CakNun.com

Menjaring Mutiara Hikmah di Samudera Maiyah

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Sampai hari ini saya belum bisa mendefinisikan maiyah itu apa. Maiyah memang sukar didefinisikan. Kira-kira konsep ilmu modern apa yang bisa digunakan untuk menakar maiyah itu serupa dan sejenis apa. Apakah Maiyah itu benda, barang, lembaga, organisasi, paguyuban, komunitas, fanbase, majelis taklim atau apa? Dan Maiyah bukan itu semua. Maiyah memang multi. Multi-arti, multi-fungsi, multi-intepretasi serta multi-multi yang lain.

Maiyah mengajarkan kita apa saja. Segala segi dan lini kehidupan dibahas di sana. Di Maiyah kita dapat memperoleh banyak hal. Mau cari ilmu ada, cari solusi banyak, cari hiburan gratis ndak bayar. Pengin cari teman silakan, cari pacar, gebetan atau golek bojo, monggo mblo.

Setiap orang yang datang maiyahan mempunyai motif dan tujuan yang berbeda-beda. Dan itu tidak masalah. Ada orang yang mengaku tak ber-Tuhan, tak percaya adanya Gusti Allah, lalu datang ke Maiyahan dan esoknya langsung taubat, mengucap dua kalimat syahadat. Ada sepasang suami istri yang lama tak punya baby, dan setelah ikut Maiyahan beberapa kali, Alhamdulillah sebulan kemudian sang istri diketahui positif hamil.

Ada juga mahasiswa yang frustasi karena ndak kelar-kelar nyusun skripsi. Lantas ada seorang teman mengajaknya Maiyahan. Tak disangka keajaiban datang. Skripsinya diterima, tiga bulan ke depan akan diwisuda. Bahkan ada orang yang sejak dulu gemar menghujat Simbah (CN), memfitnah, mencaci maki, merendahkan, mengkafir-kafirkan namun ketika bertatap muka langsung, airmatanya tumpah. Ia peluk erat-erat tubuh Simbah, sembari haturkan sejuta kata maaf. Ealah drama. Marah jadi sayang. Benci jadi cinta. Dan begitulah Maiyah. Ibarat samudera, rela menampung apa saja.

***

Dan beruntungnya saya atau anda yang diizinkan Tuhan bersentuhan dengan Maiyah. Maiyah telah menempa, mengasah dan melatih keseluruhan hidup saya dengan luar biasa. Dulu sebelum mengenal Maiyah, saya penganut golongan tertentu. Boleh dibilang fanatik. Pola pikir dan sikap saya saklek, kaku dan cenderung batu. Suka menyalahkan jika ada yang tak sepaham. Hobi membid’ah-bid’ahkan ketika ada ritual atau kegiatan yang sekiranya menyimpang. Mudah sekali memvonis ini benar, itu salah. Bahkan parahnya saya berani katakan kepada pemeluk agama lain, bahwa mereka bakal masuk ke dalam neraka. Na’udzubillah min dzalik.

Alhamdulillah Maiyah dapat mengubah mindset dalam diri saya. Menjembarkan pikiran, melapangkan dada, melembutkan kata-kata dan meluaskan cakrawala. Organisme Maiyah saya bawa kemana-mana. Saya tularkan kepada siapa saja. Dan saya implementasikan dalam kehidupan nyata. Pelok Maiyah coba saya tanam di dalam rumah, keluarga, sekolah, lingkungan, masyarakat, komunitas, paguyuban dan lain-lain. Kuncinya adalah terus berbuat kebaikan dan memberi kemaslahatan. Untuk siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Semenjak belajar di Maiyah jangkauan dan pemahaman saya semakin luas. Saya tidak lagi sempit dalam memandang sesuatu. Tidak lagi mudah men-judge ini benar, itu salah. Tidak lagi keras dalam menyikapi perbedaan. Dan welcome dengan siapa saja, agamanya apa, suku apa, alirannya apa, mazhab dan golongannya apa tidak ada masalah. Hal ini yang semakin hari semakin mengasah diri saya untuk lebih bersikap dewasa, arif dan bijaksana.

