CakNun.com

Miskin Pola Ekspresi: Salah Satu Masalah Anak-anak Muda Kita

Diterbitkan dalam buku "Indonesia Bagian Dari Desa Saya", 1983
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 10 menit

“BAMBANK Kar-john-o from Ngawi. Salam assoy buat seluruh penumpang KA Poerbaya!”

“BBC: Bantul Boys Club”.

“Gone Do and Reen ta laf setory 2 Mey 1978”.

Anda bisa baca kalimat-kalimat semacam ini di dinding-dinding kereta Purbaya umpamanya, bahkan di ruang kondektur dan WC.

Iseng-iseng mungkin, daripada kesel kereta lambat, padahal mau ke restorasi harganya berlipat. Tapi mungkin juga ini suatu gejala sosial: ia adalah ungkapan polos jujur dari bagian kejiwaan anak-anak muda. Sebab ada ratusan coretan macam itu lagi di sekujur badan kereta api, di bangku-bangku tunggu stasiun, di wajah kembang enthong-enthongan, di toilet bioskop, atau di mana pun asal ada ruang dan kesempatan untuk itu. Ribuan, bahkan mungkin jutaan, dan semuanya mencerminkan motivasi psikologis yang sesungguhnya paralel. Datanglah ke warung-warung nasi, kafe-kafe kampus, bangku kuliah dan sekolah, batu-batu di tembok wilayah rekreasi, dan bacalah salah satu wajah anak-anak muda kita: “Dudunk + Thoethiex = Love abadi”, “Salam chayank from Oentoeng Ken Thoengan Booy”, atau “Kenalin Yka, Darmo River Street Su(raba)ya…………………”

Boen S Umaryati pernah mempermasalahkan gejala ini tetapi terutama pada kecenderungan linguistiknya: slang-slang itu, pemilihan huruf untuk mencapai bunyi kata, ragamnya, dan seterusnya. Penglihatan secara sosio-psikologis dalam pada itu ternyata tak kalah menarik. Coretan-coretan itu merupakan salah satu bentuk ekspresi dari perilaku sosial. Menjadikan mereka sebagai responden untuk mengetahui dorongan-dorongan ekspresinya barangkali tidak terlalu menjamin. Baiklah. Kita barangkali harus melihat gejala-gejala lain yang mungkin menyebabkannya, setidaknya punya kaitan dialektis dengannya. Setiap gejala selalu adalah mata rantai lanjut, akibat atau implikasi dari gejala tertentu di sekitarnya, atau yang ada sebelumnya. Sementara itu kita juga tidak bisa menghitung frekuensi para pencoret itu, untuk dibandingkan dengan jumlah keseluruhan anak-anak muda kita, agar bisa disimpulkan kenyataan terbesar. Pendekatan kuantitatif semacam ini akan terasa lucu. Sebab impuls seperti yang diperlihatkan oleh ekspresi-ekspresi itu lebih bisa disentuh oleh kepekaan keseharian saja. Dan saya pikir itu bukan tidak merupakan cara mencapai ‘objektivitas’.

***

Kita menyangka coretan-coretan itu umumnya berasal dari kaum remaja, anak-anak ‘bawang’ yang memang baru mulai tahapan proses pematangan dirinya; pemuda-pemudi yang masih belum berpijak benar, setengah pintar, kebarat-baratan, kampungan atau konyol. Dari estimasi ini segera kita menduga lebih lanjut: anak-anak muda yang telah didewasakan oleh tingkat pendidikannya tentu tidak terlibat coret mencoret itu.

Untuk batas tertentu, dan’teoritis’, dugaan ini mungkin tidak terlalu salah. Makin mendekati kedewasaan usia seseorang, makin tinggi tingkat pendidikannya, makin meluas pengalaman pergaulannya, tentu makin berkurang kecenderungannya untuk berkelakuan yang sia-sia. Ia tentu sudah punya sense atau prinsip tentang daya guna, efisiensi tenaga, atau efektivitas kerja. Mahasiswa UGM tingkat III umpamanya, sukar dibayangkan akan mencoretkan namanya di tembok WC kereta api. Itu adalah pernyataan paling dangkal dari sebuah pribadi. Seseorang yang telah sublim, punya kesadaran tentang kedalaman, melihat bahwa hidup memerlukan kematangan, tidaklah bakal mengerjakan kenihilan konyol itu. Demikian kiranya.

