CakNun.com
Wedang Uwuh (44)

Menarik Busur Panah

Kedaulatan Rakyat, 29 Agustus 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Masih dalam kegembiraannya sepulang dari Borobudur, seperti anak muda, Pèncèng asyik dengan headphone di telinganya. Mendengarkan sesuatu sampai kehilangan sambungan dengan sekelilingnya.

Tapi kayaknya bukan musik yang ia dengarkan. Tidak ada goyang-goyang kepala, tangan atau badannya. Wajahnya saja yang terkadang senyum, kerut-merut, atau tertawa, sesekali geleng-geleng kepala.

Gendhon tidak sabar. Ia copot headphone dari kepala Pèncèng. Ia penasaran untuk segera mendengarkannya. Ternyata memang bukan lagu. Hanya vokal.

“Borobudur cèn dahsyat”, begitu suara seseorang, “Aku moco banyak buku data dan tak rangkum singkat data fisik otentik riil. Nha, Borobudur sebagai Mandala yang geometris berpusat pada titik meditatif utama mengandung data sing sifatnya metafisis spriritual yo ampuh tenan…”

Sebenarnya itu pengetahuan tidak baru sama sekali, pikir Gendhon sambil masih terus mendengarkan. Memang demikian sejak awalnya. Hanya saja Pèncèng tidak pernah memperhatikannya secara spesifik, dan memang kebanyakan orang tidak ‘care’ pada hal-hal seperti itu.

“Mosok iso ono sumbu garis lurus makrokosmos Merapi Mendut Borobudur. Piye ngukurnya itu di tahun 600 Masehi ? Di tubuh Candi ono 100 lebih pancuran air yang mengatur sistem alur sirkulasi air. Dua jutaaan blok batu rata-rata 50 kg per blok terikat hanya dengan sistem pahatan pantèk ekor burung tanpo semen tahun 600-an Masehi…”

Lho memang begitu, Gendhon membatin lagi. Siapa saja yang mempelajari Borobudur ya ngerti itu. Pèncèng saja yang seperti orang bangun tidur kesiangan.

“Pak Harto mimpin urunan 26 negara renovasi Candi tahun 1973 – 1983 10 tahun ming renovasi tur urunan 26 negoro. Lha mbangune poro leluhur ming 75 tahun 3 generasi iso nyambung utuh. Nek Bupati po Presiden saiki mesti emoh neruske program Bupati lan Presiden sakdurunge. Kabeh Presiden paido-paidoan satu sama lain. Dadi pancen menungso kita kita ki cèn utek kemul pekok tenan yo. Lha tahun semono leluhur wis iso gawe Megasuper Proyek ngono kok. Neng pusat tanah Jowo lho kuwi segitiga Platinum Borobudur Prambanan Boko. Kita saiki mung iso ngedol tiket masuk karo menjadikan dekor pentas…”

Gendhon setengah tertawa. Bukan karena muatan suara itu, tapi karena mengejek Pèncèng, kok baru tahu beginian.

Tiba-tiba ternyata Beruk tak mau ketinggalan. Ia rebut headphone dari Gendhon, ganti dia mendengarkan. Pèncèng senyum-senyum.

“Prasasti sosial Borobudur yang masih tertinggal dan sejak tahun 700 Masehi sampai 2016 ini masih memberikan karunia rejeki kepada kita dan menunjukkan keterampilan leluhur tingkat tinggi, yaitu masih adanya: Desa Bumisegoro, diduga dulu pusat sekolah bumisambhara budhara. Desa Sabrangrowo — pusat kendali ring 1 Candi Borobudur. Desa Ndagi — pusat para pemahat, Desa Janan — pusat ahli struktur dan arsitek, Desa Kenayan — pusat pekerja umum. Desa Ngaran Ngisor — lapangan penataan batu setengah jadi. Desa Ngaran Ndhuwur — lapangan penataan batu jadi. Desa Jagalan — tempat pengolahan bahan mentah semacam dapur umum. Desa Jayan — tempat latihan keprajuritan. Desa Kèrèkan — sistem Crane mengangkat batu dari perahu di sungai. Desa Watu Tambak (Tambakan) – tempat menumpuk batu, Desa Sangèn — tempat ibadah para pekerja, Desa Tingal — pos pengawasan utama, Desa Parakan — rest area…”

Tiba-tiba Beruk mencopot headphone dan memasangnya kembali ke kepala Pèncèng. “Saya sudah tahu itu”, katanya, “mungkin di buku atau dikasih tahu Mbah Google…”

Tapi memang Pèncèng termuda di antara mereka bertiga. Tidak berarti ia paling rendah ilmunya atau paling sempit wawasannya dibanding Gendhon dan Beruk. Hanya saja khusus tentang apa yang ia sekarang terkagum-kagum itu, Pèncèng memang selama ini kurang memperhatikan.

