CakNun.com

Meng-Hakim-i Pluralisme

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama. Al-Hakim, yang selama ini oleh sementara orang selalu diartikan sebagai sifat atau salah satu nama Tuhan yang berarti Maha Adil. Oleh Mbah Nun belakangan diberi pemaknaan yang lebih terasa pas: Maha Presisi.

Tentu bukan bermaksud bahwa apa yang akan saya coba tuangkan dalam tulisan ini telah menggapai pucuk puncak dari presisi Al-Hakim itu, namun setidaknya bolehlah kita sedikit berupaya menggapainya.

Dan bahwa ada persambungan kata bila dirunut secara ilmu shorfu antara Hakim, hukum, dan hikmah. Bukankah itu bisa kita artikan bahwa dengan mengupayakan sebisa mungkin untuk presisi dalam memandang sesuatu, maka kita akan bisa memerah intisari kebijaksanaan atau hikmah dari balik setiap peristiwa, gejala, kejadian atau apapun itu. Dengan begitu pula kita mulai menabung dan nyicil sedikit demi sedikit untuk bisa menggapai kesadaran “Robbana maa khalaqta haadza bathila” mungkin, ini mungkin ya, presisi sedemikian ini pula yang membuat biksu Bodhidarma (Cina: P’u T’i Tamo) yang berperjalanan dari India ke dataran China mampu menyaksikan misteri kehidupan dan lautan kebijaksanaan dengan bertapa memandang dinding goa selama sembilan tahun. Bodhidarma juga yang pada akhrinya merumuskan gerak-gerak dasar yang menjadi cikal bakal jurus-jurus Siaw Lim (Shaolin)

Kita sebagai ummat muslim memiliki sedikit banyak amanah untuk bersikap presisi selain karena mengenal istilah Al-Hakim juga karena terlanjur disematkan “ummatan wasathan” (ummat yang wasit/di tengah) dalam pelajaran mahfudzat kita mengenal istilah “khoirul umuuri awsatuha”. Bahwa sebaik-baik perkara adalah yang di tengahnya. Tapi tentu tidak mudah menentukan secara pas letak titik tengah itu.

Kata para ilmuwan fisika, alam semsta terus berkembang sebagai efek dari big bang. Tentu maksudnya big bang itu “ledakan besar” ya bukan Big Bang yang boyband Korea. Bahwa apabila alam semesta terus berkembang, batasannya terus melebar, memanjang, meluas maka titik tengah dari segala sesuatu secara ototmatis juga selalu bergeser. Sehingga pencarian presisi titik tengah dari segala sesuatu adalah pencarian yang berlangsung setiap saat, setiap hela nafas, kejap mata, degup jantung, dan nadi. Kita tidak bisa GR berkata telah berada pada titik tengah hanya dengan sikap menyalah-nyalahkan segala sesuatu di luar kita. Di Maiyah kita belajar untuk selalu istiqomah dalam hal ini.

Dalam Daur 303 – Manusia Dalam Gelembung, Mbah Nun menuliskan:

Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok dengan memilih nama salah satu dari istilah-istilah itu. Mereka berhimpun dalam kotak-kotak, di garis-garis, aliran-aliran, kubu-kubu, madzhab-madzhab, sekte-sekte.

Benarlah, belakangan ini kita menyaksikan kelompok-kelompok yang masing-masing meyakini kebenarannya bergantian berparade. Satu dengan angka-angka seperti parade togel, satu menjaga lilin seperti ritual ngepet. Maaf, saya tidak bermaksud menista keduanya, hanya kadang gemes juga.

Tentu semua dengan versi kebenarannya masing-masing, dengan asumsi perlawanan dan perjuangannya sendiri-sendiri. Satu berasumsi mempertahankan kehormatan agama, satu berasumsi mempertahankan keberagaman, apakah mereka berasumsi bahwa dua hal terebut bertentangan? Ataukah ini juga sekadar asumsi saya saja? Yah, asumsi tetaplah asumsi selama dia tidak bersedia dibenturkan pada realitas.

Tapi kenapa memilih membedah dan meng-Hakim-i pluralisme? Jawaban paling aman bagi saya yang menuliskan ini mungkin ya karena memang mood-nya sedang ingin bahas itu. Tapi rasanya itu kurang menghormati khalayak pembaca yang budiman. Walau bukan penulis profesional, saya masih memegang prinsip bahwa menghormati pembaca adalah wajib.

