Masih di Depan ‘CERMIN’
Bapak menyebutnya kupluk. Saat itu kosakata songkok, peci, surban, belum masuk ke telinga saya. Paling kopyah. Itu pun jarang. Laki-laki di tivi itu mengenakan kupluk warna hitam. Memakai kemeja lengan panjang yang dilipat sampai ke siku. Ada jam tangan melekat di salah satu tangannya. Mode pengambilan gambar lebih banyak ke medium shot. Atau istilah fotografinya ‘setengah badan’. Dengan pembawaan yang tenang, rileks, seolah-olah para penonton diajak juga untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat itu. Tak ada host dalam acara tersebut. Karena begitu acara dimulai laki-laki tersebut seperti menjadi host sekaligus pengisi acara. Karena memang hanya ada beliau seorang.
Saya yang masih kecil bertanya lugu, “Kok orang gondrong bisa masuk Indosiar?”
Sejak awal kemunculannya, Indosiar sudah menyita perhatian orang-orang di kota kecil seperti kami. Setiap ada tivi swasta baru muncul, kami berlomba-lomba mencari frekuensi yang tepat. Terkadang harus rela naik ke atas genteng. Karena, di kota kecil seperti Pati, antena UHF harus dipasang setinggi mungkin. Entah itu menggunakan bambu atau pipa besi agar tidak mudah goyah jika diterpa angin. Itu pun harus tepat arahnya. Tidak boleh sembarangan menghadap. Dan tidak semua orang memiliki kemampuan secara teknis untuk menemukan frekuensi yang dimaksud. Tidak semua orang mengerti cara pengoperasian tivi berwarna. Ada tombol-tombol tertentu yang disembunyikan atau ditutupi. Mungkin supaya tidak banyak terlihat benjolan di tivi.
“Eh tivimu wes nyaut Indosiar durung? Felem e apik-apik. Tiviku Indosiar wes nyaut. Bening.”
Kalimat-kalimat seperti ini kerap muncul seiring kemunculan stasiun tivi swasta yang baru diluncurkan.
Salah seorang yang ahli dalam ‘menemukan’ channel tivi swasta yang baru adalah Om saya yang kebetulan bekerja di Departemen Penerangan. Sebuah departemen milik pemerintah yang bertugas memberikan penerangan kepada masyarakat. Kok tidak PLN saja ya? Kan penerangan?
Om saya ahli dalam urusan elektronika. Beliau biasa bertugas mengoperasikan Layar Tancap. Bioskop keliling. Memanfaatkan tanah yang luas. Supaya cukup menampung banyak penonton. Cukup dengan menggelar tikar sambil ‘ngemil’ kacang rebus.
Om saya seperti menjadi primadona di lingkungan kami. Anak-anak kecil selalu bertanya kapan ada Layar Tancap. Dan para tetangga banyak yang meminta jasanya untuk membetulkan tivi berwarna mereka agar mendapatkan channel Indosiar. Indosiar begitu digemari karena selain ikon ikan terbangnya, kualitas gambar yang dihasilkan bening dan suaranya cukup jernih untuk tivi ukuran awal tahun 90an. Tidak banyak semut. Ora kemresek. Begitu dulu kami mengistilahkan untuk gambar yang noise.
Saya sering menonton laki-laki gondrong di Indosiar itu. Saya tonton sambil tiduran, rebahan di pangkuan ibu. Bagi saya itu posisi ternyaman dalam hidup ini. Tentu saja sambil kepala ini dielus-elus ibu. Terkadang karena saking rileksnya saya hampir tertidur. Mungkin usapan ibu mengandung gelombang elektromagnetik tertentu. Posisi paling manja di dunia. Posisi mana lagi yang paling nikmat bagi seorang anak kecil selain posisi itu?
Seingat saya, laki-laki gondrong itu tidak pernah menyampaikan sesuatu dengan berteriak-teriak. Karena memang konsep acaranya bukan talk show dengan berjubel penonton di studio. Penontonnya adalah ‘para pemirsa di rumah’. Saya lupa-lupa ingat, acara tersebut memakai musik latar atau tidak. Mungkin tidak. Terutama ketika beliau mulai berbicara. Yang ada hanya suara laki-laki itu. Musik muncul sebagai pembuka dan penutup acara.
