Membaca Amsal
Sejak kecil saya ini orang yang tidak jelas. Sering bertengkar dengan teman-teman. Gara-gara telinga saya ini agak kopoken, sehingga kurang terang mendengarkan. Jadinya sampai tua saya terlalu sering menyusahkan orang.
Menjadi sangat parah kalau saya ketemu teman sesama kopoken. Dia menegur: “He, kamu pribumi ya?”. Tentu saja saya marah. “Jangan ngawur kamu. Saya ini asli pribumi!”. Dia naik juga nadanya, “Lho, semua orang bilang kamu pribumi kok”. Untuk menghindari konflik saya tinggalkan dia sambil menggerundal: “Dasar tukang fitnah… Jelas-jelas saya pribumi gini kok”
Tidak hanya telinga, daya tangkap otak saya juga kopoken. Ada sahabat biasanya rajin jamaah di Masjid, Subuh itu absen. Nabi Muhammad bertanya, ternyata orang itu meninggal. Nabi segera ke kuburannya dan melakukan shalat. Saya berkesimpulan, “O, shalat di kuburan itu halal”.
Orang bilang sinar, saya memahaminya tergantung maunya status saya pagi itu. Terkadang saya artikan lampu, bolam, genset, PLN, matahari, Nur Muhammad, bahkan Orkes Melayu Sinar Kumala A Kadir Perak Surabaya. “Allah tidak malu mengambil perumpamaan dengan menyebut nyamuk atau yang lebih kecil”. O, ternyata Allah peternak serangga.
Sampai hari ini saya riset belum selesai untuk memastikan fakta materiil sejarah apakah Nabi Adam punya pusar, berapa tinggi badan Nabi Khidlir, serta berapa jumlah tahi lalat di seluruh tubuh Bung Karno. Sebelum menuturkan tentang amsal (amtsal), Tuhan kasih idiom “menyala meskipun tidak disulut” (yakadu zaituha yudli’u walau lam tamsashu nar). Saya selalu GR maknanya adalah akan ada kejadian besar sejarah meskipun manusia tidak merancangnya, atau di luar hitungan mereka.
Ternyata yang saya alami adalah saya menyalakan korek, tiba-tiba kursi yang diduduki tetangga mendadak panas. Sejak itu saya daftar korek api sebagai bagian dari kaum intoleran.
Kadipiro, 19 Oktober 2017