CakNun.com

Menertawakan Diri Sendiri dan Indonesia Bersama-sama

Umar Satrio Hadi
Waktu baca ± 4 menit

Sebagai aktivis salah satu organisasi pergerakan mahasiswa, wacana-wacana tentang keIndonesiaan sudah menjadi wacana diskusi kami sehari-hari. Wacana-wacana demikian, utamanya berpusat pada pikiran-pikiran progresif tentang kebangsaan. Literatur-literatur yang dijadikan sumber pun cenderung dimulai dari zaman pergerakan ’45. Kalaupun ada referensi-referensi lawas, biasanya diambil dari luar. Seperti Ali Syari’ati, Asghar Ali Engineer, Karl Marx, Sigmund Freud, Nietzsche dan semacamnya.

Setelah beberapa kali mengikuti Maiyahan, kader-kader organisasi pergerakan mahasiswa seperti kami, acap kali mendapatkan cara pandang baru. Spektrum wacana bertambah luas. Cak Nun sering kali menyajikan wacana intelektual yang berbeda dibandingkan apa yang sering kami diskusikan setiap hari. Kami dikenalkan kepada wacana sejarah, kemandirian bangsa dengan wacana kulturalnya yang kaya, dinamika kebangsaan yang lebih kaya jika dibandingkan hanya dengan membaca buku, melihat kenyataan dan diskusi di forum-forum formal. Spektrum berpikir kami mulai merambah literatur dan bacaan yang asing tentang Nusantara. Dari Jayabaya, Syekh Siti Jenar, Ronggowarsito hingga Raden Wijaya.

Cak Nun bagi saya adalah fenomena intelektualitas, bukan hanya sekadar seniman rakyat, Kiai atau penceramah yang asyik. Salah satunya adalah seperti apa yang dituliskan Cak Nun menggambarkan dinamika pergerakan mahasiswa saat 1998 dalam tulisan Api di Koridor Kampus, “Tidak, Jibril Tidak Pensiun!”

Penggambaran realitas kebangsaan juga sering kali Cak Nun sampaikan secara sederhana di setiap Maiyahan. Cak Nun dengan berani membicarakan hal-hal yang ‘tabu’ tentang keIndonesiaan. Hal-hal yang setahu saya, jika diucapkan oleh orang tertentu, akan dicap kritis dan mungkin akan dimusuhi oleh banyak orang yang membela penguasa karena memang berlawanan dengan apa yang mereka skenariokan. Wacana-wacana itu pun banyak yang kompatibel dengan apa yang kami diskusikan dan kami dapatkan infonya dari sana-sini. Bahwa Indonesia sedang dijajah kekuatan tak kasat mata, Indonesia dilecehkan martabatnya dari hari ke hari, hukum yang tak berkeadilan, perseteruan antara berbagai golongan, hingga anak bangsa yang kehilangan pengayomnya.

Setelah melewati diskusi-diskusi dan membaca bacaan-bacaan demikian, saya hanya bisa bersikap dengan dua cara: marah atau sedih. Namun, setelah beberapa kali ikut Maiyahan, baik dengan kedatangan Cak Nun, via YouTube atau lingkar Maiyah tanpa dihadiri Cak Nun, ada satu hal yang kami, para aktivis lupakan. Kami lupa, bahwa kami juga bisa menertawakan Indonesia.

Dituliskan dalam Daur:

Tertawa itu sebuah gagasan. Ia bagian dari fenomena ekspresi manusia. Di seluruh dunia manusia melakukan tertawa, dan tertawa mereka sama. Tidak ada jenis tertawa yang berdasarkan kebangsaan atau kesukuan. Mungkin ada semacam ciri-ciri kecil atau tonjolan-tonjolan suara tertentu yang berbeda-beda dalam suara tertawa, tetapi secara mendasar dan menyeluruh tertawa semua manusia di dunia ini sama”Daur II-016Tertawa Itu Makhluk

Menertawakan Indonesia menjadi bagian dari diskusi kami kemudian. Tidak ada perbedaan dalam menertawakan. Semua bergabung dalam lingkaran hangat bernama tertawaan. Tidak ada yang saling melecehkan dalam menertawakan. Semuanya melecehkan dan dilecehkan, namun kami tertawa bersama dalam pelecehan itu. Bukannya marah. Pun Indonesia, kami tertawakan dinamika dan kenyataannya sedemikian rupa. Hingga akhirnya, perkataan yang bisa saya berikan kepada adik-adik hanyalah, “jangan sampai kalian nanti ketika meneruskan negara ini nanti, ditertawakan seperti halnya kami tertawa sekarang ini.”

