Menemukan Presisi Keseimbangan dalam Kesadaran Sangkan Paran
Jamaah maiyah, hampir di semua tempat dan kesempatan Maiyahan, pasti memiliki teknologi internal. Betah bertahan selama berjam-jam hingga menjelang subuh. Kalaupun ada yang bergegas ke belakang, itu pun bisa dihitung jari. Mayoritas yang lain duduk jumeneng, tenang, dan damai.
Pemandangan itu juga kita temui di pengajian Padhangmbulan. Baik ketika Cak Nun hadir atau tidak, teman-teman jamaah istiqomah dan setia mengalir di sungai ilmu. Ketangguhan bermaiyah yang menyalakan rasa syukur dan optimisme — anak-anak muda itu memang sedang dipersiapkan oleh Allah untuk memimpin dan mengayomi masa depan.
Saya masih penasaran bagaimana respons Cak Nun agar menjadi juru damai. Kalaupun Cak Nun menjadi juru damai, saya pikir beliau memang menjalankan peran itu. Namun, sejumlah syarat untuk menyelenggarakan perdamaian, seperti yang disampaikan Cak Fuad, salah satunya adalah dilangsungkan secara diam-diam, tidak diliput dan dipublikasikan media—sudah dan sedang dilakukan oleh Cak Nun.
Mengobati Pasien yang Tidak Merasa Dirinya Sakit
“Indonesia adalah pasien yang tidak punya tiga pengetahuan. Tidak tahu sakitnya apa, tidak tahu akan meminta tolong kepada siapa, dan yang ketiga ini paling parah: tidak tahu kalau dirinya sedang sakit. Itulah Indonesia,” ungkap Cak Nun, membuka pemaparan usai Cak Fuad menuntaskan pendalaman ishlah.
Merespons permintaan jamaah Cak Fuad agar Cak Nun menjadi juru damai, bagaimana akan menolong sementara yang akan ditolong tidak merasa membutuhkan pertolongan, tidak merasa sedang sakit, dan tidak merasa sedang bertikai. Setiap pihak merasa mantab dengan kebenaran yang diyakininya. Tidak pernah merasa ragu dan perlu bertanya tentang apa yang diyakininya itu.
Jadi, manusia modern atau orang Indonesia itu kalau berurusan dengan keinginan mereka sendiri, ketika bersentuhan dengan karepe dhewe, sangat-sangat yakin dan mantab. Tapi, kalau berkaitan dengan Allah, Rasulullah dan Al-Quran tidak begitu yakin. Padahal yang disampaikan Al-Quran tidak mengandung keragu-raguan sedikit pun—dzaalikal kitaabu laa raiba fiihi. Al-Quran bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi ada hidayah di sana.
Akibatnya, merasa mantab dengan karepe dhewe itu muncul penyakit dalam urusan intelektualitas, yaitu ketidakmampuan membedakan antara yang ruhiah dan jasmaniah, antara yang kualitatif dan kuantitatif. Inilah akar segala pertikaian dan kebencian, di mana setiap pihak merasa mantab dan yakin dengan pendiriannya.
“Jadi, saya tidak akan nyrotong-nyrotong, nylonong-nylonong, menjadi juru damai. Kan tidak enak. Berbeda kalau saya diminta tolong. Kita wajib menolongnya,” kata Cak Nun. Jelas sudah, respons dan sikap beliau. Maiyah akan tetap bersedekah untuk Indonesia.
Pamrih yang dibangun pun tidak demi Indonesia semata, melainkan demi menyongsong ketangguhan anak-anak muda, arek-arek Maiyah, sehingga kelak tiba saatnya, teko titi wancine berjuang, mereka menjadi sosok yang ahsanu taqwim. Sosok yang berpikiran benar, jernih, dan adil.
