Membayangkan Wajahnya
Iqra`. Aku, setitik debu, di antara tak terhingga jumlah debu yang menghampar di permukaan bumi. Maha Suci Ia dan amatlah kotor aku.
Aku tak sungguh-sungguh tahu diriku. Tak pula pernah benar-benar aku ketahui berapa kali Allah menciptakan manusia, dan aku ini jenis yang keberapa. Tak bisa kupastikan apakah ada sekian tahap kuantitas jasad dan kualitas ruh manusia. Apakah Adam adalah manusia pertama, ataukah manusia yang pertama disempurnakan sebagai manusia. Semacam finishing dari proses panjang evolusi dan revisi-revisi.
Apakah Allah tidak Maha Suci dan Maha Segala-galanya sehingga memerlukan revisi? Apakah Allah tidak Maha Suci dari kelemahan dan ketidaktahuan, sehingga tatkala mengambil keputusan untuk menciptakan Adam, para Malaikat menawarnya. “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” [1] (Al-Baqarah: 30)
Aku tidak akan memperdebatkan apakah kalimat Malaikat itu berdasarkan pengalamannya ataukah pengetahuannya tentang masa depan. Empirisme ataukah futurologi. Aku hanya setitik debu. Batas tindakanku hanyalah bersujud menyembah Allah, mencintai dan mengikuti jejak Muhammad kekasih-Nya. Aku hanya belajar Iqra`.
Tetapi karena aku tidak dihidupkan oleh Allah pada waktu yang aku bisa langsung menyapa Muhammad dan menyatakan cinta kepadanya, maka Al-Qur`an adalah perangkat utama untuk merasa bersentuhan dengannya. Setiap memandang Mushaf Qur`an aku membayangkan wajahnya. Setiap aku menatap dan membaca huruf-hurufnya aku berkhayal seakan-akan sedang mendengarkan suaranya.