Menyembah Madzhab
Menjalani kehidupan yang paling efektif dan akurat bagi setiap manusia sebenarnya adalah fokus mencari Allah. Bukan menemukan-Nya. Mencari-Nya saja. Atau cukup tidak melupakan-Nya.
Para pembelajar ilmu batin selalu membawa-bawa jargon “Barang siapa mengerti dirinya maka ia mengerti Allah-nya”. Kebanyakan yang terjadi adalah kecenderungan psikologis untuk “mandek” pada kata “mengerti”. Atau terserah “mengerti” itu yang dimaksud pada tahap mana: “tahu”, “paham”, “weruh” atau apapun.
Tetapi jarang diperhitungkan atau diteliti mana yang lebih efektif antara “mengerti diri” ataukah “mengerti Tuhan”. Kalau orang memproses perjalanan ke dalam jiwanya untuk mencari dirinya, ia butuh mengalami pengembaraan panjang agar pada akhirnya mengerti Tuhan, sesudah itu mengurai-urai dan memilah-milah sampai mengerti dirinya.
Kata Mbah Sot dulu: “Tak usah bertele-tele mencari dirimu, langsung mencari Allah saja, supaya justru lebih langsung menemukan dirimu”
“Dan janganlah engkau menjadi seperti orang yang melupakan Tuhannya sehingga melupakan dirinya...” [1] (Al-Hasyr: 19). Metode dan urutannya menurut Allah adalah lupa Tuhan lantas lupa diri, bukan lupa diri lantas lupa Tuhan.
“Jadi, cari Allah saja”, sambung Mbah Sot, “diri kita adalah bagian dari Allah. Kalau sibuk mencari diri, nanti malah Tuhan kelupaan. Yang benar-benar ada itu Allah, kita sekadar seolah-olah diadakan dan diselenggarakan. Maka salah satu aplikasinya: jangan ribut memohon-mohon ridla Allah. Fokuskan untuk selalu ridla kepada Allah. Maka dengan sendirinya memperoleh balasan ridla-Nya”.
Karena traumatik dan paranoid meminta ridla Allah, manusia malah bisa terpeleset sibuk dengan ibadah mahdloh sampai akhirnya menyembah ibadah. Gaduh dengan syariat sampai akhirnya menyembah Syariat. Bertengkar tentang Madzhab sampai akhirnya menyembah Madzhab. Bersaing antar golongan akhirnya menuhankan golongan.