Menyayangi dalam Kelumpuhan
“Kasih sayangnya mana, Pakde?”, Seger bertanya, “Kenapa rutenya hanya keperkasaan, kebijaksanaan, dan ke-alim-an. Kasih sayangnya di mana?”
Pakde Tarmihim agak kaget juga oleh pertanyaan itu. Mungkin ia kurang utuh mentransfer pikiran Mbah Sot. Tetapi karena bertahun-tahun ia terbiasa bergelut dengan cara berpikir dan cara hidup Markesot, spontan Pakde Tarmihim bisa saja menjawab, seolah-olah sudah dikonsep sebelumnya. Seolah-olah memang demikian kerangka keilmuan dan pengertiannya.
“Seluruhnya itu berada di dalam bulatan kasih sayang”, jawabnya, “Kasih sayang memerlukan perangkat-perangkat itu semua: keperkasaan, kebijaksanaan, dan ke-alim-an, dalam suatu pengelolaan yang tertata dengan tepat. Siapapun yang menyayangi, pertama-tama ia harus menggendong, atau memanggul. Untuk itu diperlukan keperkasaan. Memang bisa menyayangi dalam kelumpuhan. Tapi itu cacat sosial. Itulah keadaan Kaum Muslimin di abad-abad mutakhir sekarang ini. Rahmatan lil’alamin tapi lumpuh, tanpa keperkasaan. Produknya bukan kebijaksanaan, tetapi keterjajahan dan keterbudakan”
“Kami pernah merumuskan itu, Pakde”, Seger menyela, “Kita Ummatnya Kanjeng Nabi sekarang ini merasa moderat, padahal maksudnya kompromis. Kita yakin kita adalah ummatan wasathan, padahal faktanya adalah kemunafikan. Kita selalu mengalah, karena memang selalu kalah…”
“Kami orang-orang tua sudah lelah mengatakan kalimat-kalimat seperti itu”, Pakde Tarmihim merespon, “mendengar saja capek. Apalagi memikirkan kondisi itu seperti zaman masih muda dulu. Bahkan mengingatnya saja sudah kehabisan energi. Diam-diam kami ini kafir. Kami ini tai asu… ”Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [1] (Yusuf: 87).