Presisi diantara Al-‘Adlu dan Al-Qisthu
Cak Nun lantas menyinggung dimensi pengertian al-‘adlu dan al-qisthu. Adil bersifat dinamis. Seorang hakim datang di pengadilan, yang dia bawa adalah nurani keadilan. Adapun pasal-pasal hukum boleh diciptakan oleh hakim. Maka, hakim dituntut agar seakurat mungkin menjatuhkan putusan hukum. Harus sangat presisi—seperti ujung jarum yang menancap di titik terkecil kebenaran.
Bersikap sangat presisi ini, dan mengasosiasi diri berlaku sebagai al-hakim, harus terus-menerus dicari, walaupun pada kesadaran berikutnya apa yang kita yakini sudah presisi ternyata belum presisi. Jadi, presisi adil perlu dicari terus-menerus. Termasuk “sindiran” Allah agar bersikap adil sebagai “syarat” sebelum memperistri lebih dari satu. Jika kita takut tidak adil, cukup satu saja istrinya. Allah membuka kemungkinan dan menawarkan getaran keadilan itu kepada setiap suami: apakah bisa bersikap adil ataukah tidak.
Maka, akan sangat riskan kalau syarat bersikap adil untuk menyunting istri kedua, ketiga, dan keempat itu kita jawab: “Insya Allah saya bisa adil.” Tapi, kenyataannya tidak sedikit yang berani dan kendel menyatakan diri bisa bersikap adil. Yang terjadi selanjutnya adalah siklus pergantian istri ketiga menjadi istri kedua, yang keempat menjadi yang ketiga dan seterusnya.
“Saya tidak berani melakukan itu, karena berurusan dengan Allah saya ini penakut,” kata Cak Nun. Mengapa mereka kendel dan berani? Karena Allah tidak benar-benar dianggap ada, sehingga mereka tidak pernah bersikap serius kepada-Nya. Tidak heran kalau kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa mereka juga tidak serius. Tidak pernah bertanya: “Kok tahu kalau Tuhan itu Maha Esa? Siapa yang memberi tahu Tuhan itu Maha Esa?”
Pada tahap itu, manusia modern gagal memahami agama. Apa metodologi yang bisa dipakai untuk mengenal Tuhan? Manusia tidak mungkin mengenal Tuhan itu Maha Esa, akal tidak sanggup menjangkau eksisntensi-Nya, eksperimen yang dijalankannya akan buntu. Tidak mungkin manusia memahami Allah, kalau bukan Dia sendiri yang mengenalkan Diri-Nya.
Disinggung pula salah kaprah labeling manusia radikal dan manusia liberal. Radikalitas dan liberalitas itu tertanam dalam diri setiap manusia. Tidak ada manusia yang radikal atau liberal seutuhnya. Pada momen tertentu kita harus bersikap radikal dan di momen yang lain kita bisa bersikap liberal.
Manusia itu penuh dinamika. Jangan menjadi materi belaka. Di tengah situasi ketika setiap pihak yang bertikai merasa yakin dan mantab bahwa dirinya benar, bagaimana sikap kita? Jangankan kebenaran yang dipenuhi oleh lapisan dan labirin—kebenaran bisa hadir sesuai arah pandang yang berbeda. Kelihatannya benar, tapi dilihat dari sisi yang lain jadi salah. Memang seperti itu hidup. Persoalannya adalah bagaimana kita menempatkan diri agar tetap seimbang, tepat, dan selamat di hadapan Kebenaran Allah.
Kita perlu berlindung kepada Allah Swt. Kalau kebenaran itu tidak terkejar secara intelektual, kira harus masuk ke wilayah spiritual agar senantiasa berada di shirat al-mustaqim.
Untuk menambah cakrawala pemahaman tentang kebenaran, Cak Nun bercerita pengalaman pentas bersama KiaiKanjeng di Belanda. Personil KiaiKanjeng bertemu dengan penduduk Suriname, orang Jawa yang tidak pernah lahir dan belum pernah hidup di pulau Jawa. Hingga pembicaraan mereka menyentuh soal agama.
Menjawab pertanyaan: “Agama Panjenengan nopo?” Saudara Suriname menjawab, “Kalau saya jangan Islam sebab Islam itu mulia. Sedangkan saya masih suka mabuk. Jangan sampai saya mengotori kemuliaan Islam.”
Cak Nun pun melontarkan pertanyaan kepada jamaah. Pengakuan orang Suriname itu baik atau buruk? Spontan dan serempak jamaah menjawab: baik. Simulasi berlanjut. Lebih baik mana sikap orang Suriname itu dibanding orang yang sangat yakin dirinya Islam tapi mengerjakan perilaku yang merusak? Apabila dihadapkan pada dua pilihan: kelihatan alim tapi mabuk dan pemabuk tapi menghormati Islam, pilih yang mana?
Cara berpikir al-hakim yang presisi akan memilih pemabuk tapi menghormati Islam. Ini memang kebenaran yang sepenggal. Berhubung kebenaran itu dinamis, maka akan lebih baik kalau kita membersihkan diri lalu menjalani Islam. Inilah cara berpikir yang adil.
Apabila simulasi yang diberangkatkan dari kenyataan orang Suriname itu dilihat dari kaca mata al-qisthu, maka dia pasti salah, karena dia tidak segera memeluk Islam. Atau ketika dilihat dari sisi al-khoir, dinamika kebenaran yang masih universal, saudara Suriname itu benar dan memiliki dinamika kemungkinan untuk memeluk Islam.
Baik-Buruk, Benar-Salah, dalam Kesadaran Sangkan Paran
Cak Nun terus mengalirkan dinamika simulasi kebenaran melalui contoh seorang yang melacur demi menutup hutang bapaknya. Pada konteks kasus yang menjeratnya, perempuan yang melacur sangat bisa dipahami. Sedangkan orang yang melacur itu sedang menjalani “kebaikan”, melunasi hutang bapak sang pelacur, walaupun sebelumnya harus ditempuh melalui jalan yang keliru.
Jadi, berbicara baik-buruk, benar-salah, itu dinamis dan selalu terkait dengan konteks sebelum dan sesudah peristiwa berlangsung. Tidak bisa dipotong atau dicabut dari konteks dan nuansa yang menyertainya. Bahwa pada angka tiga itu ada angka empat, lima, enam atau dua, dan di dalam dua ada satu, di dalam satu ada nol, di dalam nol ada min satu dan seterusnya—tidak menjadi kesadaran orang modern. Mereka hidup hanya dan terbatas pada angka tiga.
“Pokoknya saya tiga. Titik. Tidak tahu dua, tidak tahu satu, tidak tahu empat. Inilah cara berpikir dan pendirian orang zaman sekarang,” tutur Cak Nun. Cara berpikir dan sikap pendirian yang tidak kenal sangkan paran.
Cak Nun terus mengalirkan formula berpikir. Pertanyaan siapa yang akan kita hormati setelah Allah dan Rasulullah? Lagi-lagi, kita harus memiliki presisi untuk menentukannya. Pertanyaan ini dipakai Cak Nun untuk menunjukkan pentingnya skala prioritas dalam hidup.
Muatan-muatan berpikir untuk menguak, mendalami, mengarungi ishlah berlangsung dan bertambah indah ketika Letto melengkapinya dengan lirik-lirik yang mengusung silmi.
Bukan Padhangmbulan dan bukan majelis maiyah kalau pertanyaan yang diajukan tidak otentik khas jamaah. Meski demikian, Cak Fuad, Cak Nun, Kiai Muzammil meresponsnya dengan kedalaman yang bervariasi. Purnama yang utuh-penuh menghadirkan berlaksa-laksa cahaya. Di ubun-ubun jamaah Maiyah berpendar-pendar cahaya ilmu, yang terus loading menemukan keseimbangan dalam hidup mereka masing-masing. (Achmad Saifullah Syahid)