Saya juga sempat terpikir untuk membedah dan mengingat-ingat kembali sejarah paham keberagaman, ketika melihat tiga terbitan di rubrik ‘Bongkah’ pada web caknun.com. itu yang berjudul Pluralisme Peci Sorban, Pluralisme Rampok, dan Pluralisme Kiblat. Tapi saya tidak bisa mengatakan ini adalah elaborasi mengenai rubrik tersebut. Kaitan antara kalimat serta nuansa dari rubrik tersebut dengan tema dalam ingatan saya masih misterius bagi saya sendiri. Atau, apakah ini yang namanya tadabbur? Entahlah.

Katakanlah ini adalah latar belakang masalah.

Jadi kenapa pluralisme? Sebenarnya tidak mesti istilah itu juga yang dipakai, ini sebagai satu perwakilan saja dari berbagai varian “isme” yang mendaku diri menjaga keberagaman. Kenapa pluralismenya? Kenapa tidak membedah ajaran tafsir keras kepala dari kaum yang suka mengatasnamakan agama? Maka kita coba melihat begini, kalau sekadar perbedaan antar agama dan fanatisme buta para pengikutnya, rasanya bangsa kita sudah memiliki modal berupa pengalaman historis yang panjang tentang itu. Sehingga saya cukup yakin bahwa pertikaian antar kepercayaan selalu bisa diselesaikan oleh mekanisme dalam masyarakat sendiri. Sementara pemerintah bertugas menyediakan layanan hukum yang tegas dan memenuhi rasa keadilan berdasarkan wujud perlakuan, bukan pada dasar pemikiran seseorang atau golongan.

Pada saat Kakawin Sutasoma disusun yang di dalamnya termuat kalimat “Bineka tunggal ika tan hana darma mangrwajuga konon sedang terdapat pertikaian antar kepercayaan di dalam tubuh kerajaan Mojopahit dan pertikaian itu tampaknya bisa teratasi. Kakawin Sutasoma mungkin memiliki andil juga dalam penyelesaian konflik tersebut tapi yang jelas sepertinya bukan dengan demo pro ini-itu. Waktu itu memang demo bukan pilihan populer sepertinya.

Lalu pluralisme, atau Bhinneka Tunggal Ika, atau multikulturalisme atau apapun sebutannya? Nah, kita di satu sisi mengalami bagaimana konflik antar kepercayaan selalu berhasil kita atasi namun kita tidak memiliki pengalaman, sejauh yang pernah saya baca, bagaimana paham-paham pro keberagaman menjadi alat untuk penjajahan, bagaimana kepentingan di baliknya, Dasayitmo apa yang bisa saja merasuk di dalam pesan-pesan indah itu.

Untuk itu, mungkin kita perlu menengok sedikit keluar beranda desa Nusantara kita dan membolak-balik catatan sejarah rumah tetangga, di sinilah kita masuk pada pembahasan mengenai:

Pluralisme Pantheon, pluralisme kaum penjajah

Mungkin karena karakter budaya kita yang cenderung feminin, sejak era-era kebesaran Nusantara zaman dahulu jarang kita mengalami masa-masa ekspansi besar-besaran seperti dilakukan oleh misalnya, di sini kita ambil contoh, Imperium Romanum.

Imperium Roma, sebagai  produk budaya kontinuasi dari peradaban Yunani yang anggun berfilsafat, gemulai kesenian dan kaum pencari kebijaksanaan itu mengembangkan diri menjadi kultur yang lebih tegap tegas aplikatif, matang dalam rasionalitas dengan kejeniusan strategi khas kaum penakluk. Megah namun diam-diam menabung kehancurannya sendiri.

Salah satu taktik yang kerap dipakai para panglima perang Imperium Romawi adalah taktik yang boleh kita sebut “Pluralisme Pantheon”, dianya berasal dari bahasa Yunani yang berarti rumah semua dewa/Tuhan. Kaum aristokrat Romawi kita tahu, sangat bangga menyebut diri mereka sebagai phil-helenic (pecinta budaya Helinistik/Yunani) karena Yunani dianggap sebagai akar budaya. Tak berbeda dengan kelas menengah kita sekarang yang mendaku sebagai pecinta budaya Nusantara, tapi hanya mengambil slogan dan simbol-simbol bekunya saja.

