Min Haitsu Yogya La Yahtasib
Framing tulisanku adalah area Majelis Ilmu. Yang tiap hari kutulis ini, apalagi tentang Yogya, bukan paparan pengetahuan, bukan pendapat keilmuan, atau pandangan sosial, apalagi pernyataan politik. Yang kulakukan adalah pembelajaran dialektika di antara pertanyaan dengan jawaban. Tanpa kritik, kecaman, tuduhan, saran atau harapan apapun kepada Keraton Yogya maupun Negara Indonesia.
Di samping menambah isi gudang di rumah untuk anak cucuku kelak, ini hanya menjalankan kewajiban “bebrayan” untuk menjawab pertanyaan. Memang kalau pakai demokrasi, tak ada kewajiban menjawab pertanyaan, kecuali bagi yang dimandati dan digaji untuk mengurusi pertanyaan dan mencari jawaban. Tetapi kalau berada dalam silaturahmi, kemesraan sosial dan kasih sayang sesama pelaku sejarah – tidak tega membiarkan orang bertanya-tanya tanpa kita bantu mencari jawaban.
Hampir 3-4 kali dalam seminggu saya ketemu ribuan kaum muda, rata-rata 4-5 jam, kalau forum Maiyahan bisa 7-8 jam, di berbagai daerah. Forum kami bebas 100 persen, siapa saja boleh datang tanpa syarat. Setiap kebaikan dan keburukan yang dibawa masuk ke situ memperoleh imbalan alamiah dan manusiawi. Minimal 1-2 jam sesi ekspresi dan tanya jawab. Yang bisa diakomodasi hanya antara 25-30 orang yang dipersilakan naik panggung. Dan di antara itu semua pertanyaan tentang Yogya semakin deras, termasuk di luar jauh dari Yogya.
Profesi saya bermacam-macam. Kadang keranjang sampah. Saat lain pemadam kebakaran. Ban serep. Sendal. Bemper. Pisau, anak panah atau peluru, yang dipegang oleh banyak orang di sekitar saya, dipakai sebagai senjata untuk menghantam lawannya. Saya telantang buat orang buang galau, sedih, bingung, derita, sengsara, gelap, dan apapun pada hidup mereka. Orang curhat hati keruh, jiwa gelisah, pikiran ruwet, penghidupan makin sulit, dan kehidupan yang tak menentu. Posisi saya bukan psikiater, psikolog, supervisor, konsultan, Mursyid, Syekh, Begawan, Panembahan, Guru Bangsa atau apapun. Saya orang tua mereka. Mereka anak cucu saya. Mereka panggil saya “Mbah” – yang di antara mereka mendesak: Bagaimana sebenarnya yang sedang terjadi dan akan terjadi di Yogya?
Para Ilmuwan dan kaum cendekiawan NKRI kita mohon menjelaskan bagaimana aturan main NKRI ketika berdiri dulu tentang Kerajaan, sehingga sekarang Mahkamah Konstitusi yang mengatur paugeran dan pranatan Keraton, menentukan apa siapa Raja. Entah apa konsep Indonesia tentang para pendahulunya di masa silam. Entah bagaimana pandangan NKRI tentang se-milenium Kerajaan Nusantara, serta bagaimana pembelajaran tentang VOC dan Kerajaan Belanda penjajahnya yang sampai hari ini tetap Kerajaan. Sebagaimana juga Inggris, Denmark, Spanyol, Swedia, bahkan Jepang, Thailand, Malaysia atau Brunei.
Untuk latar pengetahuan, mohon dipaparkan “hujjah” bagaimana asal-usulnya sehingga Indonesia begitu mantap hatinya dan gagah perkasa dengan Republiknya. NKRI mateg aji dengan Negara Kesatuannya. Dulu Negara-negara Eropa Timur, termasuk Jerman Timur, madhep mantep dengan Republik Demokratiknya yang sama sekali tidak demokratis. Sampai kemudian Gorbachev bikin badai di Uni Soviet. Lantas berikutnya berlangsung Balkanisasi hingga Arab Spring yang Indonesia tidak tampak sungguh-sungguh belajar kepadanya. Ada yang bertanya apakah itu semacam buta warna: hanya melihat hitam dan putih. Keraton didemokratisasikan, dengan asumsi bahwa Kerajaan itu musuh dan kutukannya Republik dan Demokrasi. Ayam jangan menggonggong, anjing seharusnya berkokok. Atau apa gerangan?
Apakah menurut wacana berpikir Mahkamah Konstitusi: sejak Raden Patah jumenengan Kesultanan Demak Bintoro, dilanjutkan Pajang, Mataram Islam, hingga Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta – pemimpin-pemimpinnya adalah penegak diskriminasi dan pelanggar hak asasi manusia? Adalah penghancur koalisi Hindu-Budha di Majapahit dengan Demokrasi Kutaramanawa-nya, dengan pengingkaran terhadap hakiki nilai manusia dan kemanusiaan?
Bolehkah di Perpustakaan Mahkamah Konstitusi aku numpang baca buku-buku sumber konstitusi Mataram Islam penegak diskriminasi itu – misalnya “Serat Suluk Garwa Kencana”, “Serat Iskandar Zulkarnain”, “Serat Yusup”, “Serat Uslubiyah”, “Tajussalatin” dan “Bustanussalatin”. Atau “Serat Tapel Adam”, “Serat Makutorojo”, “Serat Tuhfat An-Nafis”, “Serat Srimpi Jemparingan”, “Serat Arjunawijaya”? Syukur sekalian perumusan lanjut muatan Kitab-kitab itu di Serat Suryorojo pada HB II, yang kemudian dipermudah bahasanya di Serat Purwokondho oleh HB V? Yang menyatakan bahwa kalau Rajanya perempuan maka Kerajaan akan ambruk?