Pèncèng meneruskan keasyikannya. “Misteri Candi Borobudur adalah karena tidak ditemukannya: gambar rencana, alat pertukangan, alat ukur, bekas kerajaan, bekas rumah, peralatan sehari-hari, alat bayar, informasi tenaga kerja, informasi kerajaan, dll. Sehingga sampai sekarang muncul berbagai macam tafsir dan versi proses pembangunan Candi Borobudur. Yang ada hanyalah jiwa atau ruh Candi Borobudur masih kokoh ada memberi rezeki, nama besar dan kekaguman masyarakat dunia terhadap Nusantara Indonesia…”

“Apa to itu?”, saya tanya ke Gendhon dan Beruk, memancingnya.

“Cinta kepada Borobudur”, Gendhon menjawab, “beliau sangat mengagumi kehebatan para leluhur”

“Mengagumi bagaimana?”

“Mbah kan pernah bicara tentang busur dan anak panah”, kata Gendhon.

“Bangsa kita sekarang ini busur panahnya kecil dan anak panahnya kecil pendek. Kesadarannya tentang masa silam sangat memprihatinkan. Pengetahuan sejarahnya sangat menyedihkan. Bahkan apa yang terjadi seminggu yang lalu orang rata-rata sudah lupa. Tidak ada ketetapan tentang apa yang sebenarnya berlangsung kemarin…”, Beruk gayung bersambut.

“Apalagi sekarang ada medsos. Terlalu banyak informasi. Terlalu berseliweran kabar berita yang tidak pernah terkontrol benar salahnya. Mana informasi mana rasan-rasan, nggak ketahuan. Mana ghibah mana fakta, tak bisa dilacak. Baik yang kecil-kecil maupun yang besar-besar”

“Ada kosakata baru yang sangat popular: misalnya viral, hoax…”

Memang saya sendiri sebagai orang tua setengah mati menyesuaikan diri terhadap kata-kata yang semakin banyak yang asing itu. Hampir semua siapa saja sibuk dengan facebook, twiter, Instagram, browsing, mbah google, dan entah apa lagi. Saya bener-bener primitif rasanya. Saya seperti hidup di tengah hutan rimba.

“Pèncèng asyik mendengarkan hal-hal tentang Borobudur, padahal itu pengetahuan lama. Padahal kita sebenarnya sudah selalu memperbesar busur panah dan memperpanjang anak panah selama ini. Pencapaian masa depan kita berbanding lurus dengan seberapa jauh kita menarik busur ke sejarah masa silam”, Gendhon meneruskan.

“Anak-anak muda zaman sekarang”, Beruk memperdalam, “jangankan ditanya tentang hubungan antara erupsi Gunung Merapi dengan Mbah Petruk, Syekh Jumadil Kubro, Ratu Shima dan Pangeran Padmo. Jangankan tentang Nambi dan Wirorojo, bahkan yang dekat saja misalnya Sentot Alibasyah dan Kiyai Kajoran. Nama Tan Malaka, Syafrudin Prawiranegara, Haji Agus Salim, atau apa pembagian kerja sejarah antara Tjokroaminoto dengan Mbah Syaikhona Kholil Bangkalan. Sedangkan tentang Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi saja tidak jelas pengetahuan mereka. Tidak ada ketentuan pendapat pada mereka baik buruknya Bung Karno dan Pak Harto apa saja. Apalagi sampai detail tentang rompi hijau Madura yang dipakai oleh Bung Karno di balik jas-nya…”

“Ah, terlalu jauh, Ruk”, Gendhon menyahut lagi, “hari ini saja, apakah mereka punya contoh tiga orang saja tentang siapa narapidana yang dikurung di sel penjara sepanjang masa hukumannya. Siapa lainnya yang dipenjara tapi bisa pulang ke rumah sewaktu-waktu, minimal setiap akhir minggu. Siapa yang dipenjara tapi tidak tinggal di penjara. Apalagi siapa yang seharusnya dipenjara tapi tidak pernah dipenjara. Juga siapa yang sebenarnya tidak bersalah tapi dipenjara. Kebanyakan masyarakat dan kaum muda bahkan tidak tahu bahwa ada hal-hal seperti itu. Mereka pikir penjara pasti tempat orang bersalah, dan luar penjara adalah tempat orang tidak bersalah…”

Saya lihat Pèncèng terus asyik senyum-senyum kagum mendengarkan rekaman suara yang didapatnya dari pertemuan di Borobudur.

“Siapa to itu?”, saya jadi penasaran.

“Seorang nDoro, Mbah…”.

Lainnya