Tapi coba kita lihat gejala lain. Di Indonesia ini ada sebuah Perguruan Tinggi yang para mahasiswanya terkenal punya karakter tersendiri yang keras, reaktif, penuh harga diri dan gengsi. Datanglah ke sana dan tangka cerminan dari ‘iklim dan kultur’ dari masyarakat mahasiswanya, umpamanya kalau kebetulan nonton pentas kesenian di sana. Mereka punya spontanitas tinggi, temperamennya ekspresif, sikapnya frontal. Anda sukar melihat perbedaan perlakuan mereka terhadap penampilan seorang Menteri Negara. Jika ada yang tak cocok buat otak mereka, akan langsung hantam kromo. Rektor, pejabat militer, penyair besar atau anak-anak kecil sekalipun. Mereka sangat terbuka dan los. Tetapi untuk hal-hal tertentu ada juga saat tak kita temukan keterbukaan itu. Ambil misalnya terhadap pentas seni ‘serius’, sulit kita jumpai kesediaan untuk bersikap terbuka —syarat minimal agar kesenian bisa tampil apa adanya. Ini memang persoalan klasik seni baru Indonesia yang secara sosiologis belum menemukan betul ‘tanah lapang’ bagi pcndaratannya. Tapi soalnya di sini ialah sikap menghukum sebelum tahu apa yang dihukum. Jadi tidak ilmiah, tidak fair. Dan keterbukaan itu terasa disebabkan oleh kurangnya sikap rendah hati, yang merupakan modal etis setiap manusia yang penuh keterbatasan untuk tahu segala-galanya.

Yang perlu dicatat dari ‘kultur’ itu, dalam kaitannya dengan perbincangan kita ini, ialah motivasi psikologis yang kelihatannya sama dengan yang terjadi di balik coretan-coretan di WC kereta api di atas. Motivasi itu demikian wajar dan sah bagi setiap pribadi manusia, meskipun menjadi soal kita apakah sesuatu dimunculkan dari gaung dalam lautan ataukah sekadar dari gemericik ombak-ombak kecil di permukaan.

Motivasi itu ialah semangat untuk hadir, Hasrat besar untuk tampil. Kerinduan untuk ada, eksis. Ekspresinya, spontanitasnya, bagaikan gunung meledak. Sayang sekali ‘bisul’ gunung itu belum matang benar, dan belum berdiri di atas landasan yang sudah memadai, Sehingga seringkali sekadar merupakan keriuhrendahan yang mengambang belaka. Demikianlah yang pernah saya saksikan: tahapan kualitatif ’iklim kultur’ Perguruan Tinggi yang saya sebut di atas. Saya sudah barang tentu sangat memaklumi, terutama karena fase masyarakat kampus tersebut yang masih dalam proses. Darah muda yang sedang panas-panasnya. Besok pagi pasti makin mengendap.

Fase ini pula yang menyebabkan suatu latar belakang psikologis yang lain. Misalnya, rasa superioritas yang tinggi. Sebutlah nama kampus itu adalah X: rasa ke-X-an mereka demikian tinggi, bahkan tak jarang berlebih. Ini tentu bagus kalau dipakai untuk memotivasi kerja individu masing-masing mahasiswanya di dalam keterlibatan keilmuannya. Dipakai untuk menumbuhkan dan mendorong ketekunan belajarnya. Sehingga para mahasiswa itulah yang mengangkat kampus X, dan bukan sebaliknya. Sebab kebanggaan yang berlebih terhadap sebuah status, bisa melemahkan subjek penghuni status itu. Ia bahkan bisa justru ’ndompleng’ pada status, ’menyerah’ dan puas pada nama ke-X-annya. Dan sedikit banyak hal ini memang telah terjadi.

Kenyataan ini membuat dugaan kita di atas, bahwa tingkat tinggi pendidikan seseorang, akan lebih menghindarkannya dari pekerjaan kenes yang sia-sia: corat-coret atau teriak-teriak mengambang di atas itu umpamanya benar. Rasa superioritas yang berlebih bukan saja membikin mereka abai terhadap objektivitas diri sendiri, tetapi juga menumbuhkan perilaku yang over dan sia-sia, yang tidak mustahil justru merupakan kerugian bagi sebuah lingkungan.

