Membentak Roh
Jitul mungkin tidak sempat bertanya, karena ia lebih banyak memperhatikan dan memikirkan apa yang sebenarnya sedang berlangsung. Pakde Brakodin membawa pemuda itu masuk ke kamar belakang, sementara dua lelaki di beranda depan ditemui oleh Pakde Sundusin.
Anak-anak muda itu tidak berani dan tidak mencampuri urusan aneh itu. Mereka hanya diam-diam mengamati. Jitul memperhatikan lelaki pingsan yang diangkut masuk kamar belakang itu tampaknya sudah siuman. Pakde Brakodin bicara serius kepadanya, tetapi hanya terdengar alur suara saja, bukan kata. Kemudian Pakde Brakodin keluar kamar, menutup pintu, dan sebelumnya masih mengemukakan satu dua kalimat kepada si pemuda.
Aneh juga kenapa pemuda itu dimasukkan ke dalam kamar, kemudian malah pintu kamar itu ditutup dan Pakde Brakodin meninggalkannya keluar. Setelah cukup lama, Pakde Brakodin ke dapur, mengambil segelas air, sebentar kemudian masuk lagi ke dalam kamar. Entah apa yang dilakukan. Tapi tatkala kemudian pemuda itu keluar kamar dituntun oleh Pakde Brakodin, diantarkan ke depan menemui dua lelaki yang datang bersamanya, sepertinya itu semua akan segera berakhir.
Pakde Brakodin akhirnya bergabung kembali ke lingkaran anak-anak muda itu. “Kerasukan, Pakde?”, Toling memberanikan diri bertanya, “Roh gaib? Jin?”
Pakde Brakodin tertawa. “Roh apa. Roh dia sendiri yang mesinnya tidak seimbang, hatinya tidak utuh, pikirannya retak. Mbah Sot dulu sering didatangi tamu-tamu macam itu dan saya memperhatikan caranya menangani. Pemuda itu cuma saya bentak-bentak: Kamu jangan berlagak seram-seram. Tidak usah main teater di depan orang-orang tua. Tidak usah pura-pura gila. Saya hanya tiup tengkuknya sambil menirukan doa Rasulullah ‘Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘ala diniK…’”. [1] (HR. At-Tirmidzi).