CakNun.com

Menuju Manusia Multikultural Masa Depan

Catatan Sinau Bareng Universitas Brawijaya, Malang 13 September 2017
Redaksi
Waktu baca ± 5 menit

Bukan pemandangan yang setiap hari ada, jika gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya (UB) itu ramai di malam hari. Gaung suara dari dalam gedung terdengar sampai di luar. Para anak manusia berjejalan sampai di luar gedung. Tunggu dulu. Di sebelah selatan gedung, tepat di samping kanan pintu masuk itu ada sebuah stan buku bertuliskan Pojok Ilmu. Para anak manusia yang kebanyakan kaum Adam itu juga ada yang mengenakan peci merah putih. Sudah tidak diragukan lagi, di sini pasti ada Maiyahan, Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng.

Foto: Adin
Foto: Adin

Benar. Rabu malam, 13 September 2017 itu memang ada Cak Nun dan KiaiKanjeng berada di sana. Dalam rangka memeringati Dies Natalis ke-8 FIB UB, Sinau Bareng malam itu bertemakan keberagaman, persatuan, dan nilai-nilai kebangsaan. Acara yang dimulai pukul tujuh malam itu langsung diserbu para anak manusia dari berbagai penjuru. Jangan salahkan jika Anda tiba di lokasi pukul 21.00 WIB, gedung sudah sangat sesak. Untuk hanya sekadar masuk gedung, melihat apa dan siapa yang di atas panggung pun sangat kesulitan. Sebuah keberuntungan jika Anda bisa berdesak-desakan masuk ke dalam gedung itu. Apalagi bisa sampai mendapatkan tempat lesehan, duduk bersama hadirin dan jamaah yang sudah datang terlebih dulu untuk turut menyimak Sinau Bareng yang akan usai tiga jam lagi itu.

Washilah Persatuan

Acara Sinau Bareng malam itu akan sangat membantu memanjakan para mahasiswa atau siapapun saja yang biasa berada dalam ketegangan berpikir, kerupekan, ataupun kesemrawutan-kesemrawutan keadaan. Apa pasal? Sinau Bareng digelar dengan sangat apik. Suasana mengalir begitu saja dalam atmosfer kemesraan kebersamaan. Kendatipun begitu, itu bukan berarti acara ini hanya untuk bersenang-senang saja. Tetap saja banyak ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Guyonan-guyonan yang dilontarkan pun tak jarang memberikan pesan-pesan kepada para pendengarnya. Asik banget acara ini. Sudah tidak perlu merogoh kocek untuk membeli tiket, bisa mendengarkan alunan musik gamelan yang indah dan unik, dapat ilmu plus-plus pula. Paket lengkap wis pokoknya.

Seperti halnya malam itu, di sela-sela materi yang disuguhkan, bapak-bapak KiaiKanjeng pun mencoba menyampaikan pesan melalui lagu dan permainan-permaianan. Mereka menyanyikan lagu anak-anak sesuai  daerah mereka masing-masing. Tentu itu sangat beragam. Mengingat bapak-bapak KiaiKanjeng tersebut juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. Perbedaan usia di antara mereka pun sedikit banyak menyumbang perbedaan pilihan lagu anak-anak di antara mereka.

Menurut Mas Doni, kita perlu mengingat-ingat kembali lagu-lagu masa kanak-kanak kita dulu. Setidaknya, lagu anak-anak itu mengingatkan kita, betapa dulu kita sangat mudah dipersatukan hanya dengan lagu-lagu itu. Di tengah-tengah perbedaan kita dan teman-teman kita dulu, nyatanya kita pun bisa tertawa bersama menyanyikan lagu itu. Meskipun muka mbesengut, banyak lipatan di wajah karena bad mood, salah paham dengan teman, nyatanya juga bisa langsung ketawa bareng menyanyikan lagu anak-anak sembari memainkan permainan tradisional. Lantas, kenapa setelah dewasa justru seolah-olah kita malah mudah diadu dan berseteru? Ah, mungkin karena kita memang mulai melupakan keindahan lagu-lagu pemersatu itu.

Bapak-bapak KiaiKanjeng juga mempraktikkan permainan tradisional di atas panggung. Melalui permainan yang mengajarkan kita akan sebuah persatuan tersebut, jamaah dan hadirin diajak menyelami kembali masa-masa indah kanak-kanak dulu. Masa-masa yang penuh keceriaan dalam kebersamaan. Dari lagu anak-anak dan juga permainan tradisional ini saja sudah bisa mencerminkan tema kita malam itu. Keberagaman, persatuan, dan nilai-nilai kebangsaan.

Foto: Adin.

Apapun caranya, yang penting bisa membuat hati kita semakin menyatu. Meskipun toh itu hanyalah sebuah lagu. Yang terpenting, bagaimana caranya agar persatuan di tengah keberagaman ini tetap terjaga keharmonisannya. “Kita mencari tahu cara sebanyak-banyaknya  manajemen multikultural itu bagaimana,” ujar Mbah Nun.

