Mbah Nun Bersama Narapidana Narkotika
Setelah semalam menyaksikan pentas Mencari Buah Simalakama di Taman Budaya Yogyakarta, hari ini tadi Mbah Nun sudah berada di Jakarta, karena malam ini Beliau memenuhi undangan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI dalam acara Peringatan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-53.
Mengapa Mbah Nun diundang? Karena beliau adalah “orang tua”. Dirjen Pemasyarakatan sangat menekankan kepada sekretariat Progress bahwa sebagai orang tua Mbah Nun adalah energi, dan sangat penting untuk hadir di acara ini. Mbah Nun harus ada di antara dan di depan para narapidana narkotika Lapas yang malam ini membawakan Sendratari “Merangkai Asa” agar mereka mendapatkan energi, atmosfer, dan bimbingan dari Mbah Nun dalam menatap masa depan.
Sendratari “Merangkai Asa” ini luar biasa justru karena diselenggarakan oleh Lapas dan dimainkan oleh para narapidana, sementara kualitasnya tak kalah dengan pementasan kolasal kesenian yang diselenggarakan oleh IKJ, TIM atau lembaga pusat-pusat kesenian lainnya. Mbah Nun menyebutnya sudah sekelas festival film internasional.
Tema cerita yang inspiring dan motivasional, panggung yang besar, lighting yang indah dan warna warni, latar belakang visual yang canggih, dilibatkannya berbagai alat dan peranti, serta yang paling utama adalah pemain-pemain yang menjalankan berbagai peran dan tugas, mulai dari sinden, penari, penabuh bedug, musisi, pembawa bendera dan umbul-umbul yang hadir sesuai bagian dan segmennya, adalah gambaran kualitas dan kelas sendratari mereka. Mereka semua tampil tak ubahnya seniman-seniman asli yang total.
Para narapidana bermain dalam sendratari ini berasal dari Lapas Cipinang Narkotika, Lapas Pondok Bambu, Lapas Semarang, Lapas Wanita Tangerang, Rutan Bandung, Lapas Binjai, dan lain-lainnya. Dengan kelas Sendratari yang demikian kolosal itu ternyata mereka menjalani persiapan hanya dua minggu, dan tetap tampil memukau.
Tak salah kiranya Dirjen Pemasyarakatan mengundang Mbah Nun yang sedari awal acara disebut-sebut sebagai tamu spesial. Sesungguhnya pun dengan seperti yang terlihat melalui kesungguhan mereka menampilkan Sendratari ini, mereka juga sangat spesial di dalam hati Mbah Nun terutama berkaitan dengan gagasan akan masa depan yang Mbah Nun bayangkan tentang Indonesia. Usai pementasan itu, Mbah Nun diminta maju ke depan untuk menyampaikan respons dan apresiasi. Para pemain itu semuanya tetap berada di panggung dan menyimak apresiasi, pujian, dan guratan hati yang dirasakan Mbah Nun. Mereka berdiri atau duduk di belakang Mbah Nun, dan secara dialogis Mbah Nun menoleh ke belakang berkomunikasi dan menebarkan energi untuk mereka.