CakNun.com

Manusia dan Alam, Bagaikan Anak dan Ibu

Agus Sukoco
Waktu baca ± 4 menit

Budaya Jawa lahir dari intensitas pergaulan manusia dengan alam. Mbah-mbah kita adalah pemilik kecerdasan tingkat tinggi dalam soal memahami watak alam. Watak alam inilah yang oleh orang modern disebut sebagai sistem alam atau hukum alam. Istilah watak memiliki titik tekanan makna yang lebih hidup dan dinamis. Kata watak atau sifat lebih mencerminkan gambaran kecenderungan makhluk yang hidup. Bahkan lebih dari sekadar hidup, penggunaan kata watak dalam mengaitkan dengan alam, seolah alam adalah manusia.

Memang demikian adanya. Orang Jawa itu memperlakukan, mengganggap dan memposisikan alam seperti sosok manusia. Interaksi manusia dengan alam menjadi sedemikian beradab. Alam diletakan sebagai ‘sahabat’. Bahkan dalam bentuk-bentuk ritual orang Jawa yang merupakan cara mereka ‘berdialog’ dengan alam, leluhur kita seperti memosisikan alam sebagai pihak yang sangat dihormati. Sedekah bumi, larungan, dan sekian banyak upacara adat lainnya tampak begitu hormatnya manusia Jawa kepada alam. Alam diletakkan di kandungan batin manusia sebagai representasi kehadiran Tuhan. Padahal para pelaku ritual tersebut sama-sekali tidak sedang menuhankan sungai, gunung, laut, bumi dan unsur alam lainnya. Alam sekadar menjadi ‘wasilah’ yang menyambungkan hasrat rohaniah manusia kepada pusat kesejatian hidup, yaitu Tuhan.

Orang Jawa mencerdasi kehidupan dengan cara membangun hubungan baik dengan alam. Ini jelas sebuah sikap yang sangat ilmiah dan rasional. Manusia sesungguhnya sangat tergantung kepada faktor alam. Leluhur Jawa paham betul soal ini. Paradigma orang Jawa tentang alam adalah sebuah capaian proses transformasi tertentu dalam menjalani spiritualitas. Leluhur Jawa telah mengerti bahwa ‘hakekat’ manusia itu rohani. Jasad hanyalah alat untuk menjalani tugas di dunia yang sementara (urip iku kur mampir ngombe). Kesadaran rohani inilah yang membuat seluruh perspektif orang Jawa dalam melihat segala sesuatu tidak berhenti pada sebatas fisik. Sungai, gunung, laut, bumi dan segala unsur alam ‘dipersaksikan’ oleh leluhur sebagai wujud rohani. Dalam perspektif semacam ini, apa saja akan tampak sebagai sesuatu yang hidup. Untuk menyebut tanaman Padi saja, leluhur kita menamainya dengan sebutan Dewi Sri. Seperti sesosok wanita yang cantik dan baik. Inilah bentuk penghormatan manusia Jawa kepada Padi yang telah ditugasi Tuhan untuk menghidupi mereka.

Ketika alam dipersonifikasikan sebagai sosok yang hidup, maka akan terbangun semacam hubungan batin yang kuat diantara mereka. Dari sini kemungkinan dialog dilangsungkan. Dialog dan persambungan secara ‘rasa’ antara manusia jawa dengan alam kemudian menghasilkan falsafah yang menjadi dasar tata nilai social yang  mengatur perilaku hidup mereka. Modal ‘roso’ begitu dikembangkan dalam diri manusia jawa. ‘Roso’ merupakan perangkat khusus manusia yang hanya akan aktif ketika spiritualitas manusia terasah. Sebuah alat komunikasi di luar system nilai panca indera.

Perilaku manusia Jawa dalam mengerjakan kebudayaan dan menjalani sejarah selalu sejalan dengan watak alam. Manusia tidak akan bersikap tidak sopan kepada alam. Alam benar-benar hadir di hadapan orang Jawa sebagai sosok yang sangat berjasa dan terhormat seperti Ibu. Ada jalinan hati antara alam dan manusia sebagaimana anak dan ibunya. Maka untuk menjaga nilai keharmonisan tersebut, lahirlah tradisi ritual dalam berbagai bentuk. Intensitas dan kekhyusukan orang jawa tersebut membuat mereka mengerti ‘isi hati ‘ alam, seperti anak mengerti perasaan ibunya. Kesuburan tanah, hasil panen dan apa saja yang merupakan jenis keberuntungan, disikapi sebagai bentuk pemberian dan kebaikan hati seorang Ibu. Cara pandang seperti ini akan membuat mereka mengerti bagaimana membalas kebaikan tersebut. Itulah hakekat makna yang terkandung dalam upacara-upacara adat Jawa.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah menenangkan Gunung Uhud yang sedang marah pasca perang uhud. Nabi menyuruh Uhud untuk tenang dan jangan marah pada saat beliau sedang terluka dan berdarah. Dan Uhud pun mereda kemarahannya sehingga mengurungkan niatnya untuk menimpa perkampungan orang-orang yang telah menyakiti Sang Nabi. Perspektif materialisme akan menolak eksistensi rohani. Maka, hari ini, jangankan menyambung hubungan batin dengan alam, antara manusia dengan manusia saja sudah kehilangan hubungan batin. Sehingga tidak akan memiliki peluang saling berdialog, yang terjadi hanyalah debat dan saling menyalahkan. Sifat rohani itu non local, segenap alam raya itu saling terhubung dan ‘nyawiji’. Sementara watak materi adalah terikat oleh sistem nilai ruang dan waktu.

Diam-diam ilmu pengetahuan barat hari ini mulai ‘sampai’ pada jenis ketercerahan yang membuka tabir ‘mistisisme’ timur, bahwa air, tanaman, dan benda-benda di sekitar kita merespons setiap atensi dari manusia. Tanaman yang kita beri perhatian dengan intensif dan penuh cinta, akan memiliki akselerasi pertumbuhan yang berbeda dengan ketika ia kita anggap tidak ada. Rumah yang kosong dan ditinggalkan penghuninya akan lebih cepat rusak dibanding dengan rumah yang ditempati oleh manusia. Jadi, ada jenis hubungan non material antara manusia dengan alam atau lingkungannya.

Orang Jawa mendasari setiap aktifitas sosial kehidupan sehari-harinya selalu dengan mendasarkan diri pada niat mengharmonikan diri dengan alam. Harmoni ini yang menjadi prioritas kerja-kerja sejarah manusia Jawa. Sehingga di samping target materi ‘gemah ripah loh jinawi’, kehidupan bersama juga harus dijaga, ‘tata tentrem kerta raharja’.

Ini sebenarnya inti agama dihadirkan ke muka bumi, yaitu untuk menjadi panduan bagi manusia menjalani transformasi dari dimensi  jasad, fisik, dan material, menuju derejat kesadaran yang lebih tinggi dan sejati. Dimensi rohani. Bukankah manusia itu sesungguhnya makhluk ruhani yang sedang disuruh ‘mengabdi’ di alam materi dunia sebentar, tetapi untuk kemudian harus menempuh perjalanan pulang kembali ke kampung sejati rohaniahnya. Orang Jawa sadar betul soal esensi eksistensi manusia sebagai makhluk ruhani. Cakrawala kesadaran inilah yang membuat orang Jawa sanggup memahami sesuatu yang oleh para penghuni alam materi dianggap tidak ada dan takhayul. Spektrum pengetahuannya melebar, mendalam, dan meninggi sedemikian rupa.

Saya sepakat dengan kekhawatiran sebagian orang bahwa ritual-ritual dan berbagai kegiatan adat itu sangat mungkin sudah bias dan mengalami reduksi serta keterpelesetan makna, sehingga berpotensi menggelincirkan akidah. Tetapi kekhawatiran tidak harus dilakukan dengan sikap sombong dan takabur sehingga tanpa sadar telah dengan tega menghardik sesuatu yang sudah menjadi ‘klangenan hati’ masyarakat Jawa. Harus ada kecerdasan dan kearifan keagamaan untuk mengembalikan hakekat makna tauhid pada setiap jenis bentuk ritual adat tersebut. Ibaratnya, budaya itu wadah, agama adalah isi. Biarkan wadah dengan bentuk dan warna itu tetap ada sesuai selera jiwa kebudayaan masing-masing, kita tinggal menuangi gelas-gelas kebudayaan itu dengan air suci ketauhidan.

Agus Sukoco
Pria kelahiran Purbalingga, 3 September 1976 memulai keaktifannya di masyarakat di organisasi kepemudaan di Purbalingga. Sejak muda menyukai buku-buku bertema sufiistik, sosial dan politik. Hingga saat ini menggiati Forum Paseduluran Tanpa Tepi di Purbalingga dan juga Juguran Syafaat di Purwokerto. Beberapa tulisannya dimuat di koran lokal Banyumas. Bersama komunitasnya merintis mini album berjudul ‘Tahta Cinta’, sebuah karya musik independen yang bercerita tentang perjalanan hidup. Aktivitas kesehariannya menjadi staf di salah satu perusahaan daerah di Purbalingga.
Bagikan:

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib