Menatap Dari Angkasa Jauh
Jasadnya di bumi, tetapi hatinya, pikiran, dan pandangannya melintas-lintas langit. Kehidupan di bumi terlalu sempit ruangnya dan terlalu sejenak waktunya. Tak apa jasadnya, beserta sejumlah keperluannya, tetap mensetiai bumi. Tetapi jiwanya melompat ke tepian keabadian, duduk menunggu momentum transformasi yang sudah dijadwalkan oleh Allah. Ia berjalan lalu-lalang di depan pintu gerbang keabadian.
Kalau seluruh keutuhan dirinya ada di bumi, maka tak berjarak ia dengan bumi, dan itu bisa membuatnya ditenggelamkan oleh hiasan-hiasan dunia di bumi. Kalau ia menatap bumi dan kehidupan dunia dari angkasa jauh, ia punya ruang dan kelonggaran waktu untuk meraba-raba pengandaian dan simulasi terhadap alur kesementaraan di dalam tak terhingganya keabadian.
Ia harus menghindar sejauh-jauhnya dari potensi untuk ingkar kepada apa dan bagaimana sebenarnya kehidupan yang didesain oleh Allah atas manusia. “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [1] (Al-Baqarah: 28).
Dari langit dan angkasa, Iqra` mestinya bisa lebih kaya dan penuh nuansa. Karena perspektif ruang dan spektrum nilainya pasti tidak sesempit kalau ia sibuk di bumi. Apalagi siang malam dikepung oleh hiasan-hiasan dan fatamorgana dunia. Sesekali ia bisa sadar bahwa hiasan itu adalah berhala, tetapi pasti tidak setiap saat ia sanggup memelihara konsentrasi kesadaran itu.
Kalaupun hiasan dunia itu tak kulihat, ia tetap terlihat. Kalaupun ia lari, dunia tetap memergokinya di tempat ia bersembunyi.