***

Beberapa waktu lalu, saya dan istri sepakat untuk mengontrak rumah sendiri. Tidak lagi numpang di tempat mertua. Biar bisa lebih bebas dan leluasa. Kami berdua memilih untuk bertempat tinggal di kompleks perumahan. Dan namanya perumahan, penghuninya pun beragam. Ada yang asli wong Jowo, Sunda, Madura, Batak, Minang, Betawi, Bali dan lain-lain. Di sana pula berbagai profesi ada. Mulai dari guru, TNI, polisi, pedagang, pegawai kantoran sampai dokter hewan. Perumahan bisa dikatakan sebagai miniaturnya Indonesia. Sebab di sana ada bermacam suku, agama, profesi dan adat kebiasaan. Meski berbeda dan beragam namun tetap bisa hidup rukun berdampingan. Itulah ruh Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai warga baru kami pun berusaha untuk membuka diri dan membaur dengan warga setempat. Mengikuti kumpulan RT, tahlil rutinan, kerja bakti, ronda malam, mengambil uang jimpitan, majelis taklim bagi ibu-ibu dan kegiatan lainnya. Kami datang dengan niat baik dan semoga diterima dengan baik pula.

Cara lain yang coba kami tempuh untuk bersosialisasi dengan warga/masyarakat adalah kami merangkul anak-anak sekitar (TK-SD) untuk diajak belajar bersama. Belajar di tempat kontrakan kami seminggu tiga kali. Jam belajar dimulai bakda maghrib sampai lepas isya. Saya dan istri bergantian mengajari mereka ngaji, hafalan doa, baca-tulis, berhitung, bahasa Inggris dll. Tapi ada yang sedikit mengganjal. Dari jumlah anak yang ikut belajar di rumah kami, justru kebanyakan dari mereka adalah non muslim. Ada yang Katolik, ada juga yang Kristen Protestan.

Bayangkan kalau hari ini saya belum mengenal Maiyah. Belum disawuri ilmu dan cinta oleh Simbah. Sudah barang tentu saya tidak akan menerima mereka. Tidak mungkin mengizinkan mereka untuk menginjakkan kaki di rumah kami. Apalagi disuruh ngajari itu ini, jelas ora sudi! Rumah kami seakan haram bagi mereka.

Tapi untungnya ‘virus maiyah’ sudah kami kantongi. Dan itu membuat kami tidak alergi lagi melihat sebuah perbedaan. Perbedaan bukan untuk dijauhi, dimusuhi, apalagi dimusnahkan. Justru perbedaan menjadikan indah, berwarna-warni.

Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menerima mereka meski berbeda agama. Perbedaan bukan hambatan, bukanlah suatu penghalang untuk berkasih sayang. Mereka (anak-anak) yang mau datang ke rumah untuk belajar, bermain atau sekadar dolan, kami akan terima dengan hati lapang. Misal ada makanan ya kami suguhkan, tapi kalau kepepetnya ndak ada ya kami beri saja ‘makanan rohani’ (dongeng-cerita) untuk mereka. Dengan senang hati kami akan terus berupaya mengajari, melatih, menerangkan, menyirami mereka dengan benih-benih kebaikan. Tanpa membeda-bedakan.

Terimakasih Ya Allah. Terimakasih Simbah. Terimakasih Maiyah

Sampai hari ini, dan sampai selesainya tulisan ini, saya belum juga berhasil mendefinisikan Maiyah itu apa. Kalau diibaratkan, mungkin Maiyah layaknya samudera. Samudera luas tak berbatas. Yang menyimpan mutiara dan menampung ‘sampah’ apa saja. Mari berenang di luasnya samudera yang bernama Maiyah. Sembari menjaring mutiara-mutiara hikmah.

Sragen, 02 Oktober 2017

Lainnya

Exit mobile version