Pantheon dalam budaya Yunani masihlah berupa konsep, mengawang-awang. Tapi dalam ketajaman pikir seorang macam Julius Caesar dia menjadi alat penakluk paling ampuh, terutama untuk menundukkan daerah-daerah yang terhitung sulit. Strategi ini misalnya pernah dipakai untuk menundukkan Alexandria, dengan cara menambahkan gelar Amon, Dewa Matahari di Mesir, di belakang nama Jupiter (Yunani: Zeus) menjadi Jupiter Amon. Asimilasi budaya? Lebih tepatnya, taktik penaklukan.

Taktik ini juga dipakai dengan gemilang ketika Caesar menundukkan kaum suku Galia. Para pecinta komik seperti saya tentu akrab dengan nama Galia sebagai sukunya Asterix dan saya sangat berterima kasih pada siapapun itu yang menerjemahkan komik jenaka tersebut.

Tapi perlawanan suku Galia sebenarnya adalah kisah pedih. Penaklukkan perlahan-lahan. Dia juga menjadi cikal-bakal kota Paris, dan kemenangan Caesar atas suku-suku Galia adalah titik balik dalam karier kemiliteran Caesar sendiri sehingga bisa menapaki tangga menuju kediktatoran tunggalnya.

Kisah penaklukkan suku-suku Galia yang sporadis, tersebar di hutan-hutan, itu bisa ditemukan juga dalam buku berjudul ‘Paris Sejarah Yang Tersembunyi’ karya Andrew Hussey diterjemahkan oleh Gatot Triwira dengan editor Nadya Andwiani, terbitan Alvabet.

Suku-suku Galia merupakan pecahan dari kaum Parisii yang nomaden dan menempati hutan-hutan di pedalaman, peradaban mereka memang tetap dengan pola tradisional bahkan pada zamannya. Kekerabatan mereka melalui pertalian paseduluran. Mereka akhirnya bersebaran namun tetap saling harmonis. Caesar yang butuh menaklukkan daerah-daerah tersebut untuk memperlancar misinya melebarkan sayap Roman Aquila (Roman Eagle, simbol elang Romawi yang somehow kok mirip patung burung yang suka nangkring di dinding-dinding kantor pemerintahan kita ya) menemukan bahwa kaum Galia atau kaum pecahan Parisii ini walaupun polos, kolot, ndeso, keras kepala namun juga merupakan lawan tanding yang merepotkan. Caesar konon mempersembahkan penghormatan kepada kaum keras kepala ini dalam catatan pribadinya. Penundukkan fisik jelas sulit diterapkan pada mereka.

Di sinilah taktik Pantheon bekerja benar-benar dengan gamblang. Caesar pertama-tama melancarkan serangan pada sebuah daerah yang sangat tidak difavoritkan, pinggir sungai, tanahnya berlumpur dan kerap banjir. Maka daerah itu oleh bangsa Galia atau Parisii disebut Lou Tekh (tanah berlumpur). Tak ada kaum Galia yang mau repot-repot mempertahankan wilayah itu. Namun segera saja saat Caesar menguasai wilayah itu. Wilayah tersebut disulap menjadi sebuah kota yang anggun. Perdagangan ditumbuhkan. Keluarga-keluarga dari ibukota Roma dipindah ke sana, para suku Galia yang dianggap terbelakang dipertontonkan kemegahan Imperium Roma. Segera saja Lou Tekh yang oleh lidah masyarakt Romawi menjadi Lutetia menjadi pasar konsumen utama hasil-hasil tanah suku-suku galia pedalaman.

Sampai sini saya berhenti sebentar untuk nyetel lagu Supermarket dan Petani nya almarhum Franky Sahilatua.