Sentuhan yang terpenting dari ’iklim kultur’ tersebut ialah betapa tingginya gairah untuk muncul. “Ini dadaku!”. Mereka mendengarkan pidato, tapi jika dimungkinkan, mereka pun ingin berpidato. Jika boleh mereka pun ingin pentas teater, meski pun cukup dengan duduk di tempat penonton. Berpartisipasi. Turut ambil bagian aktif dalam suatu kegiatan. Batas kewajaran atau etis dari suatu partisipasi masih merupakan soal nomor dua. Untuk menyebut ilustrasi lain: karena motivasi yang demikian pula, maka kita tidak terkejut kalau ada forum diskusi tak sedikit orang maju ke podium dengan asal tampil dan as-bun saja. Institusi seperti Taman Ismail Marzuki Jakarta, bahkan untuk beberapa tahun tidak mampu mengelakkan diri dari dominasi para partisipan asbun begini. Dan ini hanyalah ekspresi yang wajar belaka dari kultur masyarakat kita yang masih lebih kuantitatif daripada kualitatif. Yang penting nongol dulu: ini batang hidungku. Bagai burung merak melebarkan ekornya. Ini aku! Ini aku! Pemuda ialah yang berkata “Ini aku!”, bukan “Ini Babeku!”, “Ini pistol Bapakku!”, atau “Ini kampus X-ku!”. Nah, sampai di x ini, ternyata ada ironi. Sebab esensial, yang ditonjolkan bukanlah ’aku’, melainkan ’X-ku’.

***

Demam eksis bukan gejala abnormal, apalagi dosa. Ia sah dan wajar dan amat manusiawi. Itu vitalitas pribadi. Energi hidup. Potensi. Anak kita begini nakal, tapi ini suatu potensi: setiap perwujudan potensi butuh modus, bentuk, media atau saluran-saluran. Persoalannya ialah, bentuk ragam lingkungan sosial budaya kita seberapa banyak dan berkualitas menyediakan kemungkinan untuk itu. Atau, dalam prinsip-prinsip kreativitas, apakah pendidikan bagi manusia-manusia serta kebiasaan-kebiasaan kehidupan mendorong mereka untuk mencari manifestasi dari potensinya masing-masing. Kemudian apakah jaringan kemasyarakatannya mampu menampungnya dan memberi ruang gerak baginya.

Ambil contoh: ngebut misalnya. Ia adalah manifestasi dari vitalitas, hasrat, plus keterampilan dan keberanian. Jika ia ditempatkan di arena balap, akan memungkinkan prestasi yang ’empan papan’. Tetapi, jika tersalur di tengan keramaian lalu lintas kota, di jalan-jalan kampung, maka bisa memungkinkan suatu destruksi lingkungan, krisis integritas, krisis toleransi, bahkan mungkin krisis imajinasi. Pengendara motor yang ngebut minimal bisa membayangkan bahwa pekerjaannya itu ada hubungannya dengan keselamatan para pengendara lain, juga orang-orang di sekitarnya dan dirinya sendiri. Tapi, kebiasaan untuk ’tanggap-lingkungan’ ternyata bukan satu ’mata-kuliah’ yang sederhana dalam pendidikan masyarakat kita.

Ilustrasi lain dari kurangnya sikap ’tanggap-lingkungan’ tentunya bisa kita cari sendiri pada berbagai sisi kehidupan anak-anak muda kita. Watak kurang terbuka, gampang apriori, gampang merasa tahu, gampang menyepelekan, seperti yang dalam kadar tertentu terungkap dari ’iklim kultur’ terurai di atas, merupakan salah satu ciri menonjol karakter anak-anak muda kita. Dari satu sudut, daya spontanitas yang tinggi, karakter yang nampaknya ekspresif seperti itu merupakan hal yang menggembirakan. Sikap ’galak’ masyarakat mahasiswa Perguruan Tinggi yang saya sebut di atas itu bagaimana pun merupakan kelebihan dibanding rata-rata kaum muda kita yang cenderung pasif. Tapi dari sudut lain kita juga tetap mendambakan ’kelengkapan’ bahwa setiap ekspresi mesti dipersyarati oleh ’isen’, substansi, modal yang memadai dan kematangan. Proses budaya masyarakat kita, di abad intelektual ini, masih di jenjang awal untuk mampu menjadi tanah subur bagi ’isen’ dan kematangan yang dituntutkan itu.

