Meikarta Kehendak Siapa
Kalau Engkau ditanya bagaimana mengetahui mana yang kehendak Tuhan dan mana yang kehendak manusia, atau apakah sesuatu ini kehendak Tuhan atau kehendak manusia, kira-kira seperti apa jawabanmu. Apakah Engkau akan menjawabnya dengan disiplin ilmu teologi atau ilmu kalam? Sebab mungkin saja pertanyaan itu lahir dari latar belakang yang bukan teologis sama sekali tekanannya, melainkan kegelisahan-kegelisahan lain. Adakah Engkau punya pendekatan berbeda terhadap pertanyaan itu?
Tidakkah Engkau membayangkan bahwa pertanyaan itu dapat juga diterapkan pada hal-hal di depan mata kita. Misalnya ketika Engkau makan. Siapa punya kehendak saat itu? Atau yang lebih gamblang lagi ke pembangunan yang sedang berlangsung. Misalnya, proyek Meikarta. Engkau dapat mengajukan pertanyaan yang sama. Sehingga jika didetail, pertanyaannya adalah Meikarta itu sebenarnya merupakan kehendak akal, kehendak hati, atau kehendak nafsu pada diri perancang atau pembangunnya.
Begitulah salah satu contoh berpikir dilatihkan oleh Mbah Nun kepada para jamaah Gambang Syafaat. Sesudah malam sebelumnya ada di Grobogan, Rabu Malam (25/10/17) Mbah Nun hadir menyambangi Gambang Syafaat yang rutin berlangsung di Komplek Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang.
Kurang lebih pukul 23.30, Mbah Nun dipersilakan untuk berada di tengah-tengah jamaah bersama narasumber lainnya (masak narasumber sih, wong kan formulanya ya ngobrol bersama. Ada istilah yang pas?). Tidak dengan paparan langsung, Mbah Nun lebih memilih memulai uraiannya justru dari pertanyaan-pertanyaan teman-teman jamaah. Mbah Nun akan merespons dan nanti akan mendistribusikannya. Ini adalah cara agar apa yang didiskusikan benar-benar relevan dengan apa yang dipikirkan para jamaah. Mereka pun, yang sebenarnya gembira sekali dengan kehadiran Mbah Nun, langsung memanfaatkan kesempatan ini.
Pertanyaan pertama yang muncul itu tadi tentang kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Mbah Nun tak ingin membiarkan anak-anak itu terperangkap dalam stagnasi. Tak boleh mereka berhenti pada pertanyaan saja, atau berhenti pada jawaban yang sudah ada dan standar. Atau apalagi jika jawabannya belum ada. Pertanyaan itu harus dimanfaatkan untuk banyak arah, termasuk coba diterapkan pada realitas yang dekat di sekitar kita. Itulah sebabnya, dari pertanyaan yang seakan (selama ini) teologis, mereka jadi tahu bahwa itu juga pertanyaan sosial politik. Pertanyaan yang bisa sangat kontekstual.
Tak hanya itu, pertanyaan itu juga perlu dipakai untuk melihat ke dalam. Merefleksi ke Gambang Syafaat sendiri. Dengan pertanyaan yang sama, apa yang bisa mereka rasakan terhadap berbagai muatan dan fenomena di dalam Gambang Syafaat. Misalnya, keistiqamahan konco-konco Gambang Syafaat berkumpul diskusi setiap bulan selama 18 tahun. Perhatikan pula ketahanan jamaah menelan atau menyerap tema apa saja, termasuk menikmati musiknya. Belum lagi kesungguhannya dalam berpikir. Juga kemurnian kegembiraan dan kenikmataan berkebersamaan di dalamnya. Siapa berkehendak atas semua itu?
Mbah Nun sendiri sejak awal menyapa teman-teman jamaah yang duduk lesehan memenuhi pelataran Masjid Baiturrahman ini mengungkapkan kegembiraannya karena GS dirasakan oleh Beliau ‘Wis Dadi’. Mbah Nun merasakan grafik meningkat dari atau dalam perjalanan Gambang Syafaat saat ini. Terakhir Beliau hadir di sini adalah sebelum bulan Ramadhan lalu.
Lebih jauh kemudian, Mbah Nun mengajak anak-cucunya itu untuk meneruskan proses belajar dan berpikir tadi. Di antaranya dengan mengkaji secara komparatif antara diri mereka (Maiyah) dengan Indonesia. Perspektif ini diambil agar mereka terlatih mengetahui koordinat dirinya di Indonesia maupun koordinat Indonesia di dalam hati dan pikiran mereka, termasuk apakah ada relasi sedemikian rupa (timbal-balik) antara mereka dengan Indonesia. Mereka dipacu untuk titis dalam memproyeksi. Mbah Nun memberi contoh perspektif untuk menemukan misalnya output Indonesia membangun infrastruktur, sedangkan Maiyah adalah membangun manusia. Demikianlah, malam ini mereka diajak untuk mengasah diri untuk terus cerdas memiliki tak hanya kepekaan rasa tetapi juga socio-political perspectives. (hm/jm)