Lalu dimana letak taktik Pantheon itu? Adalah ketika perdagangan mulai tumbuh, kondisi mulai mapan. Caesar menghubungi kepala-kepala suku Galia yang bersebaran itu, lalu menawarkan ‘kehormatan’ bagi mereka dengan cara patung-patung keramat, simbol-simbol leluhurnya diletakkan bersama-sama, bersandingan dengan dewa-dewa Romawi yang gagah-gagah itu di tengah kota. Karena Romawi, Elang Roma adalah penjaga keberagaman dan keharmonisan, karena Romawi menghargai lokalitas. Inilah Pantheon; Rumah segala dewa, di bawah naungan simbol burung yang menoleh sambil mangap. Inilah Pantheon.

Kaum ndeso Galia merasa diangkat harkat martabatnya, mereka mulai meniru-niru gaya kelas menengah masyarakat kota Lutecia, sedikit-demi sedikit mereka menjadi kelas menengah juga. Oleh orang Romawi mereka tetap Parisii, yang menjadi cikal bakal nama Paris. Tak masalah, mereka hanya perlu membayar upeti.

Perlawanan suku-suku Galia setelah itu hanyalah bersifat kecil-kecilan, tidak berarti bahkan sering terjadi rencana perlawanan kaum Galia pedalaman dibocorkan oleh orang Galia sendiri yang sudah nyaman di kota. Peperangan yang tadinya disebut perlawanan, oleh suku Galia, sesama mereka sendiri, mulai distempel sebagai gerakan radikal, ekstrimis, pengganggu ketertiban, perusak keberagaman.

Perlawanan terakhir suku Galia adalah di bawah kepemimpinan Vercingetorix dalam Pertempuran Alesia. Perang terakhir yang menentukan itu masih diselimuti oleh misteri hingga kini, mengenai lokasi pastinya dan jumlah korbannya. Namun yang pasti, perlawawanan terakhir tersebut berakhir dengan dikalahkannya suku Galia terakhir. Vercingetorix menyerah. Dipenjara selama lima tahun, untuk pada akhirnya dijunjung dalam sebuah parade berkeliling ibukota Romawi, kemudian dipancung!

Untuk menundukkan perlawanan Galia, mengubah cita rasa dan tolok ukur peradaban suku-suku Galia hanya dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun, sekitar 58-51 SM. Namun pada suku-suku lain, di daerah-daerah lain taktik Pantheon bekerja lebih efektif dan lebih efisien. Kebanyakan hanya berlaku sesederhana:

“Serahkan simbol-simbol agama kalian, lihatlah kami pajang setara dengan kemegahan Jupiter yang agung, di bawah Roman Aquila penjaga keberagaman. Maka demi keberagaman itu, bayarlah pajak pada kami, Bangsa Romawi. Mereka yang melawan, hanyalah kaum terbelakang yang tidak suka dengan keharmonisan dan keberagaman!”

Dan tentu mereka akan diyakinkan, bahwa mereka mesti menjaga perdamaian dan keberagaman dengan segala upaya; Si vis pacem, para bellum; barangsiapa menginginkan perdamaian, hendaklah ia bersiap untuk perang

Pluralisme Ka’bah Pra Fath al Makkah, Pluralimse kaum terjajah

Berkebalikan dari pluralisme pantheon yang di baliknya ada kepentingan penaklukkan dan penjajahan. Pluralisme Ka’bah pra fath al Makkah justru terjadi karena mental ketergantungan terhadap budaya pendatang.

Tidak jarang saya mendengar beberapa pihak mempertanyakan mengapa Muhammad Saw menghancurkan patung-patung di Ka’bah? Bukankah itu berarti Muhammad tidak toleran? Tidak menghargai keberagaman? Begitu nuansa pertanyaan yang kerap saya jumpai.

Persoalanya, Makkah adalah wilayah dengan kondisi tanah tandus, tidak begitu menjanjikan hasil pertanian. Dua kekuasaan superpower pada masa lahirnya Kanjeng Rasul Muhammad Saw yakni Byzantium dan Persia hampir sama sekali tidak menoleh untuk menginvasi wilayah ini. Percobaan serangan dengan pasukan gajah oleh pasukan Abrahah bisa dibilang tidak berkepentingan untuk ekspansi wilayah. Wilayah ini sama sekali tidak menjanjikan apa-apa.

Maka mata pencaharian utama penduduk Makkah adalah berdagang dan kebanyakan yang mereka perdagangkan adalah hasil produk bangsa lain.