Tipu daya yang selama ini terjadi dan diberikan oleh beberapa pihak kepada rakyat, nyatanya di Maiyahan tidak membuat kita semakin berkecil hati, atau marah dengan itu semua. Kami malah menertawakannya. Kelucuan-kelucuan dihadirkan penggiat Maiyah dan Cak Nun sebagai upaya membesarkan hati, padahal faktanya kita dihadapkan pada realitas yang sangat memprihatinkan itu. Kita diberikan opsi lain selain marah dan sedih, yaitu tertawa. Bukan karena kami tidak peduli dengan bangsa ini, kami pun bergerak dalam lingkaran-lingkaran organisme kami sendiri memperbaiki dan mengupayakan Indonesia lebih baik ke depannya. Dengan tertawa, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa itu bukanlah sesuatu yang selama ini patut untuk kami marahi atau jadikan kesedihan. Rasionalitas kami tetap terbangun, akal sehat dan nurani kami tetap terjaga. Kecintaan kami pada Indonesia masih sangat besar.

Dalam Daur II Cak Nun menuliskan:

Kalau tipu daya nasional yang sedang diselenggarakan dan dipacu dengan menghalalkan segala cara ini gagal”, kata Mbah Sot, dikisahkan Brakodin, “maka sejumlah raksasa akan jatuh bergelimpangan. Pertama Partai Raksasa yang mengangkut pemimpin tertinggi dan anak buahnya itu akan kehilangan legitimasi dan akan seperti aki mobil mendadak lenyap stroom-nya….”Daur II-010Sembilan Lelaki Perusak

Pengisahan demikian sangat jelas siapa ‘raksasa’ yang dimaksud, apa tipu dayanya dan juga bagaimana penyelenggaraan tipuannya. Bagi kader organisasi pergerakan mahasiswa, mestinya hal itu mudah ditangkap. Bahkan, dengan ‘gelitik’ dan pencocokkan sana-sini, bisa didapatkan siapa dan kelompok mana yang melakukan tipu daya itu semua. Cak Nun bahkan sering dalam beberapa kesempatan Maiyahan menyebutkan namanya.

Namun demikian, dibandingkan marah dan bersedih, anak bangsa seperti kami masih bisa duduk bersama dalam lingkaran masing-masing, baik Maiyah, maupun lingkaran organisasi. Dengan menertawakan Indonesia, kami ditarik dari emosi marah dan sedih kami ke dalam ekspresi baru yang secara kultural, sering kami lupakan. Yaitu tertawa. Jika marah dan sedih pada satu hal membutuhkan alasan, maka tertawa tidak membutuhkan itu. Dengan menertawakan, kami melupakan kemarahan dan kesedihan berlarut. Dengan kata lain, kami dipaksa rasional dalam menyikapi apa yang menjadi kemarahan dan kesedihan kami.

“Rakyat Indonesia itu, sanggup menertawakan apa saja,” kata Cak Nun. Kemudian disambung dengan bahasa beliau yang lucu namun menggugah kami, “bahkan menertawakan penderitaan dan penindasannya.”

Dalam sebuah orasi, Cak Nun menyampaikannya dengan cukup lucu, “Hai, kamu, Belanda! Sini, sekalian jajah kami lagi. Dibandingkan Cina, Jepang, Amerika atau kami sendiri, mending kamu sekalian!” Semua dibahasakan dengan kelucuan yang membuat seisi forum tertawa. Hingga akhirnya kata-kata itu keluar, “Garuda bukan burung emprit.”

Kita menertawakan diri kita, kita menertawakan Indonesia dan pengelolanya. Kelucuan yang sebenarnya memberikan penyadaran, “Kami Garuda, bukan burung emprit!”

Kesalahan-kesalahan berpikir penguasa, penindasan yang dialami rakyat Indonesia, kesimpangsiuran masa depan bangsa, ditertawakan habis-habisan dalam Maiyah. Kami tertawa, namun daya kritis, nurani dan kecintaan kami pada Indonesia tetap terjaga. Saya pun ketika menyaksikan berita-berita, tulisan-tulisan penggiringan opini di media massa kini hanya bisa tertawa melihat apa yang ada. Toh, kami juga sudah tahu apa kenyataannya.

Dengan demikian, kami menertawakan Indonesia bukan karena kami melecehkannya, tapi kami sangat mencintainya. Tolong, Pak. Jangan buat kami sakit perut lagi karena tertawa tanpa henti.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Exit mobile version