Menarik Mundur untuk Melesat ke Depan

Pada Kamis, 27 April 2017 lalu, Kelas Sinau Jawa menggelar Sarasehan Budaya bertajuk “Perempuan dalam Perspektif Jawa Kuna” bersama Pak Manu J. Widyaseputra di Rumah Maiyah, Kadipiro, Yogyakarta. Acara ini digelar untuk memperingati Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April. Selain itu, acara ini sekaligus juga mengajak publik untuk meninjau kembali arti kata perempuan dan peran perempuan di masa lampau. Sehingga, nantinya dapat direfleksikan pada masa kini.
Tepat Pukul 20.05 WIB, Mas Maulin Ni’am membuka acara. Ia mengungkapkan bahwa selama ini terjadi salah kaprah dalam memaknai kata “perempuan”. Akibatnya, terjadi penurunan makna kata “perempuan”. Selain itu, ditegaskan pula bahwa acara malam itu adalah sinau bareng, bukan sekadar acara “kulak werta adol kandha”, mencari hal-hal menarik, lantas disebarluaskan secara serampangan. Sehingga harapannya, penyebaran informasi dari hasil sinau bareng ini benar-benar sudah diresapi dan dipahami oleh hadirin. Bukan sekadar copy paste dari uraian Pak Manu J. Widyaseputra.
Membuka Kembali Teks Masa Silam
Sebagai seorang filolog, Pak Manu J. Widyaseputra malam itu mengajak hadirin untuk membuka kembali teks-teks masa silam, terutama teks yang berkaitan dengan perempuan. Namun demikian, Pak Manu J. Widyaseputra terlebih dahulu memberikan pengantar bahwa dalam membaca teks kuna ada beberapa cara. Nah, dalam kaitan menelusuri makna kata “perempuan” dalam teks kuna, Pak Manu J. Widyaseputra menggunakan pendekatan Nirukta dan Dhvani.

“Nirukta merupakan salah satu bagian tata bahasa Sansekerta, yang berurusan dengan etimologi kata-kata. Nirukta sendiri dibedakan menjadi dua macam, yakni Nirukta historis dan Nirukta semantis. Nirukta historis menyajikan asal-usul atau sejarah awal sepatah kata, sementara, Nirukta semantis mengkaitkan satu kata dengan satu atau lebih kata yang lain, yang diyakini untuk memaparkan artinya, ” urai Pak Manu.
Malam itu benar-benar terasa sebagai forum sinau bareng. Sebab, selain Pak Manu menyampaikan beberapa uraian sebagai pengantar. Beliau juga mengajak hadirin untuk menyelam bersama ke dalam pengetahuan Bahasa Jawa Kuna. Sehingga, hadirin benar-benar mampu mengikuti bagaimana suatu kata terbentuk, bukan mak bedunduk, muncul begitu saja. “Coba, hadirin buka halaman ke lima dan perhatikan kata mpu,” tutur Pak Manu J. Widyaseputra mengajak hadirin membuka risalah yang sudah dibagikan sebelumnya.
Kembali pada Kata
Merujuk teks Ādiparva, Kakavin Rāmâyaṇa, Kakavin Sumanasântaka, Kakavin Pārthayañja, dan Koravâśrama, Pak Manu menunjukkan kata yang berkaitan dengan kata “mpu”, yakni: bhujâŋga mpu, mpu ḍaŋ hyaŋ, mpu ḍaŋ ācārya, mpu tapa, mpu bini, mpu rama, mpu buyut, nini mpu, kaki mpu, mpu kili, mpu paṇḍe, mpu nāṇḍithama. Lalu, dengan pendekatan Nirukta historis, Pak Manu J. Widyaseputra menunjukkan secara rinci bagaimana keberadaan “mpu” dalam ekologi Budaya Jawa Kuna. Selain itu, dengan pendekatan Nirukta semantis, Pak Manu J. Widyaseputra menegaskan bahwa kata “mpu” tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus diberi atribut, yang menunjukkan: karakteristik, fungsi, dan profesi.

Jadi kata “mpu”, jika dipadukan dengan simulfiks (per-/-an} menyatakan pelaku pekerjaan, sehingga perempuan mempunyai arti, “yang melakukan pekerjaan mpu‟. Lalu, ketika mpu memiliki arti “tokoh yang istimewa”, “tokoh religius‟, maka perempuan adalah tokoh yang melakukan pekerjaan-pekerjaan istimewa, pekerjaan-pekerjaan religius.
Selain menggunakan pendekatan Nirukta, Pak Manu J. Widyaseputra juga menggunakan pendekatan Dhvani yakni menginterpretasi sebuah makna berdasarkan konteks sosial, budaya, dan historis. Berdasarkan penyelaman itu, pada masa pra sejarah, perempuan adalah tokoh yang menemukan teknologi bercocok tanam. Dan pada masa Jawa Kuna (Abad 1-XV M), perempuan merupakan tokoh yang melakukan pekerjaan istimewa.
Memang, satu hingga dua jam untuk membedah makna kata perempuan tidaklah cukup. Apalagi jika itu dihadapkan pada kondisi saat ini, di mana terjadi penurunan makna kata perempuan. Maka, pada malam itu, hadirin benar-benar memanfaatkan forum tersebut untuk menggali lebih dalam makna kata perempuan. Juga mengonfirmasi salah kaprah perihal perempuan.
Berdasarkan pengamatan penulis, malam itu terdapat enam orang yang bertanya, empat diantaranya adalah perempuan. Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana bisa terjadi pergeseran peran atau posisi perempuan? Apalagi ada istilah seperti perempuan hanya kanca wingking, juga diposisikan hanya bisa masak, macak, dan manak.
Merespons pertanyaan tersebut, Pak Manu J. Widyaseputra mengajak hadirin untuk belajar kembali membuka lagi teks-teks masa silam yang diwariskan para nenek-moyang kita. “Ini baru sekadar kata perempuan, kita sudah tidak paham asal-usulnya. Belum lagi kata yang lain. Jadi sebenarnya, permasalahan kita saat ini, salah satunya bisa diatasi dengan membuka kembali teks-teks kuna. Selain itu, kita harus mengerti betul sumber, atau asal-usul sebuah istilah itu muncul agar kita tidak salah tafsir, kemudian salah bertindak,” kurang lebih demikian Pak Manu J. Widyaseputra mengingatkan hadirin dan memungkasi acara malam itu. (Fafa Mustofa)