Iya. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, nama acara itu ‘CERMIN’. Pengisi acaranya adalah Cak Nun. Yang menurut saya cukup aneh, kenapa ada acara seperti itu di tengah derasnya kelahiran tayangan sinema elektronik atau yang orang lebih kenal dengan istilah sinetron? Apa yang ada di benak pemilik stasiun Indosiar untuk membuat acara berdurasi pendek seperti itu? Saya kira memang tidak banyak yang menggemari acara itu. Setahu saya keluarga-keluarga di Pati lebih hafal dan familiar dengan sinetron Tersanjung daripada acara ‘CERMIN’. Wajar jika orang banyak yang lupa dengan acara itu.
Tersanjung boleh dikatakan sebagai sinetron pemecah rekor dari episodenya sampai seribu lebih. ‘CERMIN’? Dari pemilihan jam tayang ‘CERMIN’ tidak menempati posisi prime time. Sedangkan sinetron yang mendaulat Lulu Tobing sebagai aktris utamanya itu tayang di jam sehabis Isya’. Jelas itu prime time di tahun 90an. Selain hari Minggu pagi.
Bukan karena ingat Tersanjung lantas saya ingat ‘CERMIN’. Tapi karena ‘CERMIN’ saya jadi membawa-bawa Tersanjung. Sinetron yang dipenuhi dengan adegan bermimpi. Sinetron yang kalau ibu sudah menontonnya channelnya tak boleh diganti-ganti. Sinetron yang setiap mau bersambung selalu menyuguhkan adegan yang membuat ibu saya penasaran dan berteriak-teriak ke arah tivi,
“Awas! Awas! Iku lho! Awas! Mburimu mburimu! Awas! Ndelik! Ndelik!”
“Hih kowe! Khandani kon ndelik emoh! Konangan kowe! Aduh.”
Bukan karena ingat Indosiar baru saya ingat ‘CERMIN’. Karena tak bisa lupa terhadap ‘CERMIN’, maka saya ingat sepak terjang stasiun tivi yang menayangkan serial kartun Jepang, Sailormoon.
“Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!”
Setiap melihat Cak Nun, mendengar suara beliau, atau melihat beliau dari kejauhan ketika ada forum, membaca buku atau tulisan-tulisan opini beliau di koran, ingatan saya langsung terbang melayang ke tahun 90an. Di mana saya memilih channel nomer 3 untuk menikmati tayangan ‘CERMIN’ bersama keluarga sambil rebahan di pangkuan ibu saya. Saya ingat masa-masa penuh kebahagian itu. Meski untuk dapat merasakannya harus rela ‘naik gêndèng’, memasang ‘antena’ beserta booster-nya setinggi mungkin dengan pipa pipa besi, mengaitkannya dengan kawat, memastikan arah yang tepat, dan jangan sekali-kali goyah arah hadapnya. Antena saya harus tenang sekuat apapun angin menerjang.
Kalau ada petir, tak apa sesekali tivi harus mati. Karena itu juga untuk keselamatan keluarga kami. Katanya, antena rentan tersambar petir. Tapi apa lantas antenanya dilepas? Tidak. Cukup matikan tivimu untuk beberapa waktu saja. Antena tetap pada tempatnya. Antena tidak berubah posisinya. Ketika hujan reda dan petir tak ada, tivi kembali menyala. Kalau ada gambarnya kemresek, kami bersusah payah lagi membenahi posisi antena itu sampai mendapatkan gambar dan suara yang nyaman untuk indera.
Memang, sekali goyah, gambar akan dipenuhi semut. Kemresek. Suara yang dihasilkan tak lagi jernih. Distorsi di mana-mana. Informasi yang saya dapatkan tidak akan pernah sampai menjadi ilmu. Karena sepotong-sepotong. Karena sepenggal-sepenggal. Karena menjadi tidak jelas apa yang disampaikan. Lalu kepada siapa saya akan mencari pencerahan? Kepada siapa saya akan mencari penerangan? Sedangkan departemen Penerangan sudah ditutup.
Untuk itu, antena ini harus kuat. Harus tepat ke mana menghadap. Harus. Karena sampai saat ini saya merasa masih di depan ‘CERMIN’. Saya selalu menonton ‘CERMIN’. Meski terpaut jarak puluhan tahun, tak bisa saya lupa begitu saja. Dan alangkah bahagianya jika tetap seperti itu. Menerima sesuatu yang sangat ‘jernih’ dan ‘bening’ dari ‘CERMIN’.
Sampai kapan? Kalau kata Letto, ‘Sampai Nanti, Sampai Mati’.
Listriknya.