Memberhalakan Tuhan
Toling bertanya dan mempersoalkan proporsi pemahaman tentang Tuhan dan Berhala. Selama ini yang dikenal hanya Tuhan dan Berhala hanya sebagai “kata benda”. Orang disuruh memilih Allah atau Latta dan Uzza atau berbagai berhala yang lain yang bervariasi-variasi di setiap zaman
Kalau memilih Allah, berarti bertauhid. Kalau memilih Berhala, berarti kafir atau musyrik. Yang mungkin tidak pernah dielaborasi adalah Tuhan dan Berhala dalam pengertian “kata kerja”: Menuhankan mestinya beda dengan memberhalakan. Meskipun orang memilih Allah, tetapi kalau penyikapan dan pola hubungannya adalah “memberhalakan”, tampaknya kurang memiliki presisi Tauhid.
Memberhalakan adalah memitoskan. Mitologisasi. Wilayahnya khayal dan imaginasi atau halusinasi. Sedangkan menuhankan adalah suatu pola hubungan yang riil, ada fakta intelektual, spiritual dan kulturalnya. Ada dialektika antara hamba dengan Allah. Ada tawar-menawar. Ada memberi dan menerima. Ada hubungan riil dengan kehidupan si hamba: sampai ke tingkat rezeki dan nasibnya.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala“. [1] (Al-Anfal: 31).
Individu-individu Kaum Muslimin tidak cukup membiasakan diri untuk berhubungan langsung dengan Allah. Jarak antara manusia Muslim dengan Allah diisi oleh kaum pintar, Ulama, Kiai, Ustadz. Kaum Muslimin berada pada “secondhand relationship” dengan Allah.
Ulama dan kaum pintar lainnya dianggap lebih dekat ke Allah, lebih mengenal Allah, lebih langsung berhubungan dengan Allah. Maka Ummat Islam rajin datang ke pengajian, untuk mendapatkan proses “makelar” kepada Tuhan. Akhirnya berlangsung feodalisasi, bahkan kapitalisasi Tuhan.