Memotret Fakta Pendidikan: Seimbang antara Pikiran dan Perasaan
Setelah diguyur hujan deras sore hari, udara desa Mentoro terasa semakin segar. Tanah basah. Daun-daun basah. Aroma hujan sore hari masih terasa malam itu, mengiringi kedatangan jamaah Padhangmbulan. Ramadhan dan hujan menghadirkan romantisme suasana desa: semilir angin yang dingin dan segar menelusup pori-pori. Sayup-sayup terdengar bacaan tadarus Al Quran dari desa seberang.
Menjelang shalat Isya jamaah terus mengalir. Para pedagang “pasar-malem” menjaring rezeki di sepanjang jalan menuju lokasi pengajian. Lampu listrik pedagang menyala; lampu oblek penjual tahu solet meliuk-liuk. Bersama empat orang sahabat, saya ngobrol di teras masjid, menikmati makanan dan minuman “khas” Padhangmbulan: tahu solet dan kopi panas.
Kiai Muzamil datang; saling menyapa sejenak lalu beliau bergegas ke ndalem kasepuhan. Tidak berselang lama Mbah Nun rawuh. Di teras ndalem kasepuhan para tamu duduk lesehan. Di ruang dalam Mbah Nun setia melayani para tamu yang bertandang entah dari mana saja.
Pukul 21.30 WIB pengajian Padhangmbulan dibuka. Surat Al Waqi’ah dilantunkan secara tartil oleh salah seorang mahasiswa Urwatul Wustho (UW) yang sedang ber-KKN di desa Mentoro. Mbah Abdullah Qoyim tidak hadir malam itu. Beliau sedang menjalankan umroh.
Ketika Cak Luthfi membaca Wirid Padhangmbulan, jamaah sudah memadati sisi kanan-kiri dan depan panggung hingga halaman sebelah selatan, meluber depan stan Pojok Ilmu. Mahallul qiyam—semua jamaah berdiri, melantunkan shalawat kepada Kanjeng Nabi, menyambut kehadiran Sang Kekasih. Cinta dan rindu kepada Muhammad Saw bergetar-getar, bagai tangis bayi di malam hari, malam pertengahan bulan Ramadhan. Damai. Nikmat. Sesekali ada tangis yang hendak tumpah.
Belajar dari Pilar Pendidikan di Desa Mentoro
Cak Yus menyampaikan tema pengajian Padhangmbulan adalah pendidikan. Saya baru ngeh mengapa pendidikan menjadi tema pengajian malam itu. Bukankah Rasulullah menyebut bulan Ramadhan adalah madrasah bagi kita, bulan wahana pendidikan?
Yang menjadi pembuka untuk memaparkan tema pendidikan adalah Cak Mif. Sesepuh pendidikan, sesepuh para guru, pilar pendidikan di desa Mentoro, yang sebelumnya tidak terlintas di benaknya untuk menekuni dan mengabdi di pendidikan. Cak Mif kuliah di jurusan farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan pada 1973 harus mengakhiri kuliahnya untuk mengelola pendidikan di desanya.
“Ilmu pendidikan saya nol, tidak ada sama sekali. Begitu menjadi guru di Mentoro langsung jadi Kepala Sekolah,” ungkap Cak Mif, mengenang awal kepulangan dan keterlibatannya di dunia pendidikan, meneruskan perjuangan Sang Ayah.
Berpuluh-puluh tahun melakoni tugas sebagai guru, Cak Mif memiliki beberapa catatan terkait potret aktual pendidikan Indonesia. Kurikulum yang sering berubah, rapor atau penilaian hasil belajar yang ambigu dan metode belajar yang belum sepenuhnya dikuasai guru, menyisakan setumpuk persoalan.
Pendidikan era kekinian ternyata tidak lebih baik bila dibandingkan dengan model pendidikan zaman Cak Mif sekolah. Komparasi ini terlihat dari jumlah mata pelajaran di sekolah. Menurut Cak Mif, anak sekolah zaman dahulu mempelajari tiga mata pelajaran: membaca, menulis, dan berhitung. Kenyataan yang cukup berbeda dengan siswa zaman sekarang. Siswa sekolah dasar tidak hanya harus menerima mata pelajaran yang banyak dan beragam sesuai “amanah” kurikulum, melainkan juga rinci, teoretis, dan abstrak.