Adanya ritual haji, yang sebenarnya perlu kita telusuri lebih dalam detail-detail bagaimana permulaannya, di mana setiap tahunnya manusia dari berbagai bangsa dan kepercayaan datang ke kota ini merupakan buaian yang selalu menjanjikan perputaran ekonomi masyarakat Makkah.

Saking tidak berdayanya mereka secara ekonomi, maka mereka menjadi begitu permisif pada para pendatang. Tidak ada filter kebudayaan. Terpenting adalah roda keuangan terus bergulir. Masyarakat Makkah hanya bisa kemudian bernostalgia budaya, dengan menghormati secara berlebihan tokoh-tokoh pendahulu mereka yang dikisahkan memiliki karomah, dianggap wali dan lain sebagainya. Itulah salah satu versi sejarah mengatakan cikal bakal penyembahan Al-Latta dan Al-Uzza.

Tapi di luar itu, mereka harus menerima kenyataan bahwa orang-orang asing bebas datang setiap musim travelling haji, orang-orang asing ini, para ekspatriat-ekspatriat membawa budaya sendiri-sendiri, berlaku sekenanya di wilayah Makkah dan pada akhirnya membawa simbol-simbol agama dan kepercayaannya sendiri-sendiri. Simbol, yang warga Makkah sendiri tidak memiliki kaitan dan pengalaman kultural dengannya.

Rasul Muhammad Saw lahir pada masyarakat yang seperti itu. Masyarakat yang begitu terinjak-injak harga dirinya, inferior, tolok ukurnya terbolak-balik sehingga kalau ada yang mengutarakan soal pribumi akan disebut rasis, bahkan bukan saja mereka mesti meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka bukan pribumi tapi juga tetap meyakin-yakinkan diri bahwa mereka adalah bangsa yang ramah dan menghargai keberagaman. Mengingatkan kita pada kondisi sebuah bangsa akhir-akhir ini yah? Keberagaman yang dibangun di atas kemapanan dan kenyamanan ekonomi. Keberagaman karena tidak punya kedaulatan.

Muhammad Saw kemudian membangun peradaban baru (Madinah) di kota yang justru bukan tanah kelahirannya, kemudian menjadi satu kekuatan yang mulai diperhitungkan dalam perpolitikan dan ekonomi dunia saat itu. Dengan cara berpolitik yang tidak populer bahkan tidak pernah dikenal pada situasi percaturan politik dunia saat itu. Ketika raja-raja Romawi Timur dan Persia berlomba-lomba mematungkan sosok mereka dengan kemegahan dan kegagahan agar kekuasaan mereka menjangkau ke pedalaman-pedalaman, manusia bernama Muhammad Saw yang membangun kekuatan politik baru saat itu tidak melakukannya, beliau menolak digambar, dilukis, dan dipatungkan. Revolusioner radikal!

Madinah membangun keberagaman yang tidak bergantung pada simbol, tidak terlalu terlena dengan seremonial macam para pemuka agama kumpul dan foto bareng diunggah di socmed. Muhammad Saw membangun keberagaman yang berlandaskan paseduluran, kebersamaan, namun tatap teguh pada hal-hal yang prinsipil.

Beberapa kafilah dagang Makkah disabotase, adalah peringatan kecil-kecilan bagi tanah kelahiran yang Beliau cintai agar berhenti bergantung pada perdagangan bebas apalagi bila bangsamu belum memiliki pijakan yang kokoh dan harga diri kedaulatan. Namun peringatan-peringatan tersebut dianggap oleh masyarakat Makkah sebagai lambang permusuhan penduduk Madinah. Warga Makkah masih nyaman dengan statusnya sebagai bangsa terjajah yang tidak merasa dijajah.

Maka itu, ketika ribuan pasukan Islam yang telah santer gagah berani dan berpengalaman tempur menghadapi raksasa-raksasa kekuasaan dunia berderap-derap mengepung kota Makkah, peristiwa itu tidak dinamakan penaklukkan atau ekspansi wilayah, tidak. Tapi dikenal dengan Fath al-Makkah, pembebasan kota Makkah. Pertanyaannya adalah dibebaskan dari apa? Dibebaskan dari mental ketergantungan pada perdagangan bebas, ketergantungan pada pariwisata yang tidak menghargai budaya setempat. Maka patung-patung itu dihancurkan, karena dia adalah simbol dari betapa tidak berdayanya pribumi Makkah, simbol keberagaman yang dipaksakan pada bangsa yang terjajah secara ekonomi.

Enough is enough, Makkah mesti meneguhkan jati dirinya sebagai bangsa yang berdaya. Namun bahwa budaya pariwisata haji itu turut pula membentuk sifat-sifat seperti menghormati tamu dan etika sopan santun. Hal-hal tersebut justru diberi legitimasi oleh ajaran Islam sebagai sifat-sifat terpuji, jadi tidak diberangus sepenuhnya.

Rembesan pantheon dan ka’bah pra Fath al Makkah

Taktik Pantheon tidak lantas hilang begitu saja di abad pascamodern ini. Hollywood umpamanya, raksasa industri perfilman dunia itu sangat paham bagaimana menjual produk film mereka agar laku dikonsumsi di berbagai belahan dunia. Salah satunya yang bisa kita sebut regenerasi taktik Panteon bisa jadi adalah dengan memasukkan unsur simbol atau sosok aktor lokal dari bangsa-bangsa minim martabat ke film-film mereka. Ambil beberapa aktor dari neara tersebut, berikan scene-scene yang biasa saja dan saksikanlah ledakan euforia pada masyarkat bangsa itu, mereka akan berbondong-bondong bak minion memenuhi bioskop membeli karcis atau dalam istilah zaman baheula; membayar upeti.

Begitu juga berlaku dalam industrialisasi spiritual New Age. Ajakan untuk kembali pada ajaran-ajaran tradisional terutama ajaran kebijaksanaan Asia merupakan bungkus jualan baru. Caranya persis, selebritis-selebritis dan tokoh-tokoh dunia memegang peranan penting. Buat seolah-olah para seleb dunia sangat gandrung pada ajaran tradisional mereka, lantas jual kembali hal itu dengan bungkus yang lebih tertata. Kelas menengah akan membeli hal-hal itu, agar di sela ketidakacuhan dan kesibukan sehari-hari mereka bisa sedikit merasa spiritualis. Atau merasa telah mendapat pencerahan bolehlah, asal mereka tetap bayar biaya pelatihan meditasi.

Sedangkan untuk memahami pola rembesan sisa atau remah-remah mental Ka’bah pra Fath al-Makkah sangat tidak sulit bila kita menyaksikan fenomena dan gejala-gejala sosial di daerah-daerah yang sangat (terkondisikan) mengandalkan pariwisata sebagai degup nadi perekonomiannya. Di mana budaya lokal menjadi tidak berdaya, turis asing yang mungkin tidak berniat merusak tatanan tapi secara tidak sadar membawa budaya mereka sendiri di tengah masyarakat yang inferior membawa pergeseran-pergeseran nilai, tolok ukur, dan cita rasa. Kesenian lokal dan tradisi hanya menjadi simbol, ditampilkan untuk menjamu dan melayani bukan sebagai laku nilai yang meresap dalam sanubari masyarakat. Ekonomi bergerak, dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Kedaulatan, ah apa itu.

Keberagaman kita, lentur dan tegas.

Keberagaman pada masyarakat kita lahir dari pengalaman mengolah tanah yang begitu suburnya sehingga cocok ditanami beragam tumbuhan. Ini mendorong kita untuk menjadi masyarakat yang saling berkomunikasi, guyub, dan plural.

Tapi disatu sisi, kita juga merupakan bangsa yang dibentuk oleh laut-laut dengan gemuruh, debur, dan ombak.

Peradaban Nusantara dibangun dengan pertemuan asam di gunung dan garam di laut. Maskulin-Feminin dari Lingga-Yoni. Ulek, bukan giling. Sambal, bukan saos

Peradaban Eropa yang dalam tulisan ini banyak diwakili oleh Imperium Romawi lebih mudah digali jejaknya karena dia terdiri atas melulu marmer dan bebatuan yang keras, dingin.

Sedangkan jejak-jejak peradaban kita ada pada detail-detail kehidupan sehari-hari. Dan untuk menggalinya diperlukan kepekaan lembut silmi dan ketepatan presisi Al-Hakim.

