CakNun.com
Daur 2167

Mata Kuliah Keghaiban

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 1 menit

“Berarti sekarang kita masuk ke kelas mata kuliah keghaiban”, Toling berbinar-binar, “dosennya Proesor Doktor Tarmihim bihijarotin min sijjil...”

Pakde Tarmihim tersenyum. “Aslinya saya misuh ini, cuma tidak saya keluarkan lewat mulut. Kan tidak mungkin misuh di depan Surah Al-Fiil…”

Toling tertawa. “Lha ya nama kok Tarmihim. Mengerikan. Soalnya yang dilemparkan adalah tanah panas atau batu yang menyala. Sehingga yang terkena lemparan itu menjadi seperti daun-daun yang dimakan ulat. [1] (Al-Fiil: 4-5). Horor itu. Sangat menggambarkan nasib kita semua…”

“Kok nasib kita semua?”, Jitul bertanya.

“Lha semua yang terjadi selama ini, kekuasaan politik, dominasi ekonomi kelas atas, kekacauan budaya, silang sengkarut isi pikiran dan panasnya hati masyarakat – itu semua apa kalau bukan tarmihim bihijarotin min sijjil. Dan kita ini tergolong ka’ashfin ma`kul”, Toling menjelaskan.

“Ini jadi kuliah keghaiban apa tidak?”, Seger memotong.

Pakde Tarmihim juga langsung membawa pembicaraan ke “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, supaya mereka mempergunakan besi itu dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. [2] (Al-Hadid: 25).

“Mana ghaibnnya di ayat itu, Pakde?”, Junit bertanya.

“Justru saya ambil yang paling berseberangan dengan keghaiban, yakni besi. Allah berfirman tentang besi, seolah-olah itu benda sederhana dan elementer…”.

Lainnya

Pancasila

Tulisan ini merupakan refleksi Cak Nun di akhir 1970-an yang kemudian diterbitkan dalam buku “Indonesia Bagian Sangat Penting Dari Desa Saya” oleh penerbit Jatayu tahun 1983.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik