Menemani yang Rusak
Satu yang masih selalu terngiang di kepala ini adalah peristiwa bertemunya Pak Mustofa W. Hasyim dengan kelompok KiaiKanjeng. Awal tahu beliau, saya ragu kalau beliau adalah salah satu manusia sastra yang turut menyemarakkan jagad sastra Yogya pada khususnya. Tulisan ini tidak menitikberatkan keraguan saya kepada beliau. Karena beliau manusia yang rangkap jabatan dan kemampuan dalam bidang sastra. Cerpen, naskah lakon teater, puisi, esai, sepertinya sudah mendarah daging dengan beliau.
Saya cukup tersentak ketika Cak Nun selalu mempersilakan beliau membacakan puisinya dengan sangat ikonik dan fenomenal,
“Puisi Rusak-Rusakan dari Pak Mustofa W. Hasyim…”
Kalau sudah begitu, bibir para jamaah Mocopat Syafaat akan tersenyum dengan alamiah. Kecuali yang mengantuk. Idiom ‘rusak-rusakan’ memang memancing tawa. Kalau mendengar ‘rusak-rusakan’ bibir ini memang secara otomatis mudah tersenyum. Mungkin intonasi dan cara pembacaan puisinya yang membuat para pendengarnya tersenyum. Meski sebenarnya puisi karya beliau mengandung banyak pesan dan makna. Atau ada sesuatu yang lain?
Atau, ini yang menurut saya perlu ditelisik, mungkin polah tingkah para awak KiaiKanjeng yang secara spontan mengiringi pembacaan puisi tersebut yang membuat para jamah semakin ‘geeerrr’. Belum pernah saya temui (kalau sedulur sekalian ada filenya saya mau), ketika Pak Mustofa W Hasyim membacakan puisinya, tiba-tiba Mas Ari ‘Blothong’ KiaiKanjeng menyayat biola. Memainkan nada-nada yang menimbulkan aura ketegangan atau kesedihan. Suara-suara melankolia membumbung ke langit bersama kata-kata yang keluar dari mulut sang penyair yang menyuarakan puisinya dengan terbata-bata.
Atau (Sekali lagi kalau para sedulur pernah melihat), ketika Pak Mustofa W. Hasyim berdiri, membuka kertas yang penuh dengan kata-kata bermakna seperti mantra, Mas Bobit KiaiKanjeng menekan tuts-tuts kibor dan terpilihlah nada-nada mistis yang meraung-raung ke telinga jamaah. Atau permainan nada-nada klasik romantik. Sehingga jamaah seperti sedang merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama ketika mendengar puisi dari Pak Mustofa.
Kalau saya belum pernah.
Sama sekali belum pernah menyaksikan peristiwa yang demikian itu.
Pelan-pelan saya bawa Anda untuk menyelami peristiwa musikal apa yang sebenarnya terjadi antara Pak Mustofa W. Hasyim dan KiaiKanjeng di ‘panggung’ Mocopat Syafaat. Semoga anda terbawa. Kalau ndak terbawa ya, syukur alhamdulillah.
Naluri musikal. Naluri musikal dapat menyesuaikan diri dengan fenomena yang terjadi. Baik itu spontan maupun yang sudah terukur dan terencana. Ini lazim dialami oleh teman-teman yang bergelut di bidang musik. Contoh yang paling gampang ditemui adalah fenomena musikal pada acara-cara pernikahan. Simak saja keberadaan band atau kelompok musik yang ada di sana. Beberapa ada yang menyebutnya dengan wedding band. Yang kalau diterjemahkan secara mentah, adalah kelompok nikah?
Lagu-lagu yang mereka mainkan adalah seputar lagu-lagu yang bertemakan cinta dan kebahagiaan. Lagu yang sebenarnya ditujukan bukan untuk tamu hadirin yang berbahagia melainkan untuk menunjang dan memompa semburat kebahagiaan dari mempelai berdua. Mereka sudah memiliki bank data tentang lagu-lagu tersebut. Dari tembang evergreen sampai lagu wajib ‘Janji Suci’nya Yovie and The Nuno band. Mereka pasti punya. Bahkan lagu campur sari seperti ‘Suket Teki’ mereka juga sudah siap memainkannya. Ini yang saya sebut naluri musikal yang sudah terencana. Memilah lagu-lagu yang memiliki tema yang sesuai dengan peristiwa saat itu. Dengan sedikit menambahkan lagu-lagu yang familiar di telinga awam. Tapi agak janggal juga jika tiba-tiba mereka menyanyikan lagu Gugur Bunga untuk mengiringi kedua mempelai naik ke pelaminan.
Untuk apa persiapan itu dilakukan, untuk antisipasi jika tiba-tiba ada salah satu tamu yang hadir, entah itu kolega atau sanak keluarga, yang secara refleks ingin turut menyumbangkan suara emasnya. Memberi persembahan terbaik melalui lagu untuk mempelai berdua, atau untuk memenuhi hasrat musikalnya sendiri. Karena banyak yang tergoda juga untuk bernyanyi di atas panggung. Perkara kualitas suara, itu resiko dari para pendengarnya sendiri. Biasanya mereka bertanya dahulu kepada para pemusik.
“Mas, lagunya Anji bisa?”
“Mas, lagunya Dewi Yul bisa?”
Atau, “Mas Magadil bisa?”