Kesadaran ’tanggap-lingkungan’ hidup dan bergerak dalam berlangsungnya mekanisme dialektis antara kehidupan individu seseorang dengan situasi lingkungannya. Dalam term psikologi, mekanisme ini adalah semacam ’ping- pong’ antara dunia ’subjek’ dengan dunia ’objek’. Kedudukan subjek dan objek ini bergantung pada kasusnya. Sebuah individu umpamanya adalah sebuah subjek, tapi sekaligus bisa juga objek, baik bagi lingkungannya maupun, bahkan bagi dirinya sendiri. Dalam sebuah kegiatan, satu subjek, si Individu, sedang menteter dan mendiagnosis objek, yang tak lain adalah dirinya sendiri. Ini misalnya.

Dunia subjek dan dunia objek bukan sesuatu yang bisa kita pilahkan berdasarkan suatu konfigurasi dikotomis. Kedua ’dunia’ itu hanya untuk secara deskriptif menyebut adanya suatu dialektika antara dua kedudukan. Seseorang menggarap ’subjek’-nya agar bisa lebih matang dalam menghadapi ’objek’; sementara itu ia menggauli ’objek’ justru juga untuk mengintensifkan kadar ’subjek’-nya. Bisa kita terjemahkan mekanisme ini ke dunia lingkungan di mana ia berada. Kembali kepada problem kita di atas, maka intensitas mekanisme dialektis antara kedua ’dunia’ ini yang menentukan seberapa jauh seseorang bisa tanggap pada lingkungannya.

Kalau sampai dewasa ini, misalnya, kualitas dunia pendidikan formal kita masih belum menjamin mutunya integritas para anak didiknya di tengah lingkungan masyarakatnya, maka logislah kalau kita melihat bahwa kadar ’tanggap lingkungan’ para anak didik kita masih belum memadai. Bagaimana pun pendidikan formal dianggap paling menanggung ’beban’ tanggung jawab dan tugas untuk membawa para anak didik menjelajah ’dunia’ dan cakrawalanya yang amat luas. Banyak ahli mengungkapkan “pendidikan kita masih terpisah dari kehidupan” atau lebih tajam “tercerabut dari akar masyarakatnya”. Kalau ini benar, maka menjadi jelas bagi kita soal kadar ’tanggap lingkungan’ kaum muda kita dewasa ini.

***

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu 
Mereka adalah putra putri kehidupan 
Kau bisa berikan kasih sayangmu 
Tapi tidak pikiranmu 

Demikian Kahlil Gibran, penyair Libanon berkata. Ini soal hakikat kemanusiaan. Harkat murni individu manusia, dan masyarakat ia berkewajiban membesarkan dan mendidik anak itu. Kalau Islam mengemukakan “Kamulah, orang tua, yang menentukan apakah anakmu akan menjadi Islam atau Nasrani!” Tetapi esensial, anak itu adalah milik dirinya sendiri. Ia dilahirkan oleh alam, oleh Tuhan, melewati Ibunya, di atas ’tanah kebudayaan’ pernikahan kedua orang tuanya. Ibu dan tanah itu berkewajiban memberikan cinta hatinya. Tetapi, pikiran anak itu adalah hak dirinya sendiri sepenuhnya. Orang tua boleh mencintai anaknya dengan cara memberikan lanskap, pengetahuan dan isi-isi untuk bahan pemikiran anak itu; tetapi tidak sampai membuat pikiran-pikiran orang tua itu menjadi pikiran anaknya.

Apa artinya ini?

Masalah yang sensitif, samar dan penuh dilema.

