Membaca Amsal, Merefleksikan Perjalanan Maiyahan di Kenduri Cinta
Langit Jakarta tampak mendung sejak sore hari. Para penggiat Kenduri Cinta bersiap mempersiapkan pelaksanaan “Hari Raya” Maiyah di Jakarta. Setiap minggu kedua, Taman Ismail Marzuki selalu dipadati oleh Jamaah Maiyah yang datang dari Jakarta dan sekitarnya, bahkan tidak jarang pula yang datang dari luar Jabodetabek.
Setelah pembacaan Yasin dan Wirid Ta’ziz-Tadzlil serta Wabal, Kenduri Cinta semalam memulai diskusi sesi Prolog yang seperti bisanya digunakan untuk sesi workshop bersama jamaah. Pancingan-pancingan awal, melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar; apa tujuan datang ke Kenduri Cinta, apa efeknya Maiyah bagi kehidupan sehari-hari, pernahkah mensimulasikan jika bulan depan Kenduri Cinta sudah tidak ada? Pertanyaan-pertanyaan terebut diuraikan untuk memantik respons Jamaah.
Suasana diskusi yang terbangun sejak awal sudah sangat hidup, respons-respons Jamaah pun sangat beragam. Dan sangat murni mereka kemukakan. Kenduri Cinta benar-benar dirasakan sebagai Oase di tanah gersang Ibu Kota ini. “Jika Maiyah tiba-tiba sudah tidak ada, saya yakin akan ada bentukan-bentukan Maiyah yang baru. Karena Maiyah ini ada atas kehendak Allah!”, itulah salah satu respons yang muncul.
Ada pula yang menganggap bahwa Kenduri Cinta ini seperti Pom Bensin. Pertemuan sebulan sekali di Taman Ismail Marzuki adalah media Pom Bensin itu dalam perjalanan hidup. Ada juga yang merasa bahwa Kenduri Cinta dalah candu, karena sekali saja datang ke Kenduri Cinta, pasti akan merasa ketagihan.
Maiyah itu; nandur, poso, sedekah. Nandur, kita juga harus mengenal apa yang kita tandur. Poso, kita juga harus memiliki niatan yang akurat untuk apa kita berpuasa. Sedekah pun demikian, ada presisi yang tepat yang harus kita tentukan, kenapa kita harus bersedekah, untuk apa kita bersedekah?
Jamaah juga diajak untuk kembali mengelaborasi; Apakah kita ini dititipkan Maiyah dan Indonesia? Lantas, apakah dengan Maiyah ini orang-orang di luar Maiyah menerima nilai-nilai yang ditawarkan oleh Maiyah? Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut dilontarkan dalam rangka agar Jamaah tidak merasa ge-er dengan Maiyah yang mereka terlibat di dalamnya, dengan berbagai skala yang beragam ini.
Seperti biasanya, Kenduri Cinta terformat agar ada jeda di perpindahan sesi diskusi. Beberapa grup akustik membawakan nomor-nomor lagu untuk sekadar menyegarkan suasana.
Amsal-amsal di Kenduri Cinta dan Maiyahan yang berlangsung di berbagai tempat ini sangat banyak; durasi yang berlangsung selama 6-8 jam, belum lagi Maiyahan ini sudah berlangsung lebih dari 17 tahun di Kenduri Cinta. Di Jombang bahkan Padhangmbulan sudah melewati 23 tahun perjalanannya. Semua berjalan istiqomah, tanpa sponsor, tanpa pendanaan yang tetap, digiati oleh anak-anak muda yang tanpa pamrih, dan Jamaah pun turut serta berkontribusi. Sehingga sangat nyata terlihat bagaimana Organisme Maiyah berlangsung. Terlihat secara otomatis terlaksana, tetapi pada dasarnya Maiyahan ini juga dipersiapkan dengan baik segala sesuatunya.
Lewat tengah malam, Mbah Nun bergabung di panggung Kenduri Cinta bersama Pakde Mus dari Lampung. “Allah itu tidak malu menggunakan perumpamaan (amsal) walupun dengan seekor semut (An Naml)”. Mbah Nun memberikan pijakan awal agar Jamaah mampu mendaftari “keajaiban-keajaiban” yang dialami di Maiyah. Misalkan, selain durasi yang lama, keamanan terjamin. Mbah Nun menggarisbawahi bahwa yang terus-menerus kita latih di Maiyah adalah keseimbangan. Sehingga, yang kita alami dan temui di Maiyah pada hakikatnya bukan soal ilmu, wawasan atau informasi yang baru.
Sangat mungkin bahwa apa yang kita alami di Maiyah ini adalah hal-hal yang juga kita temui di luar Maiyah, hanya saja yang kita terus biasakan adalah berpikir seimbang. Dalam keseimbangan berpikir, kita akan merasakan presisi yang tepat dalam menyikapi problematika hidup yang kita alami.
“Hidup kita ini kan sangat dinamis”, Mbah Nun menyampaikan bahwa hidup itu berjalan tidak linier. Apa yang kita rasakan di Maiyah ini adalah bukti nyata bahwa hidup itu sangat dinamis. Dengan dinamisnya hidup ini kita sikapi, di situlah arena kita untuk melatih diri untuk terus seimbang. (FA)