Mati Menganiaya Diri
“Saya serius tentang pembicaraan kita yang tidak pernah tuntas. Dialog kita ini kabur kanginan. Diterbangkan oleh naluri dan selera ke angkasa yang tak menentu”, Ndusin mengulangi protesnya, “Pakde kalian Brakodin belum selesai bicara soal Presiden, pindah ke tenaga kerja di luar negeri. Padahal dua bulan terakhir ini, sampai hari ini, Mbah kalian Markesot terus menerus dikejar untuk ditemui ini itu”
Semua seperti sepakat untuk membiarkan Sundusin mengomel. Biarkan ia Iqra` semaunya. “Negara sedang rusak oleh kelakuan pengurusnya sendiri. Mereka terjebak di dalam jebakan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka terjerumus ke dalam ranjau yang mereka gali sendiri. Kaki mereka terserimpet oleh tali-tali yang mereka rajut sendiri. Mereka kebingungan oleh pukat ambisi mereka sendiri….Salah-salah kita semua ini akan menjadi orang yang oleh para Malaikat dibiarkan mati dalam keadaan menganiaya diri.…”. [1] (An-Nisa: 97).
Tapi Brakodin ternyata memotongnya. “Sin, sabarlah. Kita semua kebingungan. Bahkan Cak Sot juga semakin kebingungan, ditabrak oleh buangan masalah-masalah. Tetapi jangan kita rayakan kebingungan ini di depan anak-anak kita yang pasti lebih kebingungan lagi….”
“Lha Sampeyan lompat-lompat”, Ndusin membantah, “belum selesai cerita tentang Menteri-Menteri, Presiden dan para penggede merapat, yang sebenarnya masih panjang ceritanya sampai hari ini. Lantas pindah ke TKI. Belum selesai TKI, belum dijaringkan dengan pahlawan-pahlawan kita yang bekerja di sejumlah Negara lain, yang sangat berbeda-beda karakter dan pengalamannya. Apalagi dengan pelajar dan mahasiswa kita di sana-sini, dan itu sebuah pemandangan keIndonesiaan yang tidak kalah mengasyikkan. Lantas pembicaraan melebar ke pamer ayat-ayat.…”.