CakNun.com

Membaca Jarak Pandang Goro-Goro

Siswo Adipati
Waktu baca ± 3 menit

Permasalahan setiap manusia pasti berbeda, ada kesamaan tapi kemungkinan besar kecil prosentasenya. Jika dalam menyikapi masalah mengalami jalan buntu dan mencapai titik klimaks, maka kebanyakan manusia menempuh dua alternatif solusi. Pertama, jalan jurus pendek frustasi dan berujung mengakhiri hidup di dunia dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama atau Harakiri dalam istilah lain.

Adapun jurus kedua, dalam menyikapi permasalahan dengan berikhtiar menempuh jalan sunyi guna mencari jalan yang menunjukan bagaimana cara mencapai jurus jalan sunyi yang solutif. Setiap manusia pasti memiliki jalan masing-masing dalam menempuh jalan sunyi, karena dalam diri manusia sudah tertanam cipratan cahaya suci dan murni dari yang maha suci dan murni. Oleh karena itu, manusia bisa berperilaku gravitatif terhadap sumbu langit dan bumi, Habluminallah dan Habluminannas.

Bermaiyah menurut jarak pandang saya merupakan salah satu jurus dalam menempuh jalan sunyi. Maiyah bukan perkumpulan atau apapun namanya yang selalu memikirkan untung rugi, kemewahan dunia, apalagi mencari kekuasaan. Bermaiyah tidak mencari apa-apa kecuali ikhtiar mencapai kesunyian hidup yang bermuara mencoba kembali ke jatining diri, atau menemukan sangkan paraning dumadi pada diri manusia.

Maiyah membuat metode bagaimana caranya membereskan permasalahan manusia dengan dekonstruksi pola pikir yang haqiqi, jujur, suci yang digali pada diri manusia. Permasalahan bukan hanya yang tampak dalam kehidupan seperti ekonomi, keluarga, atau apapun. Akan tetapi permasalahan yang pokok dalam diri manusia, yang menjadi akar permasalahan yaitu menyambungkan hati dan pikiran manusia dalam menjalani daur hidup. Sehingga selalu berperilaku gravitatif terhadap sumbu koordinat hidup secara konstan menuju kontinuitas hidup yang sejati.

Sambungan hati dan pikiran harus ada yang menjembatani, yang selalu menghubungkan, bahkan sampai menyatukan. Jangan sampai jadi manusia yang Waqudunnar, Asadunnar dan Kilabunnar yang dapat dibaca pada Daur II-030 – Struktur Kehinaan, menyebutkan:

…betapa dahsyatnya kerjasama antara ketiganya (Waqudunnar, Asadunnar dan Kilabunnar) itu menciptakan fitnah-fitnah besar di dunia, membangun kehancuran dengan kejahatan dan kebodohan……

…yakni manusia yang kufur terhadap Allah secara terang-terangan,tidak menutup-nutupinya, tidak bersikap munafik (Waqudunnar), yang pura-pura muslim padahal kepentinganya adalah dunia (Kilabunnar) fitnah-fitnah kekuasaan dunia disebar oleh (Asadunnar).

Ketiga golongan ini (Waqudunnar, Asadunnar, dan Kilabunnar) hanya mementingkan kemewahan dunia tanpa sadar akan sangkan paraning dirinya sendiri. Berebut kekuasaan demi melanggengkan kemakmuran semu, saling fitnah sesama manusia, perang nyata sampai perang siluman, memosisikan hati jadi pikiran, dan paling parah memosisikan dunia sebagai tujuan hidup. Seakan lupa bahwa ada perkataan “urip iku mung mampir ngombe” (hidup cuman ibarat lewat buat minum air). Padahal seperti pada Daur II-045 – Berebut Hiasan Dunia:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatanya (QS. Al-Kahfi: 7)

Puncak dari itu semua, manusia dengan segala kebodohan berpikir padahal dalam kemajuan zaman modern ini adalah secara terang-terangan memisahkan urusan manusia dan Tuhan. Tidak ada lagi mindsetManunggal Kawula lan Gusti” bahwa di dalam setiap kebutuhan manusia pasti ada keterlibatan Tuhan. Secanggih apapun ilmu pengetahuan tidak akan bisa memisahkan keterlibatan Tuhan terhadap segala yang ada di alam semesta termasuk urusan manusia yang sangat kecil ukurannya dibanding kebesaran dan kemurahan Tuhan.

Belajar membaca jarak pandang sangat diperlukan untuk menghadapi situasi yang berada di tengah-tengah keadaan Waqudunnar, Asadunnar, dan Kilabunnar. Terasa sulit jika membaca keadaan seperti saat ini, maka harus ada jurus jitu yang bisa melawannya, dan menurut saya dengan jalan sunyi bermaiyahlah yang harus ditempuh.

Berbicara membaca jarak pandang maka teringat segmen Goro-goro dalam pewayangan. Goro-goro yang dilakoni oleh Punakawan mengisi keriuhan perang saudara Bratayuda yang terjadi di Kurusetra. Goro-goro memberikan jarak pandang yang berbeda yang tidak terpusat pada gemerlapan dunia.

Jika dianalogikan pada keadaan sekarang, maka Goro-goro sangat dibutuhkan, yang mampu menjadi sesepuh, ajisepuh, sampai Panembahan. Pondasi kehidupan manusia harus dibangun dengan kebersamaan cinta menuju yang sejati agar terhindar dari golongan Waqudunnar, Asadunnar, dan Kilabunnar. Goro-goro sudah ada sekarang dan dengan segala kekuranganku aku menyebut Maiyahlah Goro-goro era sekarang.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Berjodoh dengan Maiyah

Berjodoh dengan Maiyah

Bismillahirrahmanirrahim, Maiyah merupakan sebuah cairan bukan padatan. Pernyataan ini yang menyapa dalam diri saya ketika pertama kali berMaiyah sekitar dua tahun lalu.

Siswo Adipati
Siswo Adipati