Kalau seorang Bapak berkata: “Nak, hidup ini sukar-sukar gampang. Kau harus seimbang, tidak hanya melihat dirimu sendiri, tapi juga melihat orang lain. Orang lain adalah kaca pengilon yang membuat dirimu nampak ada”. Ini jelas bisa ’menjadi pikiran anak itu’. Dan itu baik. Orang tua wajib membimbing anaknya ke arah yang baik. Tetapi persoalannya, letak sifat ’samar’-nya, bahwa membimbing itu sekadar memberi alternatif. Memberi pandangan. Sang anak berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan itu. Di garis inilah terletak kekisruhan kebudayaan hubungan antara anak dan orang tua tetap dalam banyak hal sering orang-orang tua kita bukan sekadar memberi alternatif, tetapi menganggap apa yang ia berikan kepada anaknya itu adalah satu-satunya yang terbaik. Dan harus dianut, dipatuhi oleh anaknya. Dan untuk watak masyarakat kita yang penuh ’rasa’, pemaksaan itu sering lebih berupa ’fetakompli moril: Bapak akan sakit hati dan bersedih kalau anak tak menuruti pikirannya. Pikiran-pikiran merupakan isi dari kehendak. Kehendak merupakan rangkaian dari konsep hidup yang diterapkan oleh orang tua atas anaknya. Sebab itu, sering kita saksikan betapa orang tua menjadi ’tiran’ bagi anaknya. Orang tua menerapkan konsep pikirannya atas anaknya. Orang tua mengarahkan jalan hidup anaknya. Orang tua menentukan masa depannya. Memilihkan cita-citanya, profesinya, bahkan tak jarang juga istri atau suaminya.

Itu berarti anak tak dibiasakan untuk mengenali banyak alternatif, menentukan sendiri pilihannya, arah dari pilihan itu serta pola ekspressinya. Anak-anak kurang didik untuk mengungkapkan dirinya. Anak-anak menjadi semacam objek. Diberi. Tak hanya makan minum dan pakaian, tapi juga bentuk kehidupan. Anak-anak lebih banyak dikendalikan dan dijaga daripada dimerdekakan. Adat dan aturan terlalu mengungkungnya. Anak-anak kurang dilatih untuk mampu merdeka. Sebab memerdekakan itu besar risikonya, termasuk kesiapan dan kesediaan orang tua untuk mungkin ’diberontak’ oleh anaknya. Bahkan juga ketika sudah besar masih harus terlalu banyak, berurusan dengan kotak-kotak. Kita para orang tua sejak dini hari memang bersikap lebih baik tak ambil risiko. Betapapun kemerdekaan bisa diimbangi dengan pembekalan isi agar ia tahu batas kemerdekaannya, tapi lebih simpel kalau anak-anak kita jaga saja. Dijaga digembalakan, dibikinkan bingkai, disuruh atau dilarang, diperingatkan, diancam dan kalau perlu dipaksa. Sejak pendidikan informal keseharian sampai tata aturan umpamanya untuk kepemudaan nasional, yang bicara lebih banyak harus diterimanya konsep orang tua oleh anak-anaknya. Lihatlah misalnya ketidakseimbangan itu pada strategi kemahasiswaan dan kepemudaan nasional kita. Karenanya ungkapan penyair Kahlil Gibran di atas sebagai satu tese, berdiri frontal di seberang kenyataan yang nampak dalam tubuh masyarakat kita. Kesadaran dan kecemasan terhadap kondisi itu, tentu saja ada dan juga santer. Tetapi, baru semacam arus kecil. Untuk hari ini, bahkan, konsep pendidikan kreativitas harus berhadapan dengan sistem politik.

***

Kalau saja kurikulum pendidikan formal kita esensinya lebih dari sekadar pengajaran. Pemberian ’isen’ ilmu pengetahuan secara satu arah. Yang notabene filosofinya hanya sedikit lebih mentereng dibanding pendidikan informal masyarakat kita seperti yang terurai di atas. Kalau saja sekolah-sekolah dan universitas mampu juga memberi ’pengalaman kehidupan’ yang riil, yang mengait erat dengan dunia masyarakat mereka. Kalau saja sifat kurikulumnya dan watak pengajar-pengajarnya lebih dari sekadar memberi konsumsi. Kalau saja sekolah dan universitas benar-benar merupakan pusat kebudayaan!