Sampai akhirnya HB X menghapus prinsip itu dengan Sabda Rajanya, di mana beliau dipercaya punya kualitas rohani seperti para Nabi dan Rasul, sehingga Allah memberinya “wahyu”. Dan diteguhkan kekuatan konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi, yang tentunya punya derajat lebih tinggi lagi sehingga berposisi memberikan legitimasi atas Sabda Raja yang ber-maqam wahyu.
Andaikan para ahli sejarah bisa menunjukkan fakta bahwa HB IX pernah menyatakan bahwa Keraton Yogya berakhir pada beliau, maka sesudah beliau wafat pada Minggu malam 2 Oktober 1988 di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat – putra beliau bisa langsung mengumumkan bahwa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah berakhir, sesuai “dhawuh” Swargi Kaping Songo itu. Kemudian langsung mengumumkan berdirinya Keraton baru. Tidak ada lagi Sultan dengan gelar “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panotogomo Khalifatullah”.
Bahkan Raja tidak harus bergelar Sultan, bisa Prabu misalnya sebagaimana Majapahit. Pemegang Keris Joko Piturun mendeklarasikan nama Keraton baru, gelar baru, konstitusi baru, segala sesuatu yang lainnya juga baru. Dengan demikian tak perlu lagi kontroversi tentang Khalifatullah, Sayidin atau Sayidatin Panotogomo, bahkan toh tak ada lagi Ngalogo di mana beliau harus menjadi Senopati. Pun sikap dan peletakan dirinya terhadap NKRI. Apalagi Indonesia yang sangat membenci Khilafah, bisa menggunakan Perppu kepada lembaga yang dipimpin oleh Khalifatullah.
Tak perlu perdebatan apakah gula harus asin, dan garam justru manis. Atau buang jauh-jauh pertentangan gula garam: misalnya Yogya cukup menjadi Provinsi dengan Gubernur saja sebagaimana daerah-daerah lain. Tidak usah Keraton dan Daerah Istimewa. NKRI tinggal memperlakukan Keraton Yogya sebagai benda-benda pariwisata. Karena toh bagi NKRI, masa silam adalah reruntuhan benda-benda, yang tak ada muatan nilai sejarahnya. Dalam Bahasa awam, toh Indonesia hanya kenal “cangkul dan sabit” dan “pedang kekuasaan”, tanpa memerlukan “keris”, “pusaka”, “kasepuhan”. Indonesia hanya panggung untuk politisi, dan tidak punya aspirasi tentang Negarawan, Begawan, Punakawan, atau Panembahan – sehingga tak perlu menyediakan wadah untuk fungsi mereka.
Kalau mengacu ke Lima Pilar NKRI, yang bergiliran berkuasa di Indonesia adalah Pilar-2, yakni Tentara Rakyat atau kekuatan militer selama Orba. Kemudian Pilar-3: Kaum Cerdik Pandai berkuasa sesudah Orba sampai hari ini. Sementara Pilar-1 Rakyat adalah Ibunya, baik dalam konteks Tanah Air maupun Ibu Pertiwi.
Pilar-4 Adat dan kekuatan Budaya. Tidak jelas perlakuan atasnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa Indonesia merasa perlu mencari konsep yang berakar, dengan kelengkapan dan komprehensi. Apa, kenapa dan bagaimana Keraton, Kerajaan, Kesultanan: tidak jelas bagi Indonesia. Indonesia tidak merasa membutuhkannya atau belajar kepadanya.
Mungkin karena cita-citanya adalah menjadi makhluk turunan Eropa, kemudian di-stèk dengan Amerika, Jepang, Korea, Arab dan Cina. Sebab diam-diam terdapat anggapan di bawah sadar Indonesia bahwa nenek moyang di masa silam adalah orang-orang bodoh, belum maju, belum berilmu dan beradab. Bahkan mungkin jahat, feodal dan diskriminatif, karena Kerajaan pastilah tidak demokratis.
Adapun Pilar-5, Agama dan kekuatan Spiritual, hanya bumbu masak. Yang penting ada rasa Agama, tampak Agama, kayak-kayaknya Agama. Bumbu rasa ayam, tidak perlu ayam beneran. Rasa ketuhanan saja cukup, tidak perlu Tuhan.
Walhasil, Indonesia hidup sampai hari ini dengan angin siklon dan anti-siklonnya sendiri. NKRI sedang dan akan mengalami puting beliungnya sendiri. Maka, di ruang sejarah yang penuh kabut seperti itu: para penguasa di Keraton Yogya, tak apa terlambat bikin Kerajaan baru yang seharusnya bisa dilaksanakan sesudah 2 Oktober 1988 – sekarang dinanti-nanti untuk bersegera memproklamasikan Lembaga Kekuasaan baru yang fresh sama sekali. Bisa Kerajaan bisa Kesultanan atau apapun saja. Karena toh sudah madhep mantep, sudah tak punya pertanyaan tentang “min haitsu la yahtasib” hari-hari esok. Sudah pasti “la yarji’un”, tak bisa kembali ke yang sebelumnya. Dengan “shummun bukmun ‘umyun” ataupun tidak.
Saya bukan siapa-siapa. Bukan kawulo. Hanya wong cilik. Saya sedang berjalan menuju rumah di mana saya akan bersujud di kaki Gusti Ratu Ibu.
Yogya, 11 September 2017