, atau “apa dan bagaimana yang keluar dari duburnya” yang berefektivitas akhirat.