CakNun.com
Sinau Bareng Membangun Manusia Indonesia di Eropa

Mari Bung Bangun Kembali

Bagian 8 dari 8
Aditya Wijaya
Waktu baca ± 3 menit

26 Desember 2016. Pukul 15.12 Waktu setempat, kami tiba di kota Hannover. Ada 9 orang dalam mobil van Mercedes Benz yang bergantian dikendarai oleh mas Syafii dan mas Zaenal. Kami langsung menuju restoran Turki dan memesan makanan porsi besar untuk kami bersembilan. Sempat, 1,5 jam sebelum memasuki kota Hannover, kami beristirahat di rest area untuk sekedar minum kopi dan teh. Ditemani dingin Jerman yang lebih menusuk daripada Belanda, Cak Nun mengungkapkan keinginannya untuk bisa mengendarai mobil di ruas jalan tol Jerman dan merasakan memacu kendaraan hingga 200 km/jam.

Jalanan sore itu memang mengasyikan. Tak banyak kendaraan, lebar lajur yang memadai, dan kondisi jalan yang mulus adalah kombinasi yang tepat buat kebut-kebutan. Kebut-kebutan selalu dimaknai negatif di keumuman masyarakat Indonesia. Tapi konstruksi berpikir masyarakat Jawa menyediakan ruang relativitas dari makna kebut-kebutan. Empan papan. Dalam konstruksi berpikir masyarakat Jawa, aktivitas yang sama bisa bernilai berbeda. Tergantung dari situasi dan kondisi. Dari dimensi time and place-nya, kebut-kebutan di jalan tol Jerman justru dianjurkan, demi menjaga keselamatan berkendara. Dengan ruas lajur yang lebar, mesin mobil yang memadai, dan jalanan yang lenggang menjadikan kebut-kebutan menjadi semi wajib. Berbeda dengan kondisi jalan tanah air yang terkadang situasi dan kondisinya tidak memungkinkan untuk kebut-kebutan. Kebut-kebutan juga komoditi dagang dan olahraga yang luar biasa marak. Cobalah tengok F1 dan motoGP, mereka semua memperjualkan kebut-kebutan.

Sinau bareng Cak Nun di Hannover.
Sinau bareng Cak Nun di Hannover.

Konstruksi Empan Papan adalah menemukan apa yang benar, dan bukan siapa yang benar. Dan tentu kebenaran akan menjadi relatif terhadap waktu dan kondisi yang menyertai suatu kejadian tersebut. Konsep ini yang ditawarkan Cak Nun kepada hadirin di sinau bareng Cak Nun di Hannover. Konsep untuk mencari apa yang benar. Satu jam Cak Nun membangun landasan berpikir kepada para hadirin yang mayoritas adalah akademisi dari berbagai kota.

Hingga saat sesi istirahat pertama, Cak Nun didatangi seorang Ibu yang mengaku sebagai wartawan sebuah majalah dan surat kabar nasional di Indonesia. Ibu tanpa basa-basi menanyakan kepada Cak Nun tentang keberpihakan Cak Nun pada aksi bela Islam 212. Mungkin karena perjalanan yang panjang dan menjadikan Ibu ini cukup lelah sehingga kurang menangkap maksud Cak Nun dalam sesi pertama, Cak Nun kembali menegaskan kepada ibu wartawan tadi bahwa yang ada di sini adalah konstruksi mencari apa yang benar dan bukan siapa yang benar. Sehingga Cak Nun bukan berada dalam posisi kubu yang mana, akan tetapi sebagai posisi penjaga gravitasi keseimbangan berpikir.

Cak Nun mengurai, ketika kita berbicara FPI, tidak pernah mendalam dan lengkap datanya tentang siapa sebenarnya FPI, siapa sebenarnya Habib Rizieq. Di sisi lain, polisi juga kurang mendapat informasi tentang peta yang terjadi selama 212. Dan tanpa pernah diketahui media, Cak Nun mengusulkan kepada dua belah pihak untuk memindahkan aksi dari jalan Thamrin-Soedirman ke Monumen Nasional. Pertimbangan tersebut dipilih untuk memberikan kemaslahatan bagi kedua pihak.

Akan tetapi ide apa yang benar dan bukan siapa yang benar kurang menarik bagi sebagian wartawan kita dan kurang sexy bagi headline sebuah surat kabar. Judul-judul yang bombastis lebih sering menjual daripada ketepatan analisa dalam melihat sebuah kejadian. Mirisnya lagi apabila media hanya sebagai tempat untuk menggiring masyarakat kepada sebuah opini tertentu.

Kepada awak media, Cak Nun menghimbau agar bisa bekerja sama meredam isu dan potensi masalah yang mungkin terjadi di Indonesia. Agar bisa bersikap adil dalam melakukan pemberitaan. Dalam pandangan saya, jika kita rela membayar mahal para juri di ajang pencarian bakat agar bisa menilai para penyanyi untuk adil menempatkan nada sesuai partiturnya, maka mungkin dirasa lebih perlu dan mendesak jika dibentuk dewan juri pers nasional yang menilai ketepatan analisa dan keadilan pemberitaan.

Andaikan masyarakat Indonesia secara massal dibuat mendadak tercerahkan oleh Tuhan sehingga bisa menimbang secara adil informasi yang masuk, maka dewan seperti yang saya usulkan menjadi tidak penting lagi. Harusnya wartawan bisa melakukan jihad dengan pena-pena mereka. Memberitakan keadilan dan adil memberitakan. Sama-sama gugur gunung membangun dan menjaga keutuhan negara. Kepada para wartawan Indonesia, dengan meminjam bait lagu halo-halo Bandung: Mari bung bangun (Indonesia) kembali!

Hannover, 1 Januari 2017

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta