CakNun.com

Meludahi Wajah

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Pemuda belia Ali bin Abi Thalib, berduel meladeni tantangan Amr bin Abd Wad AlAmiri, mewakili Pasukan masing-masing.

Pasukan apa? Jangan. Ini kisah tentang zaman di mana suatu bangsa bisa berperang besar di antara mereka karena mempertengkarkan satu kata. Misalnya: pribumi, radikal, kafir, makar, khilafah, dan lain-lain.

Cukup beberapa episode pertarungan kecanggihan bermain pedang, Amr tergeletak, ujung pedang Ali menyentuh lehernya, tinggal menancapkannya untuk membunuhnya dan membuat seluruh pasukannya menang.

Tiba-tiba dari posisi telentangnya Amr meludah ke wajah Ali, mengenai sebelah pipinya. Termangu beberapa saat, kemudian Ali menarik pedangnya, menyarungkannya. Tidak menggunakan kesempatan dan haknya untuk menusukkan pedangnya ke leher Amr.

Betapa terkejutnya semua yang menyaksikan, kedua pasukan maupun terutama Amr sendiri. Tatkala ditanya kenapa mengambil keputusan itu, Ali menjawab: “Aku terhina dan marah diludahi olehnya. Kutarik pedangku, karena aku kawatir membunuhnya karena amarah dan kebencian”.

Bukankah itu perang, sehingga Ali berhak membunuhnya untuk memenangkan Pasukannya, dengan kebencian atau alasan apapun? Jangan. Ini kisah tentang zaman di mana suatu bangsa kehilangan pengetahuan dan keseimbangan untuk mengerti proporsi antara kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan dan kemuliaan.

Ini berbeda dengan kisah lain dari zaman antah berantah, ketika Anis (bukan Ali) bin Abi Thalib, dalam posisi ujung pedangnya menempel di leher lawannya, tetapi malah ia yang meludahi wajah lawannya yang telentang itu.

Sebenarnya ini soal momentum, yang menseyogyakan ketepatan ucapan atau tindakan. Kalau substansinya, mungkin ia punya sejarah pengalaman dan tumpukan pemikiran yang membuatnya layak bahkan merasa harus meludahi wajah lawannya. Hanya saja karena ia adalah pimpinan semua pasukan, mestinya dipertimbangkan kemungkinan lain formula tindakan dan pilihan ucapan yang lebih santun, bijaksana dan mengurangi wilayah pertengkaran.

Sesungguhnya Allah menciptakan wajah sebagai ekspresi keindahan dan harga diri kemanusiaan. Dan ludah sebagai alat untuk menikmati alam dan kehidupan. Tetapi ini adalah kisah tentang zaman di mana sebuah bangsa tak habis-habisnya bertengkar di antara mereka, karena semakin kehilangan kemampuan dan ilmu untuk merawat wajah dan menjaga lidah mereka.

Zaman di mana sebuah bangsa menjadi seakan kehilangan pengetahuan tentang bagaimana tidak merusak wajahnya, serta kehilangan kepekaan untuk meletakkan ludah pada ketepatan ruang dan waktunya.

Kadipiro, 18 Oktober 2017

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik