Mencari Iblis
Toling tertawa lagi. “Pakde Paklik ini lucu dan pintar sekali membesarkan hati anak-anak muda yang masih kering kerontang jiwanya”
“Membesarkan hati gimana”, respon Pakde Tarmihim, “memang sungguh-sungguh kami menjadi mantap karena kalian”
Toling sambil masih tertawa meneruskan. “Terus terang kami sering merasa GR. Kalau membaca Al-Qur`an yang kami cari adalah diri dan posisi kami sendiri. Termasuk perkenalan dan proses kami dengan lingkungan Mbah Sot bersama Pakde Paklik ini juga tidak sengaja kami mengincar siapa tahu apa simbolisme, perumpamaan atau padanannya di kisah Al-Qur`an — meskipun tentu saja itu sekedar konteksnya, temanya, bukan kalibernya, kadarnya atau skalanya”
“Contohnya apa”, Pakde Sundusin bertanya.
“Allah berfirman: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [1] (Al-Isra`: 70). Dahsyatnya begini limpahan rahmat Allah kepada manusia, kok selama kami melihat masyarakat, Negara, globalisasi dan semua keadaan dunia ini — isinya mengeluuuuuh terus tentang kemiskinan, kesulitan ekonomi, ketimpangan pembagian rejeki, pertengkaran, permusuhan, persaingan, perebutan…”
Jitul ikut tertawa. “Maka pekerjaan kami tiap hari adalah mencari Iblis”, katanya, “Mengamati Iblis itu yang mana di antara manusia. Tentu saja yang kami curigai pertama adalah diri kami sendiri. “Maka Kami berkata: Hai Adam, sesungguhnya ini iblis adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka”. [2] (Thoha: 117).