Masuk Barisan: Koreksi Para Makmum Pengatur Imam
Ini adalah bagian yang kira-kira menjadi tujuan semua pemimpin. Yaitu tentang keseluruhan tata cara mengorganisir pasukan, ummat Islam, aparatur sipil negara, atau mungkin saja masyarakat adat. Keberadaan yang dipimpin terpadu antara satu dengan yang lainnya. Dari tingkatan pemerintah terbawah, dari lurah hingga presiden, pimpinan lembaga tinggi negara semisal aparat penegak hukum.
Pembelajaran yang bisa kita petik secara utuh, dari perjalanan penataan barisan ummat Islam pada masa setelah hijrah adalah kesiapan untuk membangun ulang setelah terkhianati oleh kesepakatan-kesepakatan. Terjebak oleh siasat kaum munafiqin era Madinah. Pencederaan kesepakatan terjadi berulang kali dan terus-menerus. Perjanjian dengan tema utama, berbentuk kesepakatan damai, saling menjaga otoritas masing-masing suku dan pemeluk agama, hingga kepastian keamanan melakukan perdagangan.
Pengikut suku Quraish saling mengkhianati pemimpinnya. Bani Yahudi saling berkhianat satu dengan lainnya. Bahkan kesepakatan suku Quraish dengan suku Yahudi non muslim juga sedemikian buruknya, pun saling melihat keuntungan di masing-masing pihak. Tidak ada nilai bangunan kepercayaan, selain dasar kepentingan kekuasaan dan materi. Tentu berbeda dengan visi dan agenda Rasulullah yang selalu bertujuan untuk menciptakan perdamaian dalam keadilan untuk semua kalangan. Seringkali terjadi pengkhianatan oleh kaum Quraish dan Yahudi atas kesepakatan dalam perjanjian.
Bangsa Indonesia yang berada pada waktu yang berbeda, seharusnya melakukan refleksi atas segala kejadian di Madinah. Namun kita tidak harus masuk pada peta konflik suku dan agamanya. Karena kita tidak sedang berbicara sub bagian tema kontra demokrasi, tentang persoalan Sara.
Pembahasan yang terpenting bisa tentang hal menata barisan, memasrahkan kepercayaan untuk bermakmum dan patuh pada pemimpin yang kita percaya. Refleksi ini sekiranya untuk mengukur, atau mungkin mendekati, apakah ummat Islam di Indonesia benar-benar ingin atau minimal siap bertempur dalam waktu dekat.
Simulasinya, bisa berpedoman pada satu dekade era Rasulullah, yang memusatkan dakwah dan pusat pemerintahannya di Madinah. Di mana telah terjadi kurang lebih dua puluh tujuh kali peperangan. Belum terhitung misi yang didelegasikan kepada para sahabatnya. Perang tersebut terjadi bisa setiap minggu hingga hitungan bulan, dalam beberapa tahun.
Di negeri kita sekarang, bisa diilustrasikan, ternyata tingkat sensitifitas perbedaan suku dan status sosial, sudah tidak mencekam seperti menjelang berhentinya Presiden Soeharto. Artinya situasi negara dan rakyat yang memanas, hanya kegaduhan saja untuk menguji tingkat emosi dan kondisi sentimen negatif masyarakat. Toh belum memunculkan insiden atau tragedi apapun, hingga saat ini. Selain perang mulut dan statmen.
Barisan Tidak Rapi, Penyanggah Komando
Pada saat ummat Islam menunjukkan kesolidan dalam skandal Surat Al-Maidah, berbondong-bondong asumsi orang digiring pada pikiran, bahwa tersangka penodaan agama secara otomatis akan kalah. Pada pokok prasangka positifnya, dikira Tuhan menyatakan ini adalah tata cara mengalahkan si tersangka. Asumsi ini mirip dengan—Tuhan melawan si Tersangka—menurunkan takaran kemampuan Tuhan. Mulai dari tahap ini, akal sehat manusia mulai keluar jalurnya. Bahkan Iblis atau Malaikat saja bukan lawannya.
