CakNun.com

Malam Dialog Padhangmbulan: Terbuka, Jujur, dan Otentik

Catatan Majelis Ilmu Padhangmbulan, Jombang 6 September 2017
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 5 menit

Tidak kenal sebelumnya, ketemu baru sekali, tapi langsung merasa dekat, akrab dan saling percaya. Itulah yang dialami jamaah Maiyah. Dimanapun mereka berjumpa, apalagi di Majelis Ilmu Maiyah, mereka langsung menjadi saudara. Suasana itu saya jumpai pula di Majelis Ilmu Padhangmbulan, 6 September 2017.

Foto: Hariadi

Cak Nang menyampaikan tema pengajian adalah Malam Kasih Sayang. Alur utama dialog akan menggali pengalaman bermaiyah dari jamaah. Mengapa mereka hadir di Padhangmbulan? Apa yang mendorong mereka hadir? Atau mundur beberapa langkah: apa momen kunci sehingga pada detik itu mereka ngeh lantas dalam hati berkata: “Ini yang saya cari!” Satu pintu terbuka, lalu terbukalah pintu-pintu berikutnya—mereka pun rutin hadir di Padhangmbulan. Jarak antar kota tidak menghalangi niat. Udara malam yang dingin tidak menyurutkan tekad.

Cak Amin, penggiat Bangbangwetan, meminta sejumlah jamaah duduk di panggung. Sembilan jamaah, para anak muda, akan memberikan kesaksian. Mereka hadir dari beberapa kota di luar Jombang. Dialog bertambah hidup dan gayeng. Kelakar dan guyonan mengalir dalam pagar kesadaran untuk memelihara kedalaman.

Utuh-Menyeluruh sebagai Manusia

Setiap jamaah menuturkan kisah awal persentuhannya dengan Maiyah. Ada yang karena tidak sengaja hadir, duduk-duduk saja, mendengar sambil lalu, tetapi satu-dua kalimat dari Cak Nun tiba-tiba menyergap perhatian. Ada pula yang jatuh cinta setelah membaca quote Kata Maiyah. Kalimat itu menuntun kesadaran dan melacak siapa penutur quote itu. Dari yang asal mendengar atau tidak sengaja membaca quote, langkah mereka diperjalankan hingga tiba di Padhangmbulan.

Suasana dialog yang egaliter dan terbuka, saling menjaga keamanan antar jamaah, saling menghargai martabat, saling menjamin keselamatan merupakan “cahaya gelombang kedua” yang menerobos “beton materialisme gelombang ketiga”. Mereka hadir di Padhangmbulan tidak terutama sebagai aku desainer grafis, aku mahasiswa, aku petani, aku juru parkir, aku gubernur. Di Padhangmbulan mereka hadir utuh-menyeluruh sebagai manusia. Berhijrah ke gelombang kedua untuk menggapai kesejatian di gelombang pertama.

Majelis Ilmu Padhangmbulan bukan forum eksklusif yang mewah—forum bulanan itu tetap bersahaja dan menjadi milik bersama. Malam itu, Padhangmbulan, sebagaimana setiap malam bulan purnama, menjadi forum rakyat, majelis sinau bareng, wadah tadaburan bersama.

Meminjam ungkapan Paulo Freire, dialog yang dipandu Cak Amin malam itu merefleksikan “guru yang murid dan murid yang guru”. Istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa baik guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman sendiri-sendiri terhadap yang mereka pelajari. Bisa jadi suatu saat murid menyajikan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman sebagai suatu kilatan cahaya hikmah bagi sang guru.

Maka, tidak ada situasi di Padhangmbulan yang tidak saya nikmati. Saya berenang dan menyelam di lautan jiwa-jiwa manusia yang tanpa batas. Ujung-ujungnya lautan itu adalah jiwa saya sendiri.

“Lautan” yang lain datang dari anak muda Jombang. Ia datang ke Padhangmbulan karena diperintah oleh gurunya. “Daripada saya dicukur gundhul, saya jalani saja perintah itu,” ungkapnya. Anak muda itu lalu rutin hadir di Padhangmbulan. Kalimat kunci dari Mas Sabrang: “Jangan menyepelekan apapun walaupun itu perkara yang remeh” dan dari Cak Fuad: “Sekeras-kerasnya batu kalau ditetesi air terus menerus akan berlubang. Demikian pula hati yang keras sekalipun akan luluh dan lembut kalau ditetesi ilmu secara istiqomah,”—menggedor jiwa kesadarannya.

Foto: Hariadi

Anak muda dari Lamongan menemukan “lautan” yang berbeda. Ia menyelami sambil niteni rezeki min haitsu laa yahtasib. “Biasanya sehari sebelum berangkat Maiyahan saya akan mendapat rezeki,” tuturnya. Pengalaman semacam ini tidak bisa dijadikan rumus objektif lantas dipedomani oleh setiap orang. Penekanannya bukan terutama pada Maiyah, melainkan kebenaran rezeki min haitsu laa yahtasib berlaku pada skala subjetivitas dan dialami per individu sebagai jalan keluar (makhroja) dari Allah Swt.

Menemukan kunci pembuka rezeki, berpikir seimbang, sabar dan lebih tangguh menjalani proses, berpikir melingkar siklikal, ketenteraman hati adalah buah pengalaman yang dipetik jamaah.

Endapan Ilmu yang Meneb

Pukul 24.30 WIB dialog bergeser ke Cak Fuad. Malam dialog—demikian Cak Fuad menyatakan forum Padhangmbulan kali ini. Beliau tidak langsung menyampaikan tafsir ayat tertentu. Cak Fuad menyodorkan beberapa pertanyaan. Jawabannya digali langsung dari jamaah. “Islam telah hilang dari Andalusia,” ungkap Cak Fuad. “Beberapa pakar menyatakan Islam tidak mungkin hilang dari bumi, tetapi akan sangat mungkin Islam akan hilang dari Indonesia. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut?”

Beberapa respons jawaban dari jamaah meluncur. Ada yang optimis namun pasrah. Terserah Allah saja: Islam akan langgeng atau sirna di Indonesia sesuka-suka Allah. Ada yang sangat optimis. Islam tidak akan sirna. Anak-anak muda Maiyah yang sikap dan cara berpikirnya semakin “kinclong” dan seimbang akan menumbuhkan benih-benih perilaku Islam. Benih-benih tanduran ini kelak akan berbuah. Ada pula yang menjawab lebih realitis. Yang perlu segera kita kerjakan adalah meneruskan perjuangan mbah buyut kita, para sesepuh, termasuk perjuangan Maiyah, dengan cara mempelajari dan mengenalkan Islam sebagai agama yang santun dan penuh kasih.

Di Andalusia kekuatan Islam bergantung pada kekuatan kerajaan, demikian menurut Cak Fuad. Ketika kerajaan hancur, Islam pun turut hancur. Berbeda dengan Islam di Indonesia. Kekuatan Islam tidak bergantung pada pemerintah apalagi negara, melainkan terletak pada umat Islam. Kekuatan Islam, dengan demikian, juga terletak pada kekuatan jamaah Maiyah.

Islam akan sirna atau tidak bergantung dari mana kita memandangnya. Secara kualitatif Islam mungkin akan hilang karena kita mudah terjebak dalam perilaku beragama yang bodoh. Sikap Cak Fuad ini mengingatkan saya pada tema pengajian Padhangmbulan beberapa waktu lalu, yakni Islam-Silmu dan Silmu-Islam. Pesan Mbah Nun agar kita rajin menyebarkan lembutnya Islam, lapang hatinya Islam, indahnya “Silmi” Islam, dan rasa sayang kemanusiaannya Islam, menemukan urgensinya.

Benar-benar ingin menggali kedalaman dari jamaah, Cak Fuad pun menggulirkan dua pertanyaan berikutnya. Pertama, ada kalangan di luar Islam menyatakan bahwa doa yang dibaca dalam surat Al-Fatihah: ihdinash-shiraathal mustaqim, menunjukkan orang Islam akan tangeh lamun alias selamanya tidak akan menemukan kebenaran. Kedua, bagaimana orang Islam akan menemukan kebenaran, sedangkan Nabi Muhammad belum tentu selamat karena masih perlu didoakan lewat bacaan shalawat.

Malam semakin hangat dan hidup oleh ilmu yang berpendar-pendar. Jamah bergiliran merespons. Di sudut yang lain, hingga di depan area Pojok Ilmu yang berbatasan dengan pintu masuk, jamaah tetap rapat duduk bersila. Mereka tidak beranjak.

Foto: Hariadi

Jawaban dari jamaah sungguh jawaban yang Maiyah banget. Mulai dari pandangan bahwa kebenaran itu dinamis tidak statis, kebenaran datang dari dan mutlak milik Allah (al-haqqu min rabbika), doa dalam surat Al-Fatihah merupakan sikap ndepe-ndepe kepada Allah, hingga yang butuh shalawatan itu bukan Kanjeng Nabi, tapi kita para umatnya, merefleksikan sikap dewasa sekaligus kedalaman ilmu, yang pelan namun pasti meneb di setiap laku hidup jamaah.

Nyaris tidak ada lagi jamaah yang hanya setor kuping. Mereka aktif menyerap, mengungkapkan, merefleksikan endapan-endapan ilmu yang meneb melalui beragam gaya dan cara komunikasi. Mereka jujur, terbuka dan otentik.

Menurut Cak Fuad kita selalu membutuhkan taufiq dari Allah Swt. Taufiq adalah petunjuk dari Allah yang membawa kita sampai di tujuan. Apa yang kita harapkan “klop” atau “klik” dengan yang ditetapkan Allah Swt. “Kita boleh berkehendak. Allah pun memiliki kehendak. Namun, yang pasti terjadi adalah apa yang dikehendaki-Nya,” kata Cak Fuad.

Sesi terakhir Padhangmbulan dipungkasi oleh Kyai Muzammil. Dengan gaya dan logat Madura yang khas, Kyai Muzammil yang “keluar-masuk” NU itu menggoda cara berpikir jamaah. Logika yang dianut oleh mainstream diacak-acak, dibolak-balik, bahkan beberapa dirobohkan. Tidak masalah, karena kita tidak sedang mbagusi siapa-siapa, tidak sedang memojokkan siapa-siapa, tidak sedang menuding-nuding siapapun. Semua berjalan dalam konteks yang tepat dan seimbang.

Berlimpah-limpah cahaya mengguyur di Majelis Ilmu Padhangmbulan. Terlalu banyak dan luas untuk ditulis di sini. Sementara tulisan ini akan segera saya akhiri, namun bukan akhir sebagai garis finish. Akhir yang justru menjadi awal untuk kembali memulai loading system yang sedang dan akan terus berjalan. Berangkat untuk kembali pulang dan pulang untuk memulai keberangkatan yang baru, hingga kita bertemu lagi di Padhangmbulan bulan depan. (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya

Topik