Mengenang Achmad Munif Sang Juru Kisah
Untuk mengenang sastrawan Ahmad Munif, yang wafat pada 30 Maret 2017 silam, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta bekerja sama dengan Rumah Maiyah Yogyakarta menggelar Bincang-Bincang Sastra edisi ke-142 dengan tajuk “Achmad Munif Sang Juru Kisah” pada Sabtu 29 Juli 2017 di Pendopo Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta.
Menjelang acara, pelataran dan pendopo Rumah Maiyah telah dipadati hadirin. Di tengah-tengah mereka, para pecinta dan pemerhati sastra yang rata-rata berusia belia dan muda, juga tampak para seniman senior.
Sambutan dari Pak Mustofa W. Hasyim mengawali acara, yang kemudian disusul pementasan teatrikal dari SPS yang mengangkat sepenggal adegan dari novel Perempuan Jogja dan dilanjutkan dengan pembacaan cerpen berjudul “Parcel” oleh Faturrahman. Novel dan cerpen tersebut tentu saja adalah karya Achmad Munif.
Di jajaran pembicara, tampak Bu Asah Hafsah yang merupakan istri almarhum Achmad Munif, Pak Mustofa W. Hasyim, Pak Suparno S. Adhy wartawan senior KR, Pak Iman Budi Santosa dan bertugas sebagai moderator adalah Pak Sholeh UG, editor beberapa karya almarhum Achmad Munif.
Para pembicara bergantian mengemukakan pandangan mengenai sosok Achmad Munif. Dari Bu Hafsah para hadirin mendapat banyak gambaran sisi pribadi Achmad Munif yang rupanya cukup romantis. Sementara itu, Pak Parno menyampaikan sisi perjalanan karya Achmad Munif, bahwa almarhum adalah seorang jurnalis yang lebih banyak berada di balik meja. Karya jurnalistik almarhum, lanjut Pak Parno, juga sangat bercorak sastra.
Dalam dunia jurnalistik, Achmad Munif merupakan salah seorang yang mula-mula mewawancarai Amien Rais sepulang dari studi di Amerika. Wawancara ini rupanya masukan dari Pak AR. Baswedan yang bercerita kepada Achmad Munif mengenai sosok Pak Amien. Setelah membaca wawancara itu, publik luas mulai ramai membicarakan dan mengangkat nama Amien Rais
Lantas bagaimana sosok Achmad Munif di mata Pak Mustofa W. Hasyim? Pak Mus meringkas pengalaman beliau bersama almarhum dengan membacakan puisi berjudul “Dari Jogja-Jombang, Jombang-Jogja”. Ini juga dikisahkan kembali oleh Pak Sholeh UG sebagai kisah mereka bersama memulai Gerakan Sastra Pesantren.
Sedang bagi Pak Iman Budi Santosa, sosok Achmad Munif dikenangnya sebagai seorang yang sangat tekun dan tertib. Bahkan Pak Iman berani menjamin bahwa Achmad Munif adalah orang yang paling baik pembacaan puisinya dibandingkan para “gelandangan Malioboro” padahal Achmad Munif adalah seorang prosais, bahkan cerpenis.
Pamungkasnya, Mbah Nun bercerita banyak hal mengenai persentuhannya dengan Achmad Munif setelah dari Ponorogo hijrah ke Jogja. Achmad Munif dikatakan oleh Mbah Nun sebagai sosok yang memperkenalkan beliau pada dunia kepenulisan, kemudian persentuhan itu berlanjut di PSK (Persada Studi Klub) yang dimotori Umbu Landu Paranggi. Sebagai sesama orang Jombang, pada era awal di Jogja saat itu Mbah Nun merasa banyak terbantu Pak Achmad Munif. Mbah Nun saat itu banyak berkarya di wilayah puisi, sementara Pak Achmad Munif telah menekunkan diri sebagai seorang cerpenis.
Di antara yang kemudian disampaikan Mbah Nun adalah elaborasinya soal posisi puosi dan cerpen dalam budaya kontemporer belakangan ini. Terlalu banyak birokrat dan agamawan yang tidak memahami sastra, sehingga gagal menjadi manusia yang utuh. Mbah Nun mendambakan kembalinya kepercayaan manusia terhadap karya-karya sastra.
Acara Bincang-Bincang Sastra kali ini tepat berakhir pada pukul 23.00 WIB. (MZ Fadil)