Binneka tunggal ika mengajarkan kita kelenturan bersikap dalam pergaulan sosial. Namun saya pribadi merasa dia tidak semestinya dipisah dari “tan hana dharma mangrwa” bahwa tiada darma yang mendua. Walau kata Darma sering diartikan sebagai kebenaran atau kesejatian yang bersifat spiritual tapi di satu sisi masyarakat Jawa juga punya kebiasaan untuk membawa konsep spiritualitas dalam ranah aplikatif atau minimal termanifeskan dalam bentuk fisik, bukan simbol karena simbol bekerja dengan cara sebaliknya.

Jejak itu misalnya masih terasa dalam pemahaman Jawa yang, mungkin sedikit lebih modern, seperti konsep sedulur papat limo pancer yang selain adalah konsep kebatinan namun juga diaplikasikan dalam arsitektur Jawa dan tata kota. Kalau saya boleh otak-atik gatuk, rasanya Darma disini termanifeskan dalam ujud ibu dan tanah.

Artinya pada hal-hal tersebut, bukan kelenturan sikap tapi justru dituntut ketegasan. Dua hal itu juga lekat dengan harga diri dan martabat. Dalam soal harga diri, pola kebudayaan kita biasanya bercirikan tidak kompromi, istiah-istilah yang muncul malah berkesan galak macam “tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh” atau “Sakdumuk bathuk sanyari bhumi”. Saya sendiri agak lekat dengan budaya Bugis sehingga rasanya cukup paham bagaimana konsep siri’ sebagai harga diri dan jati diri diaplikasikan dengan sangat keras oleh masyarakat Bugis-Makassar. Dalam budaya kami, orang yang mati mempertahankan siri’ atau harga dirinya dikata Mate risantangi (kematian yang disantan) atau Mate rigollai (kematian yang digula) maksudnya adalah kematian yang manis, kematian yang layak.

Memperlakukan simbol

Simbolnya tidak salah, tapi bagaimana kita memperlakukan simbol itulah yang terpenting. Simbol menjadi jebakan ketika kita menghentikan proses berpikir hanya pada kesadaran Rupadatu si simbol itu. Bila kita perhatikan saksama antara pluralisme pantheon dengan pluralisme Ka’bah pra Fath al Makkah, pluralisme penjajah dan pluralimse kaum terjajah itu sebenarnya dua-duanya mensyaratkan adanya simbol. Satu simbol yang diserahkan kepada kaum penjajah, yang kedua justru simbol yang dikonsumsi oleh kaum terjajah.

Sekali lagi simbolnya tidak salah. Permasalahannya adalah bagaimana kita memperlakukan simbol itu. Simbol bisa membawa kita pada cakrawala-cakrawala pemahaman yang lebih luas manakala dia terus-menerus diolah dalam alam pikir namun ketika dia membeku, dia hanya slogan, maka bersiaplah kita untuk terjatuh pada dua pola paham keberagaman yang ekstrem tadi itu.

Sekarang, bila kita kembali ke awal bahasan di mana kita membahas dua golongan parade massa dengan versi kebenarannya masing-masing, bukankah semua membawa simbol? Simbol angka, simbol lilin? Simbol agama, simbol keberagaman.

Pertanyaannya kemudian adalah bekal kesadaran apa yang kita miliki untuk mencerna keberadaan simbol-simbol itu?

Bila paham keberagaman, pluralisme juga bermain pada tataran simbol, maka tidakkah dia juga terancam untuk masuk ke dalam perangkap pantheon maupun ka’bah pra fath al Makkah?

Di tengah getaran dan aliran gejala sosial yang semakin cepat seperti sekarang, kesadaran presisi Al Hakim makin diperlukan untuk selalu waspada pada setiap seruan kebaikan dan kebenaran. Sebab bagaimanapun indahnya kalimat penuh cinta kasih, bila dia deteriakkan toh akan tetap memekakkan telinga juga.[]

Lainnya

Perisai Maiyah

Setelah menulis Daur II-318 dengan judul Melingkarkan Cincin pada tanggal 2 Maret 2018, Cak Nun lantas menulis Daur berikutnya dengan judul Telaga Cahaya.

Zaky Ardhiana Devie
Zaky Ardhiana D.

Topik