Akal manusia sebaiknya diajak untuk berpikir yang utuh dan menyeluruh. Semisal dengan membuka opsi, bisa saja ada skenario lebih panjang, yang tentu membuat ummat Islam, khususnya ahli strategi konflik, semakin penasaran. Kesiapan yang lain, misalkan, dengan keadaan ummat Islam yang sudah terlihat solid, pun haqqul yaqin dengan persatuan ummat Islam yang berjuta-juta tersebut, terlihat sejuk dan membuka harapan besar, nyatanya tetap kalah dalam pemilihan gubernur yang memasuki babak lebih serius ke depan.
Adalah jika sudah tiba waktunya, secara totalitas, bangsa Indonesia dipimpin oleh kaum minoritas, jika memang terjadi perang jangka panjang. Sudah siapkah kondisi ummat Islam, kelompok atau ormas-ormas yang ada di dalamnya? Sudahkah mulai dilakukan pembahasan tentang garis komando, siapa pimpinan tertingginya?
Kekhawatiran yang terjadi bisa saja berwujud ummat Islam justru masih kocar-kacir. Bahkan memposisikan sibuk mengawasi imamnya, para ulama, dan umaro`nya. Ketersediaan media sosial yang merajalela, membuka ruang yang sangat bebas bagi rakyat untuk memberikan kritikan dan mengatur-atur, hingga menyuruh-perintahkan Imamnya.
Individu ormas, saling serang ormas yang lain. Bisa dilatarbelakangi sentimen dan fanatisme. Kaum Nahdliyyin karena dasar rasa cinta dan ketawadlu’an kepada ulama, merasa tersinggung dengan FPI. Bisa karena ulamanya harus dihujat di pengadilan sebagai pembohong, baru memutuskan untuk bangkit.
Seperti terjadinya perbedaan pandangan tentang siapa yang paling layak disebut pembela NKRI atau yang paling terdepan disebut Mujahidin. Masyarakat awam dan yang boleh menyebut ummat Islam kapan saja bisa melakukan serangan kalimat pada imamnya atau imam ormas lainnya. Seperti para pembela imam GNPF atau saat ini di FUI. Di barisan ormas pendukung pemerintah, tentu tetap mengambil peran di tengah-tengah.
Terkadang pro ummat Islam oposisi, terkadang menempatkan posisinya di samping pemerintah yang berkuasa. Tentu akan berakibat tidak mengenakkan hati, dilihat dari sudut pandang mereka yang berorasi di jalanan yang dianggap ummat Islam penyeimbang kekuasaan (oposisi).
Keadaan lain, mungkin barisan yang tidak terorganisir, yang sifatnya individu bisa menulis dan berkomentar apapun. Semisal sosok panutannya mengajak untuk puasa kekuasaan—kondisi saat ini bisa terjadi—justru ummat akan sibuk melancarkan protes bahkan mengkonfrontir untuk apa puasa kekuasaan.
Ada juga bagian ummat Islam yang justru memberikan nasehat, anjuran bahkan segala amarahnya pada Imam yang dianutnya supaya diam saja tidak usah ikut campur urusan di negeri ini. Tidak perlu menjadi apa-apa, tidak perlu memiliki harta dan kedudukan baik di negara bahkan institusi swasta manapun. Di sisi yang lain, individu ummat Islam meminta untuk tetap memperjuangkan hak-haknya, menemani masyarakat hingga menyelesaikan kesulitan baik ekonomi hingga masalah di dalam rumahnya.
Dilarang memiliki sapi, ayam hingga materi apapun, tetapi harus tetap berjuang bersama mereka. Pada pokoknya harus ikut dan nurut maunya individu Ummat Islam. Kondisi ummat Islam yang cekak cara berpikir inilah, yang mempersulit perjuangan dan memperkeruh situasi. Di saat kondisi negeri yang silang sengkarut, bukannya ummat yang sifatnya individu ini bermakmum dan belajar berbaris yang rapi, justru imammnya yang dikoreksi habis-habisan tanpa sisa. Persoalan ini yang banyak terjadi di segala elemen ormas dan komunitas besar lainnya.