Bersatu dalam Kemandirian

Berbicara tentang persatuan dalam keberagaman, Mbah Nun pun memuji paseduluran orang-orang Maiyah. “Arek-arek iki pasedulurane nemen. Enggak kenal, moro-moro ditolong, disilihi payung.” Orang-orang Maiyah ini jalinan persaudaraannya sangat luar biasa. Tidak kenal sama sekali, tiba-tiba ditolong. Dipinjami payung, misalnya. Berangkat dari latar belakang yang sama sekali tak sama, tidak ada ikatan darah di antara mereka, tapi tak pernah pikir-pikir kalau mau tolong-menolong antar sesama. Mereka tak membutuhkan waktu lama untuk bisa saling mengasihi, saling memberikan rasa aman dan nyaman satu dengan yang lainnya.

Dan pemandangan seperti ini tidak hanya baru-baru ini saja. Dari dulu sampai sekarang, orang Maiyah masih saja sama. Mereka masih tetap dibalut keindahan akan kuatnya tali persaudaraan dan persatuan. Mereka tak pernah meresahkan keberagaman. Alih-alih memperdebatkan perbedaan, mereka malah asik belajar melihat kebaikan dan keindahan dari perbedaan tersebut.

Kalaulah Anda ingin mencicipi keindahan persaudaraan ini, datanglah pada Maiyah. Buktikan dan rasakanlah sendiri. Tak perlu Anda membawa apapun, bersolek dengan topeng manapun, karena Maiyah tak mengenal syarat. Maiyah telah dan akan tetap mengasihi juga mencintai tanpa syarat. Jadi kalau berbicara multikultural, dari dulu Mbah Nun bersama orang-orang Maiyah sudah seperti itu. “Tidak ada syarat apapun, itu yang namanya multikultural,” jelas Mbah Nun.

Lebih lanjut, Mbah Nun pun menjelaskan bahwa sebenarnya kita tidak pernah ada masalah perihal multikulturalisme. Yang ada hanyalah rekayasa-rekayasa masalah dari ‘atasan-atasan’, baik dari skala nasional maupun internasional.

Rekayasa-rekayasa masalah tersebut bisa kita jumpai dalam banyak bidang. Termasuk juga pada penyelewengan makna dari suatu kata. Radikalisme, misalnya. Selama ini kita dikenalkan bahwa yang namanya radikslisme itu sesuatu yang tidak baik. Islam radikal, berarti Islam yang serem, Islam yang kejem. Padahal, radikal sendiri artinya adalah keras. Sedang keras tidak melulu dengan sesuatu yang tak baik. Keras itu baik asal pada tempat yang tepat. Sebagaimana kekerasan-kekerasan yang tetap kita butuhkan dalam tulang-tulang penopang tubuh kita. Kalau tidak dengan kerasnya tulang, bagaimana tubuh ini bisa berdiri dengan tegak? Kalau tidak ada kekerasan dalam tubuh kita, bagaimana kita bisa berjalan, bergerak untuk turut hadir di lautan cahaya ini? Lagi-lagi, baik kekersan maupun kelembutan memang sama-sama kita butuhkan pada posisi dan porsi yang tepat.

Melihat fenomena ini, Mbah Nun pun mewanti-wanti agar kita tidak sampai ikut-ikutan mau dibodohi dunia. Kita harus mandiri. “Kenali diri sendiri, dan mandirilah atas dirimu sendiri.” Kurang lebih begitulah satu dari sekian resep yang diberikan Mbah Nun agar kita bisa mengubah dunia, memperbaiki dunia.

Mendekati pukul dua belas malam, jamaah dan hadirin dipersilakan maju ke atas panggung untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Jamaah dan hadirin tampak sangat antusias. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penanya dan beragamnya pertanyaan-pertanyaan mereka. Dalam sekejap, sebelah kanan dan kiri panggung sudah dipadati anak-anak muda yang ingin bertanya.

Foto: Adin

Pertanyaan mereka pun beragam, ada yang menanyakan maksud pesan sebuah tembang dolanan, sharing tentang komunitasnya yang tengah belajar menggali dan menghidupkan kembali permainan tradisional, sampai ada yang menanyakan ilmu pawang. Tentu respon dari Mbah Nun pun juga beragam. Bulir-bulir ilmu dan hikmah Beliau mengalir begitu saja merespons atas apa yang ditanyakan para kawula muda itu.

Di antaranya, Mbah Nun sempat memberikan sedikit gambaran akan ilmu pawang. Bahwa yang namanya pawang adalah mereka yang tidak menyakiti dan tidak bisa tersakiti. Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Tanpa terasa, jarum jam sudah berjalan melewati batas waktu tengah malam. Sesuai kesepakatan, pukul 00.00 WIB, pertanda acara itu harus segera disudahi. Orang-orang itu harus segera mengakhiri perjumapaan dalam ruang dan waktu. Untuk kemudian mereka saling bertemu di ruang rindu. (Hilwin Nisa’)

Lainnya

Topik