Bagaimana dengan rapor siswa? “Zaman dahulu, siswa mendapat nilai 4 atau 5 di rapot itu biasa,” tutur Cak Mif. “Sekarang tidak ada nilai 4 atau 5 di rapor. Kita sering menjumpai siswa mendapat nilai 8 atau 9.” Apakah siswa zaman sekarang pinter-pinter? Belum tentu, karena kenyataan di balik angka 8 atau 9 tidak seindah yang ditampilkan. Kepentingan politik pendidikan Pemerintah Kabupaten ditengarai menjadi sebab manipulasi angka-angka di rapor. Keberhasilan pendidikan adalah ketika jumlah lulusan di sebuah kota kabupaten atau kotamadya mencapai seratus persen. Rata-rata perolehan nilai Ujian Akhir meningkat—syukur-syukur menempati peringkat atas di antara kota-kota lain.
Mengurai pengalaman tentang bagaimana metode belajar diterapkan, Cak Mif memendam keprihatinan yang dalam. Guru kerap keliru memahami pengertian “siswa aktif belajar”. Asal diberi tugas mengerjakan soal di Lembar Kerja Siswa (LKS), dipikirnya sudah menerapkan metode siswa aktif belajar. Dan guru pun boleh pasif atau nganggur. Yang tak kalah diprihatini Cak Mif adalah rendahnya kemampuan guru melatih logika siswa. Guru merasa cukup mengajar secara praktis—tanpa mendalami perbedaan 3X2 tidak sama dengan 2X3—yang hasilnya adalah siswa lihai berpikir instan.
Tiga puluh menit Cak Mif menyampaikan fakta sekaligus berbagi keprihatinan pendidikan kepada jamaah. Cukup mendasar dan aktual Cak Mif metani fakta pendidikan—problematika yang mungkin akan terus berulang dari waktu ke waktu. Sehingga ketika tiba giliran saya memotret realitas pendidikan, saya harus ngempet agar tidak menambah beban situasi gelap itu. Beberapa poin dari Cak Mif seperti miskinnya logika dan praktik formalisme pendidikan saya paparkan ulang sesuai versi pengalaman saya.
Kalau nuruti segala ketidakberesan pendidikan di negeri ini, pasti sangat banyak yang bisa kita utarakan. Tapi, kita tidak sedang menaburkan kegelapan. Apa yang disampaikan Cak Yus, Cak Mif, dan sedikit tambahan dari saya merupakan pijakan konteks-realitas untuk memotret wajah pendidikan di tengah situasi Indonesia yang nyaris tidak mempan disuntik oleh kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Hati saya pun lerem dan adem ketika bersamalaman dengan Mbah Nun usai pengajian. “Sing sabar. Yo ngunu iku ancene urip,” pesan Mbah Nun.
Workshop Menulis: Satu dalam Ikatan Cinta Maiyah
Saya mengedarkan padangan ke jamaah yang menyemut dan memadati area pengajian. Bulan benar-benar sedang purnama—purnama di langit dan di hati para jamaah. Kini, giliran Mas Rio menyampaikan hasil Workshop Penulisan Padhangmbulan. Applause hadirin diberikan kepada salah satu peserta workshop, Mas Afan Ebo, yang datang dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelum menuturkan testimoni, Mas Ebo terdiam sesaat. Ada yang bergulung-gulung di perasaannya. Haru. Bangga. Trenyuh. Suara Mas Ebo terbata-bata menahan isak tangis, menuturkan keindahan berjamaah di Padhambulan. Sejenak suasana menghening. Kata-kata tak diperlukan lagi. Tepuk tangan rasa syukur mengapresiasi testimoni Mas Ebo.
Jamaah tidak ada yang mingket dari posisi duduknya. Penjual kopi terus beredar. Mas Helmi Mustofa, Staff Progress dan Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib Yogyakarta, berkesempatan kembali menekankan wawasan kepenulisan. Dilambari oleh rasa syukur Mas Helmi menuturkan, Workshop Penulisan Padhangmbulan selama dua hari, yang awalnya digagas oleh Cak Nang, tidak semata-mata meniatkan diri untuk meniti jenjang karir sebagai penulis. Peserta workshop yang beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaannya dan datang dari berbagai kota menunjukkan satu ikatan yang nyata—ikatan cinta maiyah.
Ikatan cinta itulah yang menjadikan Workshop Penulisan Pandhangmbulan bukan sembarang workshop. Pijakan-pijakan untuk memulai menulis pun berbeda. Diungkapkan oleh Mas Helmi, kita bisa belajar dari Mbah Nun—yang dalam konteks penulisan—beliau adalah penulis yang luar biasa. Hingga hari ini Mbah Nun tidak berhenti menulis. Bahkan di bulan Ramadhan Mbah Nun terus mengalirkan tulisan-tulisan menemani makan sahur kita.
