Mengulang Daur
Pelan-pelan kubaca tulisannya. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Paragraf demi paragraf. Tulisan demi tulisan. Nafasku sesak, pikiranku buntu. Kukunyah tulisannya perlahan. Bukan sekedar pengetahuan yang kudapat. Ada yang lebih dari itu. Entah itu energi, gelombang, frekuensi atau getaran. Aku tak paham harus pakai istilah yang mana.
Simbahku ini sudah menulis sejak ia berumur belasan. Tahun 60-an lebih tepatnya. Jauh sebelum orang tuaku bertemu. Bahkan mungkin ibuku baru lahir atau ayahku baru masuk SD. Tapi dia sudah menulis sejak saat itu. Dan bagiku, itu sangat lama.
Simbahku ini tak pernah berhenti berkarya. Berjalan, menemui para kekasihnya di dusun-dusun. Menulis puisi, naskah teater hingga esai untuk keperluan sosial. Diplomasi antar pejabat tinggi negara. Urus-mengurus konflik di masyarakat. Dan tak lupa mengurus keluarga, bergantian menjaga rumah dan mengantar anak ke sekolah.
Yang aku tahu, ia menulis bukan karena untuk jadi penulis. Tapi karena memang ia harus menulis. Sebuah kebutuhan sosial. Dari cerita nabi hingga pantat penyanyi dangdut, dari tasawuf hingga penggusuran rumah, dari sastra hingga olahraga, dari politik hingga cerita pendek. Semua teramu. Dalam puluhan buku yang sudah berulang kali dicetak ulang sejak tahun 70-an. Sepuluh tahun, sebelum aku dilahirkan ke bumi.
Lamat-lamat, aku mendengar kehebatan ceritanya. Di mana ia dahulu bisa menulis beberapa artikel dalam sehari. Dua sampai tiga artikel, dengan topik yang berbeda, gaya bahasa yang berbeda, untuk koran yang berbeda. Di sela kesibukannya memenuhi undangan forum diskusi, seminar, lokakarya, sampai menerima segala jenis tamu. Bagiku, itu musykil.
Dan sekarang, aku dihadiahi Tuhan untuk melihat sendiri apa yang Simbahku lakukan seperti yang ada di cerita itu. Simbahku menulis DAUR. Sebuah rubrik khusus darinya, dan hanya untuk anak-cucunya dan para jamaah Maiyah. Berisi esai beberapa paragraf, yang isinya beragam.
Tulisan Daur terbit sehari satu kali. Ditulis di mana bukan ketika Simbahku selo waktunya, tapi rutin setiap hari. Hari ini dia di Jakarta, besok ke Makassar, lalu hari berikutnya menempuh jarak 8 jam perjalanan darat menuju Mandar, tapi ia tetap menulis satu hari satu untukku.
Oke kalau terbit hanya beberapa hari saja. Sekarang jumlahnya sudah 309 Daur. Itu artinya, dia sudah menulis selama 10 bulan tanpa berhenti setiap harinya. Kalau seminggu sekali bolehlah kalah oleh juru esai di koran atau tukang nge-blog di internet. Tapi kalau setiap hari?
Oke kalau tulisan sembarang tulisan. Ini tidak. Tulisannya sangat berbobot. Penuh puzzle dan kodifikasi. Bahasanya memutar tapi jelas arahnya. Terkadang humor, sinis, atau malah menyedihkan. Dia menyebut tulisan Daur-nya adalah pelok/biji mangga, bukan daging buah yang siap santap. Tapi memang biji yang perlu puluhan kali diskusi agar biji tersebut bisa dipahami rasanya.
Kode-kode yang luar biasa disematkan dalam setiap tulisannya. Negara, Dajjal, Takkim, Kharmiyo, Yu Sumi, Markesot, Kyai Sudrun, sampai Balkadaba. Dari konspirasi global sampai dunia maya gendruwo mbahurekso khas Jawa. Dari LGBT sampai anak turun Nabi Sulaiman. Dari politik negara sampai paringkelan penanggalan Jawa hitungan lima dan enam. Semua ada.
Menurutku, tulisannya memuat apa yang sudah dituliskannya dahulu. Simbah merangkumnya dalam tulisan ini. Setiap perjalanannya, setiap katanya, setiap penyampaian gagasannya, bahkan setiap pikiran yang mungkin belum sempat terucap melalui banyak forum yang ia jumpai, ia tuliskan dalam bentuk Daur. Dia ramu sedemikian rupa dalam satu persatu tulisan. Dia racik pelok mangga ini, dibungkus dengan apik, dibalut dengan menarik tapi isi tetap utuh, sebuah pesan penting untuk anak-cucu.
Daur adalah apa yang bisa dimanfaatkan untuk waktu di masa depan. Dalam bahasa Arab berarti lingkaran. Yang memang tidak pernah ada ujungnya, satu titik terhubung dengan titik berikutnya, terus dan terus. Seolah-olah, simbah sedang menyerahkan pusaka untuk hari esokku, yang bahkan aku belum tahu jenis apa pusaka itu. Bagaimana daya hantamnya, kekuatannya, waktu picunya, atau bahkan efek akibatnya.
Daur, ibarat kode, perlu banyak waktu untuk bisa memecahkannya. Daur, ibarat puzzle, perlu banyak metode untuk bisa memadukannya. Daur, ibarat benih, perlu pupuk kebaikan dan air kematangan untuk bisa menumbuhkannya. Daur, ibarat pusaka, perlu hati yang tulus dan kerja luar biasa untuk bisa mengaktifkannya.
Simbahku menerima apa yang diberikan Tuhan yang aku katakan sebagai ilham atau inspirasi. Dia tidak egois dan mau membagikan untukku. Dan itu memang tugasnya. Itulah berkah buatku. Berkah bagi kaum pinggiran sepertiku, yang ikut mengaku-ngaku anak-cucunya. Tiada rasa syukur yang bisa aku panjatkan, selain terus menerus mendoakan Simbahku selalu dalam kesehatan yang prima di setiap langkahnya.
Pelan-pelan kubaca tulisannya. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Paragraf demi paragraf. Tulisan demi tulisan. Nafasku sesak, pikiranku buntu. Kukunyah tulisannya perlahan. Bukan sekedar pengetahuan yang kudapat. Ada yang lebih dari itu. Entah itu energi, gelombang, frekuensi atau getaran. Aku tak paham harus pakai istilah yang mana.
Yang kutahu, lewat tulisan Simbahku ini, aku bisa bertemu Tuhan dan berdiskusi akrab dengan Kanjeng Nabi.