Maiyah dan Generasi Alfa
Entah sudah berapa kali, akan terus hingga kali ke berapa, di setiap kesempatan maiyahan, Mbah Nun menekankan manusia itu perlu berproses, bergelut, berjuang untuk menjaga dan menjadi manusia.
Menyelami, mencermati, njlimeti, menampung dimensi persoalan kemanusiaan yang berlapis-lapis menjadi sikap pandang beliau. Ini tidak mudah, mengingat persoalan paling sederhana sekali pun yang mengepung manusia dan komunitasnya, akan dimuati oleh kompleksitas dan kerumitan. Namun, di tengah persoalan itu, Mbah Nun memberikan kalimat kunci yang cespleng.
Salah satu kalimat kunci itu kembali menyentak logika pikiran, seperti hentakan kopi panas nasgitel, membelalakkan mata yang sedang terkantuk-kantuk. “Menungsane gak siap dadi menungsa”—ungkapan ini saya dengar ketika Mbah Nun dan Kiai Kanjeng maiyahan di pabrik PRIA desa Lakardowo Jetis Mojokerto.
Simulasi yang disampaikan pun cukup gamblang. Kalau pihak yang berkompeten menyatakan air yang diminum warga itu aman, tapi masih ada yang ngreweli untuk menciptakan situasi was-was, maka inti persoalannya bukan pada rekomendasi keamanan air. Yang ruwet, yang menthengklek, yang bermasalah adalah software dalam diri manusia itu.
Menthengklek: Pokoknya, Akibat Itu Terjadi Tanpa Sebab
Ketika kita naik motor, pengendara lain tiba-tiba berbelok dan memotong jalan. Dalam situasi seperti itu, arek-arek Jawa Timur akan spontan uluk salam khas Jawa Timuran alias misuh. Anak yang terbiasa ngaji di pesantren mungkin berteriak: “Astaghfirullaah!”. Wak Jan dan Guk Kin, yang asli Jawa akan mengumpat: “Doboool!”
Persoalan yang muncul kemudian adalah software berpikir manusia yang menthengklek akan menuduh: arek Jawa Timur yang misuh-misuh itu tidak memiliki akhlak, kata-katanya kasar, tidak punya sopan santun. Anak santri yang istighfar akan dikenai pasal berbuat SARA dan membawa-bawa agama untuk urusan di jalan raya. Wak Jan dan Guk Kin dibully habis-habisan di media sosial, tidak bersikap nasionalis, karena mengumpat tidak menggunakan Bahasa Indonesia.
Fakta yang menyebabkan mereka misuh, istighfar, dan mengumpat tidak menjadi fokus-alasan atau sebab untuk melihat aliran persoalan secara jujur dan apa adanya. Pokoknya, misuh itu salah. Pokoknya, istighfar di jalan raya itu mencampur adukkan agama dengan peraturan lalu lintas. Pokoknya, mengumpat pakai bahasa Jawa itu tidak nasionalis. Sedangkan orang yang tiba-tiba belok dan memotong jalan dibiarkan ngacir pergi.
Kejadian sehari-hari itu ketemu jluntrungan-nya dengan pernyataan Mbah Nun di maiyahan Sarangan Magetan. “Kalau tak ada pembangunan rohani manusia sejak kanak-kanak, nanti anak-anak itu kalau sudah besar atau dewasa akan bikin repot,” ungkap Mbah Nun.
Hari ini Indonesia sudah sangat dibikin repot oleh cara berpikir dari produk pendidikan yang sejak kanak-kanak tidak memprimerkan Tuhan. Pendidikan yang tidak adil dan beradab.
Bagaimana dengan anak-anak kita sekarang? Kita sedang dikepung oleh aroma dan nuansa informasi yang menggiring kita agar tiba pada kesimpulan, diantaranya: anak saleh adalah anak yang hafal Al-Qur`an sejak dini. Yang tidak hafal Al-Qur`an bukan anak saleh. Kita bisa mengganti kata “saleh” dan “Al-Qur`an” dengan bidang kecerdasan yang lain model sekolahan.
Hafal Al-Qur`an sejak dini menjadi prioritas. Bukan hafal atau Al-Qur`annya yang keliru, tetapi ketika menghafal dan hafal Al-Qur`an adalah satu-satunya cara untuk menjadikan anak saleh, berkat distorsi informasi yang sukses men-talbis manusia sebagai makhluk kemungkinan—maka, kita sedang menabung kerepotan di masa depan.
Generasi Alfa-Maiyah
Anak-anak kita sekarang adalah Generasi Alfa atau biasa disebut Gen-A. Siapakah mereka? Adalah anak-anak yang dilahirkan oleh generasi Y dan Z setelah tahun 2010. Walaupun secara definitif generasi Y, Z, dan Alfa sama-sama dikenal sebagai generasi digital native—lahir dan besar di era internet—namun, sejak generasi Alfa lahir, mereka sudah hidup di dunia yang disesaki oleh pesatnya perkembangan teknologi.
Sebagian besar arek-arek jamaah Maiyah adalah generasi X, Y, dan Z. Ini bukan fenomena yang tiba-tiba terjadi. Optimisme bahwa Allah sedang menghadirkan qoumun akhor—kaum yang mencintai Allah dan Allah mencintai mereka—harus dirawat dengan menciptakan kontinuasi pembangunan rohani antara orangtua generasi X, Y, dan Z dengan anak-anak generasi Alfa.
Generasi Y dan Z bukan generasi berwajah pendidikan masa lalu sepenuhnya. Mereka tidak mudah dikendalikan oleh hegemoni politik pendidikan yang diselenggarakan generasi tua. Maiyah menjadi kebun surga pilihan mereka. Berkebun di Jannatul Maiyah, Generasi X, Y, dan Z sudah harus melihat Gen-A, anak-anak mereka, bukan lagi sebagai titipan, melainkan pinjaman dari Allah. Kalimat kunci ini akan menggeser atau bahkan merobohkan bangunan filosofi, paradigma, dan metodologi pendidikan modern yang menghadirkan situasi ketuhanan tapi mengusir Tuhan.
Pinjaman itu perlu diteliti terus menerus untuk mencari jawaban: apa kemauan dan kehendak Allah atas hidup anak-anak itu? Penelitian yang diberangkatkan, salah satunya, dari fenomena bahwa Gen-A bukan saja sudah terpapar teknologi dan informasi sejak lahir—bahkan mereka sudah terbiasa mengakses informasi via internet. Anak saya, usia empat tahun, adalah penikmat musik KiaiKanjeng di Youtube.
Di tangan generasi milenial seperti Mark Zuckerberg, dunia berubah demikian cepat. Tak bisa dibayangkan, atau malah tak usah dibayangkan, bagaimana masa depan dunia di tangan generasi Alfa yang dinilai sebagai generasi paling cerdas dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Untuk mengatasi segala bentuk kerepotan masa depan, akibat menungsane gak siap dadi menungsa, bisa kita cicil mulai sekarang. Memiliki harga diri di depan informasi merupakan formula kesadaran yang terutama perlu ditegakkan orangtua generasi X, Y, dan Z. Tegak berdiri, vertikal, seimbang, tidak diombang-ambingkan distorsi informasi. Dengan posisi jumeneng itu kita berproses bersama anak agar secara bertahap memahami kemauan Allah atas anak kita, dan dengan bekal itu kita mengawal perkembangan kehidupan mereka.