CakNun.com

Membawa Maiyah ke Sekolah

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 4 menit

Semakin hari, semakin saya nikmati profesi baru saya sebagai tenaga pengajar. Syukur tak terkira senantiasa tercurah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat wasilah doa Ibu, Alhamdulillah saya diamanahi Tuhan untuk menjadi seorang guru. Menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar itu sungguh menyenangkan. Setiap hari selalu ada keceriaan dan kejutan yang dilakukan oleh anak-anak. Kadang juga bikin sebel, tapi tak jarang pula bikin ngguyu kepingkel-pingkel.

Berbagi pengalaman, pengetahuan dan ilmu dengan para murid itu sangat mengasyikkan. Dan tambah asyik lagi ketika ilmu Maiyah sedikit demi sedikit coba saya selipkan. Konsep sinau bareng yang diajarkan oleh Gurunda Emha Ainun Nadjib, perlahan-lahan saya terapkan dalam kegiatan belajar mengajar. Dipraktikkan secara empan papan dan sesuai dosisnya.

Bahwa yang belajar di Sekolah itu bukan muridnya saja, akan tetapi para guru pun mesti berendah hati mau belajar juga. Murid belajar kepada guru dan guru juga bisa belajar dari murid. Kepada guru, murid belajar tentang pengetahuan, ilmu-ilmu baru, wawasan, keterampilan, tanggung jawab, dll. Sedangkan guru bisa belajar dari murid tentang kejujuran, semangat, dan kedisiplinan. Jika konsep sinau bareng ini dapat istiqomah diterapkan di  lingkungan sekolah, maka Insya Allah akan pintar bareng-bareng. Muridnya pintar, gurunya juga pintar. Baik pandai secara akademik, moral dan juga bersosial. Sehingga akan tercipta keseimbangan.

***

Beberapa waktu lalu, ada kejadian agak tidak mengenakkan terjadi di sekolah tempat saya mengajar. Ibu Kepala Sekolah mengumumkan di grup WA (WhatsApp) bahwa akan ada Olimpiade Guru Nasional (OGN). Mata pelajaran yang di perlombakan adalah:Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Otomatis akan ada empat guru yang maju untuk mewakili sekolah. Perdebatan dimulai. Salah satu guru non PNS usul jika sebaiknya yang maju mewakili OGN adalah guru-guru yang sudah PNS. Kepala Sekolah menjelaskan jika yang boleh ikut maju lomba tidak harus yang PNS, guru WB (Wiyata Bakti) pun diperbolehkan. Guru yang PNS merasa dipojokkan, dan mereka menyampaikan; “Kenapa tho kok dikit-dikit PNS, apa-apa harus yang PNS. Kan posisi di sekolah itu kita sama dan sejajar. Mbok ya siapa saja yang mampu dan siap silakan mengusulkan diri. Tidak penting dia sudah PNS atau belum. Atau supaya adil, Kepala Sekolah saja yang menunjuk empat guru yang kompeten di bidang studi masing-masing untuk maju lomba. Dan siapa yang terpilih nanti wajib melaksanakan-nya.”

Salah seorang guru non PNS masih ngotot, tetap menghendaki guru yang PNS saja yang mewakili lomba dengan dalih supaya guru PNS yang ikut lomba nanti mendapatkan sertifikat yang berguna untuk PAK (Penghitungan Angka Kredit). Jika sertifikat didapat tentu akan memberi manfaat bagi pribadi, juga instansi. Ada benarnya juga apa yang disampaikan oleh guru non PNS tersebut. Namun alasan seperti itu agaknya ‘membebani’ guru yang berpredikat PNS.

Polemik di atas timbul seolah dikarenakan ada rasa iri dan cemburu. Maaf, seperti ada satu atau beberapa guru yang non PNS merasa cemburu terhadap guru yang PNS. Guru PNS kan digaji negara, banyak pula. Jadi biar mereka saja yang maju lomba. Anggapan seperti itu sah-sah saja namun tetap tidak etis. Tidak pada tempatnya. Persepsi sempit seperti itu mesti diubah. Yang belum PNS tidak perlu cemburu kepada yang sudah bertitel PNS. Wong rezeki wis ono sing ngatur. Tuhan telah sangat adil membagikan rezeki kepada hamba-Nya sesuai kebutuhannya.

