Menakut-nakuti Tafsir
Bahkan berita dari ucapan Ibrahim An-Nakho’i, “Para Sahabat begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat. Kami ditakut-takuti ketika menafsirkan” (diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al-Fadhoil, Ibnu Syaibah dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Imam yang sanadnya dikabarkan sahih), memuat kata yang terdengar negatif, yakni “menakut-nakuti”.
Eksplorasi logika bisa sampai pada penjelasan bahwa “menakut-nakuti” tidak pasti merupakan tindakan negatif. Terdapat wilayah dan momentum pada psikologi manusia dan peristiwa interaksi ilmu, di mana sesuatu hal perlu ditekan-tekankan sampai tingkat atau kadar sedemikian rupa, demi lebih memastikan kehati-hatian dan meminimalisasikan kesembronoan.
Al-Qur`an adalah semacam “pusaka” atau warisan suci kepada dan untuk ummat manusia. Pusaka itu dibuahkan langsung dari kesucian Allah. “Maha Suci Allah yang menurunkan Al-Fruqan kepada hamba-Nya” [1] (Al-Furqan: 1). Pusaka itu sesuatu yang dipercaya dan disyukuri kesuciannya, kegunaannya, asal usulnya, serta diletakkan di tempat yang sangat istimewa di dalam kalbu. Ia bagian dari Rukun Iman setiap Muslim, kedudukannya sangat tinggi di samping Allah sendiri, Baginda Rasulullah, para Malaikat, Hari Akhirat, Qadla dan Qadar. Bagi setiap Muslim, Al-Qur`an itu rasanya lebih penting dan lebih utama dibanding dirinya sendiri.
Sebab Al-Qur`an merdeka dari kekotoran, kesalahan, dan kebathilan. Sedangkan manusia berpijak di antara kesucian dengan kekotoran, kebenaran dengan kesalahan, kebaikan dengan keburukan, keindahan dengan kejorokan. Manusia hidup dalam getaran yang dinamis. Manusia bergolak dalam peperangan melawan dirinya sendiri di antara kemungkinan sorga dan neraka. Maka setiap Muslim “menakut-nakuti” dirinya masing-masing untuk tidak mensemberonoi Al-Qur`an.