Mewajah ke Langit
Mushaf Al-Qur`an di atas telapak tanganku yang mewajah ke langit. Qur`an Kehidupan menghampar di keluasan yang mengelilingiku, yang bergetar-getar di ruang yang mengepungku, yang keluasannya berbatas ketakterhinggaan. Aku terayun-ayun di jagat raya Iqra`.
Kedua mataku menatap deretan huruf-hurufnya, perkusi harakat-harakatnya, irama alunannya, nada penekanan-penekanannya, aransemen kata dan kalimat serta kandungan rahasia maknanya. Penglihatanku merenangi huruf-huruf Al-Qur`an, batinku mengembarai alam, hutan belantara, gunung-gunung, lautan yang mentakjubkan dan gelombangnya yang penuh kesetiaan, sungai-sungai, pepohonan, jutaan ragam hewan, serangga, hingga ke langit yang terletak jauh di luar pembayanganku.
Aku terlempar dan terjerembab di dataran terjal hidupku sendiri. Aku tergeletak di tanah berbatuan diriku sendiri. “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”. [1] (Ar-Rum: 8).
Tidak. Kallaa. Sama sekali tidak. Kedunguanku takkan kubiarkan menafsirkan atau apalagi menafsir-nafsirkan Al-Qur`an, yang cahayanya terang benderang, namun kelam di pandangan kebodohanku, serta remang-remang di penglihatan kedunguanku. Aku pandir, dan takkan kulepas untuk memahami dan memaknainya. Aku hanya membacanya, mengucapkannya, kemudian sesekali menirukan kutipan ayat-ayatnya.
Syukur atas anugerah ilmu dari-Mu ya Allah untuk melayani dunia. Tetapi yang kubawa kepada-Mu hanya kerinduan untuk bertemu.