Manifestasi Daya Juang
Dengan pertimbangan tertentu, saya mencoba mentadabburi Daur 23 – Ahlul Glugu wal Kayu. Dan segala keterbatasan manajemen penyusunan kata dan kalimat pula yang mungkin cukup sangat sederhana.
Dari sekian banyak poin yang dapat diambil sebagai bahan pembelajaran anak-cucu jamaah maiyah, baik yang tersirat maupun yang tertulis secara gamblang yang disampaikan oleh Simbah Muhammad Ainun Nadjib, hanya secuil poin yang dapat saya tangkap.
Tulisan di dalam Daur berkarakter pelok (biji mangga). Dengan pelok ini lah, kita diajak Simbah untuk berproses. Tentunya di dalam berproses, tahapannya pasti berbeda-beda.
Apa saja yang disampaikan oleh Simbah juga mirip dengan metode yang ada di dalam Al-Qur`an. Temanya pencolotan. Baik yang bersifat informasi maupun bersifat diskusi. Simbah juga jarang memberi kita seekor ikan. Tapi Simbah selalu menyediakan stik pancing beserta ratusan mata kail.
***
Kisah Yu Sumi di dalam tulisan Daur 23 ini, sungguh menginspirasi, lepas dari personalitas dia sebagai perempuan. Yu Sumi adalah potret lelaku manusia yang sekarang ini jarang ditemui di sekeliling kita.
Cukup revolusioner jika sehari-hari kita merasakan dan masuk ke dalam pengkotakan dimensi ruang kehidupan yang ada di permukaan saat ini. Seringkali masyarakat kita dengan mudahnya memberi nama atau label terhadap sesuatu yang justru mempersempit sebuah nilai. Dan tidak terbiasa memperhitungkan sisi baik-buruk sebelum menilai.
Di dalam Daur ini, Simbah kembali mengingatkan kepada kita soal presisi penempatan kata. Harusnya hati-hati. Agar tidak terjadi degradasi makna. Yang itu mungkin bisa menyakiti hati orang lain atau bisa saja mencelakakan diri kita sendiri.
Sebagai contoh, dari sudut pandang Simbah yang menyikapi ketidakpantasan pemakaian kata ‘pekerjaan kasar dan Pekerjaan rendahan’,
Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah pekerjaan dan kasar. Dan alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu Sumi adalah pekerjaan rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat pohon kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.
Dengan kepekaan dan kelembutan kesadaran Simbah terhadap kemanusiaan menyangkut hal sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manusia. Bahwa, tidak ada namanya pekerjaan kasar atau pekerjaan rendahan. Suatu pekerjaan tidak bisa diukur dengan ukuran berat atau tidaknya apa yang sedang dikerjakan. Dan juga tidak bisa diukur, semata-mata menggunakan ukuran materi.
Karena yang saya ketahui dan pahami, di dalam mengerjakan sesuatu, ukurannya hanyalah cinta. Cinta terhadap pekerjaan. Sehingga etos kerja dengan keras dan kesanggupan melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, akan menjadi energi ekstra yang memberi kekuatan untuk mengerjakan segala sesuatu.
Keras dengan kasar jelas beda maknanya. Keras sangat dibutuhkan saat kita mengerjakan sesuatu. Sebagai indikasi bahwa kita total dan bersungguh-sungguh terhadap suatu pekerjaan yang sedang kita kerjakan.
Sedangkan kasar, hanyalah salah satu bentuk tekstur pada suatu permukaan yang tidak rata. Kasar tidak dapat digunakan untuk menamai suatu pekerjaan. Karena akan berkonotasi negatif.
Kerja keras dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Yu Sumi, bagi saya adalah salah satu manifestasi perjuangan berupa tanggung jawab kita sebagai manusia dihadapan Tuhan.
Segala bentuk pekerjaan yang sedang atau akan kita lakukan, sepatutnya tidak terfokus oleh segala bentuk identitas yang meliputi profesi ataupun jabatan. Kita tidak boleh menyepelekan pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang. Karena belum tentu kita dapat mengerjakan apa yang orang lain kerjakan.
Dan suatu pekerjaan tidak harus bermuara pada target suatu materi yang harus kita dapatkan. Karena itu tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur tinggi atau rendahnya suatu martabat manusia.
Saya rasa, kita juga perlu belajar kepada sebiji pelok. Karena pelok juga bekerja. Bekerja dengan terus berproses tanpa mengetahui dia akan tumbuh atau tidak. Dan sebagai manusia, tentunya semua hal yang kita kerjakan, kembali ke dalam niat kita masing-masing. Untuk terus menerus menanam maupun menggali nilai-nilai di dalam kehidupan ini. Berdasarkan pengalaman dan jalan sunyinya masing-masing.
Di sisi lain, tentunya kita juga membekali diri dengan sikap disiplin, istiqomah dan tulus dalam mengerjakan sesuatu. Agar senantiasa terjaga niatnya. Dibimbing langkahnya. Karena kita juga percaya, Tuhan sendiri adalah Dzat yang Maha Bekerja.
Seperti yang tertuang disepenggal bait tembang Dandhang gulo,
Sakehing kang dumadi makardi. Lir Hyang Widhi kan tansah makarya, Nguripi jagad tan leren. (Semua yang ada ini bekerja. Bahkan Tuhan pun bekerja. Menghidupi dunia tanpa henti).
Di Daur 23 ini juga terdapat sebuah pesan tegas yang ditulis oleh Simbah,
Istilah pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah pekerjaan rendahan bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya rendah, yang merindukan ketinggian derajat namun tak pernah memperolehnya.
Sebenarnya sudah cukup banyak Simbah memberikan nilai-nilai Maiyah kepada kita semua. Sebagai pembekalan untuk mengarungi dinamika kehidupan. Melatih kedalaman suatu kesadaran terhadap nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat, yang seringkali kita jumpai banyaknya kata maupun kalimat yang tidak empan papan. Atau tidak ditempatkan di tempat di mana semestinya.
Dan sebagaimana kita tahu, bahwa kehidupan hari ini terlalu banyak lipatan-lipatan di dalam menyikapi sebuah yang terkadang ambigu dan sukar untuk dipahami.
Untuk itu, seyogyanya kita sangat berterima kasih kepada Simbah yang senantiasa merangsang daya nalar kita dan melatih akan pentingnya keseimbangan berpikir. Agar senantiasa mendekat ke dalam kesadaran cahaya dari Sang Maha Cahaya.