Membubarkan Tawuran
Kalau disebut nama Geng seperti “Cobra”, “Murka”, “Kapak Maut”, “Ronggo”, “Tulani”, Anker”, “Pertapa”, “Bledex”, “Alcatraz” dan “Death” — itu bukan nama-nama fiktif yang dikarang untuk sebuah tulisan. Itu beneran. Kumpulan anak-anak muda dengan gejolak hati dan muatan otak tertentu yang mewujud pada aspirasi nama-nama itu. Yang ditulis di semacam papan-papan, ikat kepala, jaket atau kaos, serta ekspresi-ekspresi lainnya, di mana seluruh kostum yang mereka pakai bersesuaian dengan muatan-muatan itu.
Jumlah anggota semua Geng yang dihadapi oleh Mbah Sot di Stadion Titiwangsa Kuala Lumpur itu sekitar 350 orang. Mereka menguasai area pas depan panggung. Sesungguhnya mereka minoritas di tengah sekitar 8 ribu orang yang memenuhi bangku-bangku stadion. Mbah Sot sedang mengawal grup musik asuhannya pentas di stadion itu. Puluhan ribu pekerja dari tanah air di Negeri itu memiliki hubungan diam-diam yang aneh dengan Mbah Sot.
Pimpinan Geng-geng itu sebenarnya sudah berkumpul dan omong-omong dengan Mbah Sot. Menyepakati sejumlah hal. Tetapi pada hari-H, ternyata anak-anak buah mereka tetap tak bisa dikendalikan. Begitu musik berbunyi, 350-an anak-anak muda itu langsung “ndadi”, semacam in-trance, berjoget-joget dan berteriak-teriak hampir mengalahkan bunyi musik. Minimal mengacaukannya. Jenis musik apapun saja yang dibawakan — rock, dangdut, kasidah, jathilan, bahkan pun shalawat-shalawat yang halus dan pelan: tetap direspons oleh warga Geng-Geng itu dengan lonjakan, teriakan dan semacam suara amuk.
Pada nomer musik ketiga, muncul gesekan di antara mereka. Kemudian dengan tempo mendadak tinggi, berlangsung tawur. Semula seseorang dari satu Geng berbenturan dengan satu orang lain dari Geng lain. Berikutnya membengkak dan akhirnya menjadi tawur sungguhan yang semakin massal. Dan ternyata tidak sedikit di antara mereka yang membawa alat-alat keras, yang semula mereka sembunyikan di balik pakaian mereka. Pisau, tongkat besi, palu, kayu, rantai, bahkan kelewang dan bermacam senjata lagi.
Tatkala suasana semakin tak terkendali, tiba-tiba Mbah Markesot terjun dari panggung dan langsung membelah-belah area pertempuran. Semua anggota grup musik terjun juga mengikuti Mbah Sot. Mereka mencoba melerai. Tidak mudah sama sekali. Dan membutuhkan waktu cukup lama. Tetapi semua situasi sampyuh itu mendadak berakhir ketika terdengar satu teriakan yang sangat keras.
Suasana mendadak senyap. Ratusan anak-anak muda terpana, wajahnya menatap ke kiri kanan dengan sorot mata yang kosong dan misterius. Banyak di antara mereka yang menggeletak. Terluka atau kelelahan. Kemudian dengan gerakan tangan Mbah Sot menggiring mereka bergeser dari area depan panggung ke suatu ruangan. Satu persatu pelan-pelan mereka semua berjalan ke ruangan itu. Sementara Mbah Sot dengan kode juga meminta kepada grup musik itu untuk naik panggung, minta maaf kepada mayoritas hadirin, mengulang sapa kepada mereka kemudian memainkan kembali nomor-nomor musik, sebagaimana seharusnya.
Pakde Tarmihim mengisahkan itu dengan mimik muka yang jauh lebih serius dibanding sebelumnya. Ia menuturkan, teriakan keras dan menggema yang menghentikan tawur itu pasti bukan “shoihatan wahidatan” seperti yang dimaksudkan oleh Allah di firman-Nya. ”Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami”. [1] (Yasin: 53)
Tapi kemudian Tarmihim senyum sendiri dan nyeletuk: “Tapi ya nggak lah. Yang dimaksud Allah satu teriakan keras itu adalah hari kiamat. Mungkin itu suara terompet Malaikat Isrofil. Tetapi siapa tahu, mungkin di dalam sejarah manusia akan terjadi momentum teriakan zaman semacam itu, yang mengubah keadaan secara radikal”.
Sementara itu, di ruangan di mana para anggota Geng itu dikumpulkan, Mbah Sot pidato keras: “Kami datang ke sini ini untuk melakukan beberapa pertemuan untuk membenahi etika dan profesionalitas kerjasama ketenagakerjaan antara Negara kita dengan Negara tempat kalian bekerja. Tapi kalian melukai hati saya dan merusak segala sesuatu yang sedang diperbaiki. Kalian mempermalukan bangsa kita. Kalian juga durhaka kepada Tuhan karena tidak bersyukur bahwa kalian mendapatkan pekerjaan dan gaji yang sangat lumayan, di tengah semakin meningkatnya kesulitan berkerja di tanah air kalian. Kalian ini benar-benar anak-anak bangsa yang pekerjaan utamanya adalah menghancurkan diri sendiri”.
“Untung pasukan Polisi Malaysia bisa kita atur untuk tidak masuk ke dalam stadion, bahkan mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sebab kalau mereka sampai tahu, media massa dan media sosial Negara dan bangsa yang sombong kepada bangsa kita akan memviralkan apa yang kalian lakukan yang sangat memalukan tadi...”
Jakarta, 11 November 2017