Dan respons dari pemusiknya, yang pertama bisa menanyakan judul lagunya. Yang kedua menanyakan dari Chord/Kunci apa biasanya. Nah, naluri musikal menjadi aktif dan sangat ketika orang yang meminta bernyanyi, satu tidak tahu judulnya, karena yang dia hafal hanya bagian refrainnya. Atau yang kedua, orang yang bernyanyi asal bernyanyi tanpa tahu dia biasa menyanyikan lagu tersebut dari kunci apa. Mulailah para pemusik mencari-cari, meraba, menguatkan kepekaan sensor pendengaran, dan mengatur akurasi nada untuk menemukan kuncinya dari apa. Itu jika para pemusik sudah tahu. Bagaimana jika tiba-tiba request lagu soundtrack Drama Korea dan para pemusik tidak ada satu pun yang tahu lagunya seperti apa. Sekali lagi naluri musikal yang bekerja. Ketemu? Insyaallah ketemu musiknya meski tak seakurat dengan aransemen lagu aslinya.
Harapannya si peminta legawa dan puas dengan iringan spontan para pemusik. Ada yang legawa memang. Tapi tak sedikit juga yang ngedumel setelahnya. Tidak profesional lah. Tidak kompeten lah. Kayak gitu kok dibayar mahal lah. Dan berbagai macam lah yang lain.
Belum lagi, seperti yang pernah teman-teman dari grup nasyid alami, yaitu memenuhi permintaan untuk mengiringi si Pendakwah atau Ustadz si Pemberi Khotbah Pengantin atau Kiai yang mengisi tausiyah dalam acara tersebut. Tak jarang mereka menjadi sedikit kelabakan. Karena terkadang ada ustaz yang minta, “Mas nanti kalau saya bilang sahabat perjuangan, panjenengan langsung menyambut dengan lagu Sahabat Perjuangan. Nanti siapkan juga lagu Keramatnya Rhoma Irama kalau saya selesai khotbah tentang birrul walidayn…”
Si Kiai belum pernah berjumpa dengan para pemusik. Begitu ketemu banyak harapan yang dipaparkan kepada pemusik. Supaya nuansa dakwahnya lebih hidup dan menjadi mudah diterima oleh mempelai berdua. Dan lagi-lagi naluri musikal menjadi andalan.
Kita balik lagi ke fenomena pertemuan Pak Mustofa W. Hasyim dan kelompok KiaiKanjeng. Sedulur sering mendapati Pak Mustofa W. Hasyim ini tidak hanya menyiapkan satu puisi saja. Paling tidak dua karya disiapkan untuk dibaca setiap tanggal 17 malam, atau lebih tepatnya tanggal 18 dini hari. Entah kenapa Cak Nun seakan menaruh pembacaan puisi Rusak-Rusakan ini di bagian akhir. Apakah untuk melakukan penyegaran kembali para jamaah. Atau memang lebih enak mendengarkan puisi ini pada dini hari? Lain kali kita telisik lagi dengan cara yang lebih enak.
Satu puisi dari Pak Mustofa W. Hasyim bukan terbilang puisi yang pendek. Bisa sampai dua atau tiga halaman. Pada pembacaan puisi yang pertama, di baris-baris awal, teman-teman KiaiKanjeng tidak langsung merespon. Seperti mencari tempo dan nuansa ritmis dari cara membaca Pak Mustofa. Begitu ketemu, masuklah bunyi-bunyi ritmik dari alat musik perkusi. Entah itu rebana, kendang, saron, demung, bonang yang dimainkan satu dua nada saja berulang ulang, bass drum yang diusahakan dimainkan secara konsisten, begitu juga dengan hi-hat-nya, pokoknya bunyi-bunyian perkusif saja. Dengan pola pukulan seperti anak kecil yang sedang klothekan memukul-mukul meja. Seperti anak kecil yang dolanan dengan teman sebayanya. Seperti anak kecil yang bermain lepas, berlarian ke sana kemari sambil tertawa terbahak-bahak berkejar-kejaran sampai lupa mandi.
Pembacaan puisi selesai dan disambut dengan tepuk tangan serta tawa jamaah. Tentu saja tidak ada kesepakatan antara Pak Mustofa dan KiaiKanjeng sebelumnya soal musiknya harus bagaimana. Memasuki pembacaan puisi yang selanjutnya, musik yang dimainkan beberapa awak KiaiKanjeng juga hampir sama pola ritmiknya. Setelah selesai disambut pula dengan tepuk tangan dan tawa jamaah.
Dan boleh kah saya menyebut peristiwa itu dengan musikalisasi puisi? Cara membaca puisi yang terkadang puisi itu dikomentari sendiri oleh Pak Mustofa tentu saja sudah cukup mengundang gelak tawa. Apalagi bertemu dengan respon spontan ‘klothekan’ dari awak KiaiKanjeng yang mendapat ‘geeerrr’ jamaah.
Alhamdulillahnya, Cak Nun menyebut dengan istilah puisi Rusak-Rusakan. Bukan Rusak beneran. Kalau pun rusak beneran, saya rasa teman-teman KiaiKanjeng juga sudah siap. Syukur-syukur ada pertunjukan musikalisasi puisi Cak Nun dan KiaiKanjeng plus Pak Mustofa W. Hasyim. Cak Nun dan KiaiKanjeng siap menemani, merangkul ‘serusak’ apa kita. InsyaAllah.