Mata Uang Zaman Yang Lain
Para Pakde Paklik sudah mendengarkan dengan serius dan seksama berturut-turut pengemukaan Junit, Jitul, Toling, dan Seger. Dengan penasaran, kegembiraan, tapi juga kegelisahan. Berbagai perasaan berkecamuk campur aduk di dalam perasaan mereka.
Pakde Brakodin, yang tertua di antara mereka, memulai menanggapi. “Anak-anakku semua”, katanya, dengan suara yang sangat dipelankan, “Betapa bahagianya kami orang-orang tua mendengar dan menyaksikan keindahan ungkapan-ungkapan kalian. Akan tetapi kami memohon kesepakatan, bolehlah seluruhnya itu cukup menjadi muatan silaturahmi di antara kita saja. Di luar rumah ini, masyarakat sudah menjalani hidup baik-baik, sehingga tidak perlu diganggu oleh pikiran-pikiran kita. Biarlah masyarakat hidup tenang dengan pikiran mereka sendiri, dengan cara pandang mereka sendiri…”
Pakde Tarmihim tertawa lirih, agak mengubah suasana.
“Sebenarnya menurut saya ini bukan soal masyarakat, tapi soal kita”, katanya, “Kita ini mungkin hidup di zaman yang salah. Mungkin terlambat dilahirkan, meskipun mungkin juga terlalu cepat…”
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”. [1] (Al-Kahfi: 19). Mata uang kita ini tidak laku di luar sana. Jenis dan wilayah pikiran kita tidak memiliki persesuaian dengan alam kesadaran di luar sana…”
Pakde Brakodin menyahut. “Maksudku juga bukan tentang masyarakat, melainkan tentang kita. Kita ini bukan siapa-siapa. Kita orang kecil yang tak punya kekuatan apa-apa. Kita jangan membahayakan diri kita di luar sana”.