CakNun.com

Memasadepankan Masa Silam

Liputan Singkat Seminar di Pendopo Prangwedanan Puro Mangkunegaran Surakarta, 29 September 2017
Redaksi
Waktu baca ± 3 menit

Dalam rangka Hajatan Dalem Pahargyan Tingalan Wiyosan Jumenengan ke-30 Sri Paduka Mangkunagoro IX, diselenggarakan Sinau Bareng dan Seminar pada hari ini Jumat 29 September 2017. Sinau Bareng diselenggarakan malam ini, sedangkan seminar siang tadi. Seminar bersama Mbah Nun ini bertema “Memasadepankan Masa Silam”.

Foto: Adin.

Tema ini sebenarnya sama dengan Sinau Bareng malam ini. Bedanya, seminar siang tadi dirancang untuk mendiskusikan secara lebih terfokus, reflektif, dan lebih mendalam ihwal kondisi yang dihadapi Keraton di era sekarang ini. Seminar dilangsungkan di Pendopo Prangwedanan Puro Mangkunegaran Surakarta. Untuk catatan, bangunan Pendopo Prangwedan Puro Mangkunegaran ini dulu merupakan tempat cikal bakal lahirnya pergerakan Boedi Oetama.

Kegelisahan atau pemikiran yang melatarbelakangi diskusi ini adalah selama ini Keraton hanya dipandang sebagai peninggalan cagar budaya secara fisik dan bukan nilai atau norma. Dalam konteks yang lebih kompleks, situasi itu menghasilkan problem diskontinuitas dan ketidaktepatan Indonesia dalam menempatkan Keraton dalam garis panjang pergerakan sejarah Indonesia.

Itu sebabnya, pada kesempatan seminar ini Mbah Nun diminta mengemukakan pandangannya sekaligus solusi terhadap persoalan “Keraton” di masa kini. Mbah Nun menyampaikan, apa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah kesalahan cara berpikir manusianya. Sehingga tidak pernah ditemukan konsep kesadaran Keraton. “Sebab keraton adalah pusaka yang letaknya di kesadaran manusianya.”

Sebuah analogi diberikan. Pusaka itu mirip dengan “ganteng atau ayu”. Ia tidak bisa dilihat karena letaknya di kesadaran. Yang terlihat itu bentuk fisik wajah. “Kalau kita tidak punya perspektif yang tepat terhadap masa lalu, kita tidak akan pernah memiliki jangkauan ke masa depan,” imbuh Cak Nun ketika mengelaborasi tema seminar berjudul jelas pesannya ini.

Peserta datang dari berbagai kalangan. Mulai dari keluarga Keraton Mangkunegaran sendiri, seniman, akademisi, budayawan, hingga media massa. Peserta yang tidak mendapat tempat duduk karena datang tanpa undangan diminta menempati kursi yang masih kosong. Mereka ingin mengikuti acara ini dengan sepenuh concern.

Foto: Adin

Kepada mereka Cak Nun menegaskan bahwa yang harus dimasadepankan adalah pemahaman kita terhadap masa lalu. Pendek kata, cara berpikirlah yang perlu dibenahi. Dari situ ditarik garis ke pemahaman bahwa kalau Indonesia kuat, Indonesia tidak akan mengalahkan siapa-siapa. Kalau Indonesia menemukan kesadaran “Keraton” di dalam dirinya, semua akan dipangku diasuh oleh bangsa Indonesia.

Seminar berlangsung cukup interaktif dan terlihat antusiasme mereka. Beberapa penanya bahkan menanyakan hal yang berada di luar tema seminar ini. Sesudah merespons beberapa pertanyaan itu, Mbah Nun tetap mengembalikan pada inti gagasan: Cara Berpikir dan posisi Keraton dalam pemerintahan Indonesia (yang tidak jelas mana pemerintah mana negara).

Mbah Nun sendiri berharap bahwa syukur bila seminar ini bisa membawa kita kepada keadaan di mana masa depan memiliki ‘patrap’ sejarah. Khasanah ilmu hidup dari Keraton banyak yang perlu dipahami kembali. Dari soal posisi pemberdayaan perempuan dalam budaya Jawa, relasi lanang-wedok yang tak sepenuhnya dipahami oleh konsep gender dalam ilmu sosial modern, kedalaman bahasa Jawa, hingga ketajaman dalam membaca hati manusia.

“Kalau keraton dihilangkan, kita kehilangan detail bangsa ini. Salah satunya detail bahasa. Bahasa Jawa misalnya,” ujar Mbah Nun. Ada yang bertanya tentang situasi saat ini, Mbah Nun menjawab bahwa yang bikin rusak dunia adalah: Maniak Identitas. Dampaknya, bangsa kita ini sekarang tidak punya kemampuan membaca hati. Hanya kemampuan membaca yang tampak saja. Bukan yang ada di baliknya.

Hadir dalam seminar ini adalah Pak Permadi SH dan networker kebudayaan Halim HD yang merupakan sahabat-sahabat yang telah lama tak bersua. Mbah Nun menyambut kehadiran mereka dengan gembira. Di akhir seminar, beliau berpelukan dengan Pak Permadi.

Acara seminar berakhir, dan malam ini bersama masyarakat dan audiens yang lebih luas, pesan-pesan Memasadepankan Masa Silam akan digaungkan kembali bersama KiaiKanjeng dan para narasumber lainnya. (dwk/hm)

Lainnya

Exit mobile version