Dari pendidikan informal keluarga yang lebih “menentukan satu saja alternatif”, sampai pola pendidikan formal yang konsumtif dan satu arah, sampai keseharian ’anak-anak modern’ kita yang penuh fasilitas, pemanjaan dan konsumsi, semuanya secara global kurang menguntungkan adanya iklim pendidikan kreatif.

Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan, dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu. Kurang tergalinya potensi kreatif sejak kecil akan menyebabkan krisis wujud ekspresi individu. Kita pengin cepat enak, hingga gampang menyerah, gampang kompromi, tipis konsistensi, kesetiaan ringkih. Ekornya banyak. Kita jadi gampang ditimang-timang oleh kata, slogan, hiburan tanpa diimbangi oleh disiplin tanggung jawab terhadap realitas. Orang juga menjadi luwes terhadap ketidakberesan, kebobrokan, pengingkaran, ketidaksetiaan, kemunafikan, dan kesemuan. Terlampau terpaku kepada status, simbol, formalitas, baju dan rumbai-rumbai. Lihat contoh di perguruan tinggi yang saya sebut di atas.

Sikap pasif dan konsumtif amat dekat dengan apatisme. Sebab ia tidak melatih tenaga berjuang, militansi, sikap perlawanan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan. Apatisme bisa menutupi pandangan terhadap gerak kenyataan. Karena itu proses belajar tanggap-lingkungan tidak hidup subur. Ngebut, seperti dicontohkan di atas, bisa merupakan ujian elementer tentang integritas. Kesadaran dan wawasan lingkungan. Apakah ia tanggap secara pikiran, dan secara perasaan. Apakah ia menemukan hubungan sebab akibat antara tindak ngebutnya dengan lingkungannya serta dirinya sendiri. Penemuan itu bisa menggedor pikiran dan perasaan, yang dengan begitu mengantarkannya mungkin kepada keputusan tindakan yang lain.

Sebenarnya medium apa pun dalam hidup ini terbuka untuk menjadi wadah latihan membiasakan daya tanggap lingkungan. Persoalannya hanya terletak pada bagaimana kepekaan sebuah subjek. Merokoklah sebatang saja. Pasti terbayang kebun-kebun tembakau. Pabrik pembikin rokok itu. Pekerjanya yang beribu-ribu. Anak istri para pekerja ini. Kehidupan sehari-hari mereka. Rejeki dan kesusahan hidupnya. Terbayang sketsa dari lapangan-lapangan kerja. Terbayang kesempatan sosial. Kondisi perekonomian. Sebatang rokok bisa mengantarkan kita ke dua negara raksasa dunia yang di cantelan tergantung mati-hidupnya politik ekonomi sekian negara lain. Berkendaraan di Jalan Thamrin bisa untuk latihan bergaul. Gerak-gerak silat bisa mengundang kehidupan. Menyimpan dan mencerminkan falsafah: kecepatan gerak, esensinya, merebut satu sekon, hakikat dimensi waktu dan ruang, perimbangan masukan dan keluaran, melatih ketahanan, menyugesti kekuatan jiwa, dan seterusnya. Main badminton bisa untuk menggosok kepekaan intuisi, menyadari temperamen dan perwatakan pribadi, penguasaan emosi, kesigapan improvisasi, dan seterusnya. Semua bergantung pada kepekaan sebuah subjek untuk memberinya makna. Batu yang menggelinding terus tak akan berlumut, kata orang. Batu bisa menjadi guru.

Kesemuanya turut menentukan sikap mental. Anak-anak mesti dibiasakan sejak dini hari hidupnya untuk selalu belajar kepada apa saja, mencari, menemukan. Agar ia bisa memilih dirinya, bisa menentukan ungkapan pribadinya. Sebab ia hanya bisa ada, di tengah yang lain.

Hasrat untuk ada adalah kodrat manusia. Ia selalu sangat besar dalam sebuah bangsa yang paling tidak kreatif pun. Maka, pendidikan proses meng-“ada” mesti digarap sungguh-sungguh. Dimulai di kamar Ibu, di ruang depan, di beranda, di halaman tetangga, di sekolah, kemudian di tengah kehidupan luas.

Anak-anak kita itu ada. Ada. Kenapa kita tiadakan?

Lainnya

Exit mobile version