Dari kejadian itu pula, saya mencoba memahami tampaknya ada mindset yangumumnya masih digunakan para guru. Bahwa menjadi guru itu seharusnya panggilan jiwa, bertugas untuk mencerdaskan anak bangsa. Maka jangan sampai profesi guru hanya sebagai ‘sarana’ untuk menjadi PNS semata. Memang kita semua tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji PNS saat ini sungguh fantastis. Gaji sebulan saja bisa mungkin bisa untuk beli sepeda motor. Belum tunjangan lain-lainnya. Kesejahteraan PNS zaman sekarang sangat terjamin. Dan semestinya semua itu tidak memengaruhi tugas guru sebagai tenaga pendidik agar tetap yang primer dan utama. Menjadi PNS itu sekadar bonusnya saja.

Sungguh disayangkan jikalau menjadi guru orientasinya hanya pengin jadi PNS semata. Pengin dapat gaji yang besar dan dapat tunjangan yang menggiurkan. Kalau profesi guru hanya sebagai sarana untuk mengeruk uang, mengejar golongan atau jabatan, rasanya malu luar biasa atas julukan: “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.

Guru tetaplah guru. Utuhlah menjadi guru, yang bisa digugu dan ditiru. Guru mesti memberikan pendidikan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) yang terbaik bagi siswa-siswi/santrinya. Mendidik dan mengajar secara lahir dan batin. Artinya dalam proses belajar-mengajar para guru harus senantiasa melibatkan Allah. Mengisi pikiran dan hati anak-anak dengan asma Allah. Guru hanya sebagai wasilah, dan Allah satu-satunya yang bisa mengajari mereka (siswa-siswi) tentang pengetahuan dan ilmu. ‘Allamal-insaana maa lam ya’lam. “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 5).

Rasanya percuma kalau anak pintar tapi akhlaknya keblinger. Musibah besar jika generasi penerus hanya dicekoki pengetahuan tanpa ilmu dan iman. Pengetahuan adalah segala hal yang masih bersifat informasi, ilmu adalah caranya mnegolah pengetahuan, dan iman sebagai pijakannya (pedoman). Pengetahuan seluas apapun, jika tanpa ilmu dan iman akan berujung sia-sia bahkan mungkin menimbulkan kerugian. Banyak orang pintar tapi karena tidak berilmu, tidak beriman, lantas banyak yang berbuat curang, makar hingga menjurus tindakan kriminal/pidana. Supaya pengetahuan berkembang menjadi ilmu, bermanfaat bagi kehidupan, maka dibutuhkan iman dan hidayah dari Allah SWT.

Bagi saya, sekali lagi bahwa tugas guru tidak sekadar mentransfer wawasan dan pengetahuan kepada anak-anak. Namun lebih dari itu. Guru mesti menjadi teladan, memberi contoh konkret dengan tindakan, bukan sebatas ucapan (akon-akon). Tidak akan menyuruh siswa shalat, kalau guru-nya tidak ikut shalat. Tidak mau memerintah siswa membersihkan kelas/halaman kalau si guru belum memegang sapu duluan. Teladan lebih berteriak lantang dibanding kata-kata. Dan tak lupa senantiasa membudayakan cium tangan (salim) antara guru dengan murid ketika datang dan pulang sekolah. Cium tangan merupakan salah satu wujud peristiwa cinta. Di mana guru harus menyayangi murid dan murid wajib menghormati guru.

Terakhir, mau PNS atau bukan, tugas utama guru tetaplah mendidik, mengajar, memberi teladan dengan ikhlas, cinta dan kasih sayang.

Lainnya

Fenomena Emha

Fenomena Emha

Ketika kondisi sosial  politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail.

Halim HD
Halim HD