Berbaris di Kondisi Semakin Sulit Menuju 2050
Jika kita menyepakati tentang krisis energi fosil, kepungan negara persemakmuran Inggris yang mengelilingi Indonesia. Ledakan penduduk Tiongkok dan bahaya krisis makanan. Kemudian bahaya perubahan iklim. Dan persoalan energi alternatif serta penguasaan makanan dunia tergantung pada wilayah tropis. Kita harus siap bahwa kondisi negara kita tidak akan lebih baik dari tahun ke tahun. Maka beban yang cukup tinggi akan diterima oleh generasi usia produktif di usia antara 25-40 saat ini, atau lebih dikenal generasi millenial. Pada tahun 2012, terdapat lonjakan masyarakat ekonomi menengah sejumlah 90 juta jiwa. Didominasi oleh kaum muda, dengan indikator konsumsi barang mewah dan properti.
Namun, jangan terlalu percaya diri bahwa generasi ini akan selamat atau memiliki skala optimis yang di atas rata-rata. Pekerjaan rumah yang sangat banyak, besar, dan rumit terhampar di depan mata. Dalam hitungan menit atau hari, pola pikir kita dapat berubah bahkan berbalik arah saling lawan dan memusuhi. Ilustrasi yang sederhana, berbicara 2024 saja, kita masih belepotan siapa yang pantas memimpin barisan.
Ke mana kaum Nahdliyin atau Muhammadiyin menentukan arah kadernya. Kemudian apakah partai politik akan menjadi media yang bisa diharapkan membela kepentingan ummat Islam dan rakyat di masa yang akan datang. Di tempat lain, jika diijinkan untuk berbicara terbuka, bagaimana peran TNI ke depan, Kejaksaan dan Kepolisian bahkan KPK. Di mana saat ini semakin tidak jelas arah dan peran strategisnya. Semua saling membelakangi sambil menata kuda-kuda karena rasa curiga dan beda tuan. Penegak hukum semakin menampakkan perannya sebagai alat kekuasaan pemerintah yang berkuasa, bukan alat negara yang seharusnya.
Peran generasi penentu 2024 hingga 2034 tentu sangat ditunggu. Barisan yang memiliki energi baru dan kekuatan yang belum teridentifikasi. Mereka sedang belajar dari sejarah runtutan kebangkitan Eropa, Amerika, dan Tiongkok. Apakah enam abad proses kebangkitan Eropa menjadi faktor pembelajaran generasi ini. Bisa juga tiga abad demokarasi yang diajarkan Amerika, dikoreksi baik dan buruknya. Mungkin juga proses kebangkitan ekonomi Tiongkok di zaman Deng Xiaoping menjadi alasan bahwa bangsa kita perlu berbenah dari kondisi sulit saat ini. Sehingga mampu memutuskan bersatu padu membuat negeri ini, tidak jadi bahan tertawaan bangsa lain di dunia, terlepas persoalan Trump effect, Uni Eropa, dan konflik Timur Tengah. Sehingga energi untuk nyinyir terhadap Imam, Ulama dan Umaro`nya bisa disalurkan pada pandangan positif bahwa banyak yang tidak diketahui oleh individu tersebut. Sehingga sangat penting untuk berpikir tentang barisan mana yang akan diikuti.
Penataan ulang peran dan fungsi barisan yang dikisahkan pada zaman Rasulullah dalam setiap peperangan yang pernah terjadi adalah refleksi. Sekaligus adalah koreksi bagi ummat Islam di Indonesia. Budaya individu ummat Islam yang buruk, memberikan gambaran bahwa ada harapan menghadapi situasi dan kondisi sulit saat ini. Syaratnya adalah mulai mengkoreksi diri dan mulai memupuk kepercayaan pada pemimpin ummat Islam yang tentu sudah dipahami dan diketahui, dalam tindakan pemimpin tersebut selalu membela keadilan dan kemakmuran ummat Islam.
Selalu menemani kesulitan individu ummat Islam dan rakyat. Seperti yang selalu dilakukan oleh Rasulullah di dalam melakukan dakwah di mana tetap menjalankan kegiatan ekonominya, menjalankan keberimbangan aktifitas kemanusiaan dan ketauhidan. Tetap mengorganisir kekuatan ketentaraan selain membangun segi watak dan mentalitas manusia. Menjalankan fungsi sosial di samping kebutuhan individu dan keluarga. Belajar masuk ke dalam barisan dan mengikuti garis perjuangan merupakan inti dari persoalan Ummat Islam yang saat ini terjadi, sangat serius untuk segera kita koreksi.