“Kita sangat dimanjakan oleh menu tulisan Beliau,” ujar Mas Helmi. “Sehingga kita harus meresponsnya dengan terus belajar, yang apabila dihubungkan dengan konteks pendidikan kekinian, workshop penulisan ini adalah melatih logika itu sendiri dan berlatih menemukan logikanya sesuatu atau hal-hal yang kita jumpai untuk kita tuliskan.”
Metode yang diterapkan pun berbeda. Pada umumnya workshop penulisan akan langsung njujug pada definisi bentuk-bentuk karya tulis. Tapi, tidak di Worskhop Padhangmbulan. Peserta menyimak tayangan video Mbah Nun pada acara Forum Umar Kayam di UGM dan Pidato Kebudayaan Mbah Nun pada 50 tahun Majalah Sastra Horison di TIM Jakarta. Pada acara Forum Umar Kayam itu, misalnya, Mbah Nun memprihatini dan mencemaskan betapa sangat liar proses konotasi yang menimpa sebuah kata. Tugas peserta workshop adalah menulis apa yang dilihat, didengar, dipikirkan, dan dirasakan setelah menyaksikan tayangan itu.
Pijakan menulis itulah yang sedang kita bangun—bukan terutama bagaimana menulis opini, cerpen, artikel atau sejumlah bentuk karya tulisan lainnya. Karena itu, Mas Helmi menekankan pentingnya kemampuan menangkap hal-hal yang baik—antitesis dari hegemoni jurnalisme bad news is good news. Di Maiyah kita mencari dan menemukan sesuatu yang baik. “Penulis di jamaah Maiyah memiliki ‘indera keenam’ untuk menangkap sesuatu yang baik di balik kenyataan atau peristiwa yang kebanyakan orang tak tahu nilai baiknya,” kata Mas Helmi. Termasuk menemukan kebaikan atas apa yang sedang kita lakukan saat ini untuk ber-tahaddust binni’mah, di tengah silang sengkarut keadaan, di saat orang justru sibuk mencari-cari kejelekan atas kebaikan sesuatu.
Maka, menurut Mas Helmi, menulis bukan hanya berurusan dengan konten. Penulis Maiyah harus bisa menghadirkan konteks untuk memberikan sentuhan arti dan makna. Mengapa hal ini disampaikan oleh Mas Helmi? Peserta workshop adalah jamaah Maiyah yang konten berpikirnya sudah Maiyah–banget. Kedalaman, keluasan, bobot berpikir mereka luar biasa. Benih Maiyah sedang tumbuh di kebun jiwa. Namun, kedahsyatan konten berpikir itu memerlukan kearifan dan kebijaksanaan, yang menurut saran Mas Helmi, perlu diimbangi dengan kesadaran konteks. Tulisan jangan terlalu dibebani ambisi konten berpikir.
Apa yang sesungguhnya diperlukan selain konten yang berbobot? Adalah rasa sebuah tulisan. Cak Yus sudah menyinggung soal rasa pada pembukaan acara Workshop Penulisan Padhangmbulan. Kini, mas Helmi kembali menekankan pentingnya rasa sebuah tulisan—mengingat banyak di antara kita sedang mengalami mati rasa—akibat tumpulnya logika dan kesadaran tanpa konteks.
“Jangan lupa, Mbah Nun adalah orang yang memiliki kepekaan rasa atau sensibilitas yang tinggi,” ungkap Mas Helmi. Beberapa persoalan terkait dengan sikap menghargai orang lain, solusi yang diambil adalah menerapkan kepekaan dan kelembutan rasa kepada orang lain. Kelembutan hati kepada orang lain inilah yang sedang hilang di masyarakat. Kalimat Mbah Nun seperti: “Wes to kabeh didungakke sing apik. Salah-salah setitik mbok dingapuro wae. Jangan pelit terhadap orang lain! Walaupun keadaannya belum ideal, ia memiliki kemungkinan diterima oleh Allah,” atau pesan Mbah Nun, “Sing sabar, yo ngunu iku ancene urip,” yang menenteramkan hati saya—merupakan ekspresi-solutif yang muncul berkat kepekaan rasa beliau.
Demikianlah, saya merasa malam itu Padhangmbulan memang tengah berada dan selalu berada di titik keseimbangan—seimbang di pertengahan tanggal lima belas, seimbang dalam sikap dan cara berpikir, seimbang antara pikiran dan perasaan, seimbang dalam ketepatan momentum ketika Mbah Nun hadir di hadapan jamaah berbarengan dengan lantunan Sidnan Nabi yang disenandungkan Mbak Yuli. (Achmad Saifullah Syahid)